Keadilan Sosial dan Sila Kelima: Refleksi atas Ketimpangan di Indonesia

Sejak pertama kali dicetuskan sebagai sila kelima dalam Pancasila, frasa “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi cita-cita luhur yang terus digaungkan dari pidato kenegaraan hingga spanduk pemerintahan, bahkan menjadi bahan diskusi di ruang-ruang kuliah.

Namun, di tengah berbagai pencapaian pembangunan nasional, muncul pertanyaan mendasar: benarkah keadilan sosial itu telah hadir nyata? Ataukah ia masih sebatas slogan pemanis dalam retorika politik?

Keadilan sosial sejatinya bukan soal angka-angka pertumbuhan ekonomi atau kemegahan infrastruktur fisik.

Ia menyangkut sejauh mana setiap warga negara dari Sabang hingga Merauke, dari pusat kota hingga pelosok desa memiliki akses yang setara terhadap pendidikan, layanan kesehatan, lapangan kerja, dan jaminan hidup layak.

Sayangnya, realitas di lapangan memperlihatkan jurang yang lebar antara cita-cita dan kenyataan.

Masih banyak anak bangsa yang harus berjalan berkilo-kilometer demi mengakses pendidikan dasar, atau pasien yang kehilangan nyawa hanya karena puskesmas terdekat terlalu jauh dan fasilitasnya terbatas.

Di satu sisi, kota-kota besar berlomba membangun gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah.

Disisi lain, masih ada keluarga yang hidup di rumah tak layak huni, dengan lantai tanah dan atap yang bocor.

Ketimpangan ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga tentang distribusi akses, peluang, dan harapan hidup.

Baca juga: Indonesia Gelap: ”Suara Perjuangan Generasi Muda untuk Keadilan”

Lebih menyedihkan lagi, ketimpangan juga mencuat dalam sistem hukum. Hukum seharusnya menjadi pelindung bagi yang lemah dan pengontrol bagi yang kuat.

Namun, dalam banyak kasus, hukum justru tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Warga kecil bisa dipenjara karena mencuri akibat lapar, sementara mereka yang merugikan negara miliaran rupiah bisa berjalan bebas dengan dalih kurang bukti atau alasan teknis hukum.

Ketimpangan hukum semacam ini menegaskan bahwa keadilan sosial belum sepenuhnya hadir, bahkan dalam kondisi paling mendasarnya: perlindungan hak di mata hukum.

Apakah ini berarti negara tidak berbuat apa-apa? Tentu tidak.

Pemerintah telah meluncurkan berbagai program bantuan sosial, Kartu Indonesia Pintar, BPJS Kesehatan, Dana Desa, dan lainnya.

Namun, keadilan sosial tidak cukup dihadirkan melalui bantuan yang bersifat jangka pendek.

Ia memerlukan transformasi struktural sistem pendidikan yang memberdayakan tanpa diskriminasi geografis, ekonomi yang mensejahterakan tanpa mengeksploitasi, birokrasi yang bersih, dan sistem hukum yang benar-benar berpihak pada kebenaran bukan kekuasaan atau kekayaan.

Lebih dari itu, keadilan sosial menuntut keberpihakan moral dan keberanian politik.

Dalam setiap kebijakan, harus ada pertanyaan yang jujur diajukan siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang belum tersentuh? Jika kebijakan hanya mempertebal keuntungan kelompok yang sudah mapan, sementara mayoritas rakyat menjadi penonton pasif dari pembangunan, maka keadilan itu cacat sejak dalam perencanaan.

Baca juga: Krisis Identitas Profesi dan Lemahnya Perlindungan Negara: Mengapa Anak Muda Nganjuk Ogah Jadi Petani di Negeri Sendiri?

Kita tidak bisa lagi puas dengan mengulang-ulang kata “keadilan” tanpa upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.

Sudah saatnya kita menagih realisasi dari janji konstitusi itu. Keadilan sosial harus terlihat dan terasa: dalam bentuk harga pangan yang stabil bagi ibu rumah tangga, keberlangsungan usaha kecil di kampung-kampung, perlindungan hukum yang menyeluruh, serta jaminan pendidikan dan kesehatan yang benar-benar merata.

Pancasila bukan sekadar dokumen sejarah.

Ia adalah etika publik dan kompas moral bangsa. Maka, keadilan sosial tidak boleh berhenti sebagai kutipan di baliho, bagian dari naskah pidato, atau hafalan upacara.

Ia harus hadir sebagai kenyataan yang bisa disentuh, dirasakan, dan diandalkan oleh setiap warga negara, tanpa terkecuali.

Baca juga: Pentingnya Dukungan Keadilan dan Perlindungan dalam Pemenuhan Hak Restitusi terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan

Jika tidak, maka “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” benar-benar hanya akan menjadi suara yang nyaring di telinga, tetapi hampa dirasa sebuah impian yang terus ditunda, dan kepercayaan yang perlahan-lahan mengikis.

 

Penulis: Sipa Apiyanti

Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika, Universitas Pamulang

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses