Melawan Hantu Tak Kasat Mata: Kemiskinan sebagai Musuh Negara Tanpa Senjata

Kemiskinan
Ilustrasi Kemiskinan (Sumber: Media Sosial)

Saat negara membicarakan soal ancaman, narasi yang muncul nyaris selalu berkutat pada isu-isu militer, pertahanan perbatasan, atau terorisme global. Isu-isu tersebut memang penting, namun ada satu bentuk ancaman yang jauh lebih dekat, lebih membekas, dan justru kerap tak disadari keberadaannya, kemiskinan.

Tidak menimbulkan ledakan, tidak mengangkat senjata, tapi diam-diam meruntuhkan pilarpilar kehidupan masyarakat dari dalam. Inilah ancaman yang tidak tercantum dalam dokumen strategis pertahanan negara, tetapi nyata dihadapi setiap hari oleh jutaan orang.

Kemiskinan tidak sekadar berkaitan dengan penghasilan yang minim atau akses terhadap makanan yang terbatas. Ia merentang jauh ke berbagai aspek yaitu keterbatasan pendidikan, minimnya kesempatan kerja, keterbatasan layanan kesehatan, perumahan yang tidak layak, hingga hilangnya harga diri manusia.

Dalam banyak kasus, kemiskinan bahkan diwariskan lintas generasi membentuk siklus sosial yang nyaris mustahil diputus tanpa intervensi yang mendalam dan menyeluruh.

Bacaan Lainnya

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang terus digaungkan, kenyataan bahwa masih ada lebih dari 25 juta warga Indonesia hidup dalam kemiskinan (BPS, 2023) menyisakan ironi yang mengganggu.

Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa bicara tentang visi besar masa depan jika hari ini begitu banyak orang tak yakin bisa makan besok pagi? Bagaimana kita mendefinisikan pembangunan jika sebagian masyarakat masih hidup dalam rumah berdinding terpal dan beratap seng bocor?

Yang lebih mencemaskan, kemiskinan tidak hanya berdampak pada individu yang mengalaminya. Ia memicu efek domino sosial yang luas.

Ketika terlalu banyak orang merasa ditinggalkan sistem, muncul kecenderungan untuk melawan bukan selalu dalam bentuk kekerasan fisik, tapi bisa berupa kriminalitas, perlawanan sosial, hingga sikap apatis terhadap negara. Inilah yang membuat kemiskinan menjadi masalah keamanan non-tradisional.

Bukan karena orang miskin berbahaya, tapi karena kondisi miskin memaksa banyak orang melakukan hal-hal yang mungkin tidak akan mereka lakukan jika hidupnya lebih layak.

Kekecewaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan yang terpendam bisa meledak kapan saja, terlebih bila dipicu oleh ketidakadilan distribusi sumber daya atau ketimpangan layanan publik. Kemiskinan, dengan segala diamnya, bisa menciptakan keresahan sosial yang jauh lebih sulit ditangani dibandingkan konflik bersenjata.

Baca juga: Kemiskinan Ekstrem di Negara yang Kaya Akan Sumber Daya Alam

Namun, tantangan terbesar dalam mengatasi kemiskinan justru terletak pada cara kita memandangnya. Selama ini, upaya penanganan kemiskinan seringkali bersifat jangka pendek dan karitatif.

Bantuan sosial tentu penting, namun jika tidak dibarengi dengan transformasi struktural yang memperbaiki akses terhadap pendidikan, lapangan kerja, dan pelayanan dasar, maka bantuan tersebut hanya akan menjadi penambal luka sementara bukan solusi jangka panjang.

Sebagai mahasiswa yang hidup di tengah arus informasi, saya melihat kemiskinan bukan hanya sebagai masalah sosial, tapi juga ancaman terhadap keutuhan bangsa. Jika kita ingin Indonesia benar-benar aman dan tangguh, maka memastikan kehidupan yang layak bagi setiap warganya harus menjadi bagian dari strategi keamanan nasional.

Bukan dalam bentuk doktrin militer, tetapi dalam bentuk kebijakan publik yang berpihak, adil, dan berpandangan jauh ke depan. Sudah saatnya kita berhenti memandang kemiskinan sebagai beban statistik semata. Ia adalah persoalan kemanusiaan yang mendalam.

Dalam setiap angka kemiskinan, ada wajah-wajah yang menahan lapar, ada orang tua yang tak bisa membayar biaya sekolah anaknya, ada pemuda yang kehilangan masa depan karena tidak pernah diberi peluang. Kemiskinan mungkin tidak mengancam dengan kekuatan militer, tapi ia menghancurkan dengan sunyi.

Ia adalah hantu tak kasat mata yang bisa melemahkan bangsa tanpa satu pun peluru ditembakkan. Dan musuh seperti itu hanya bisa dikalahkan dengan keadilan, bukan kekerasan.

Dengan keberanian untuk merombak sistem, bukan sekadar menambalnya. Dan dengan kehadiran negara yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil bukan hanya dalam janji, tapi dalam kenyataan.

 

Nama Penulis: FirlanTio Alen Chandra Prayoga
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih

 

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2023). Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023.

United Nations Development Programme. (2024). Human Development Report: New Dimensions of Human Security.

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses