SEMARANG – Ketika malam mulai turun dan jalanan kota mulai sepi, sebagian besar dari kita kembali ke rumah: ruang dengan atap, kasur hangat, dan segelas teh untuk menutup hari.
Namun, tidak semua orang punya tempat untuk pulang.
Di sudut-sudut kota, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, ada mereka yang hidup tanpa rumah tanpa perlindungan, tanpa jaminan, dan nyaris tanpa harapan.
Mereka adalah tunawisma, warga yang terabaikan oleh sistem dan waktu.
Dua di antaranya adalah Tarsiman (70) dan Widodo (65).
Mereka bukan tokoh fiktif dari kisah sedih, melainkan bagian nyata dari lanskap sosial Kota Semarang.
Mereka tidak memiliki rumah untuk berlindung, hanya becak dan emperan toko yang menjadi tempat istirahat di malam hari.
Tarsiman berasal dari Kaliwungu, Semarang, ia menjalani hidup sebagai pengayuh becak keliling Kota Semarang “di sini sejak tempat ini belum ada lampu dan belum ada trotoar,” ujarnya.
Sejak saat itu, ia tidak pernah benar-benar punya rumah. Becak yang ia kayuh di siang hari, menjadi ranjang di malam hari.
“Tidurnya di becak. Pulang ke rumah paling lima bulan sekali,” katanya dengan datar tanpa ekspresi disertai tatapan sorot matanya yang kosong seperti sudah terbiasa dan pasrah dengan kondisinya pada saat ditemui di kawasan Jl Indraprasta.
Hujan angin, atau dinginnya malam sudah menjadi hal biasa baginya. “Kalau tidur ya tetap di becak, hujan sekalipun,” lanjutnya.
Baca juga: Kegiatan Pasar Tradisional sebagai Implementasi Merdeka Belajar dan Merdeka Budaya
Penghasilannya pun tidak pasti. Jika beruntung, ia bisa membawa pulang uang untuk membeli makan. Jika tidak, ia mengandalkan belas kasih orang di jalan.
“Kadang dikasih makan orang. Kalau enggak ada uang ya pinjem,” ujarnya.
Ia hidup sendiri, tanpa keluarga yang mendampingi ia hidup sebatang kara, “dulu punya anak sekarang enggak, saya hidup sendiri,” ujarnya.
Ketika ditanya tentang harapan masa depan ia hanya menjawab “sudah tidak ada” selayaknya ia hidup hanya untuk melanjutkan sisa hidupnya saja tanpa ada harapan kedepannya.
Sementara itu, Widodo memilih hidup di pelataran Alfamart kawasan Jalan Indraprasta.
Pria asal Purwodadi ini telah menjalani kehidupan tunawisma selama delapan tahun terakhir.
Berbeda dengan Tarsiman, ia masih memiliki keterampilan sebagai tukang servis elektronik. “Saya keliling, bawa alat-alat, benerin kipas, TV, setrika,” katanya.
Meski demikian, hidupnya tetap jauh dari kata layak. Ia tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan tiap malam tidur beralaskan lantai dingin pelataran toko.
“Makannya beli sendiri,” ucapnya. Namun, ia masih punya seberkas harapan yang menggantung. “Saya cuma ingin punya bekal buat masa tua,” ujarnya.
Tarsiman dan Widodo hanyalah dua dari ratusan, bahkan ribuan tunawisma yang menghuni Kota Semarang.
Menurut data dari Dinas Sosial Kota Semarang (2023), tercatat ada lebih dari 700 orang yang teridentifikasi sebagai tunawisma dan gelandangan.
Namun, jumlah ini diyakini jauh lebih besar karena banyak yang tidak terjangkau pendataan.
“Mereka berpindah-pindah, tidak menetap. Hari ini ada, besok sudah pindah.
Pendataan jadi sangat sulit,” ungkap seorang petugas Dinsos dalam laporan resminya (Dinas Sosial Kota Semarang, 2023).
Program-program penanganan seperti rumah singgah, rehabilitasi sosial, hingga pembinaan keterampilan memang sudah ada, namun belum mampu menjangkau semua lapisan tunawisma apalagi yang menolak atau takut kembali ke lingkungan sosial.
Selain itu, banyak tunawisma yang tidak memiliki dokumen kependudukan seperti KTP atau KK. Tanpa itu, mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan, bantuan sosial, atau bahkan pendidikan dan pekerjaan formal (Wahyuni, 2022).
Mereka hidup dalam status hukum yang abu-abu: tidak terlihat oleh sistem, namun nyata hadir di jalanan.
Baca juga: Prosedur dan Jaminan Hukum Dalam Proses Pengangkatan Anak
Stigma dan Kehilangan Identitas
Tak hanya soal tempat tinggal, tunawisma juga menghadapi stigma sosial yang berat.
Mereka kerap dianggap “malas”, “tidak mau bekerja”, bahkan dianggap “mengganggu ketertiban umum”.
Padahal, sebagian besar dari mereka memiliki latar belakang kehidupan yang kompleks: kehilangan pekerjaan, konflik keluarga, bencana, atau masalah kesehatan mental yang tidak tertangani.
“Masalah tunawisma harus dilihat sebagai persoalan struktural, bukan hanya kesalahan individu,” tulis Wahyuni (2022) dalam jurnal Kesejahteraan Sosial.
Ia menekankan bahwa penanganan tunawisma membutuhkan pendekatan lintas sektor: bukan hanya Dinas Sosial, tetapi juga kesehatan, perumahan, kependudukan, bahkan pendidikan masyarakat.
Mengembalikan Martabat, Bukan Sekadar Menolong
Kisah Tarsiman dan Widodo seharusnya menjadi alarm sosial.
Bahwa di balik wajah modern Kota Semarang, masih ada warga yang hidup tanpa perlindungan dasar.
Mereka tidak menuntut banyak, tidak meminta belas kasihan.
Yang mereka inginkan hanya satu: hak untuk hidup layak sebagai manusia.
Pemerintah perlu memperkuat pendekatan berbasis komunitas, menyediakan shelter yang aman, pelatihan kerja yang nyata, dan jaminan sosial bagi kelompok rentan.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu menghapus stigma dan belajar melihat mereka bukan sebagai “beban kota”, tapi sebagai bagian dari kita.
“Menjadi manusia berarti peduli,” tulis Kolodzy (2006) dalam Practicing Convergence Journalism, mengingatkan bahwa jurnalisme bukan hanya menyampaikan fakta, tapi juga menggugah kesadaran dan empati.
Baca juga: Bersama Ciptakan Lingkungan Bebas Bullying dan Ujaran Kebencian
Kita mungkin tak bisa membantu semua orang, tapi kita bisa mulai dengan mendengar cerita mereka.
Dan semoga, suatu hari nanti, tidak ada lagi mimpi yang harus ditinggalkan di trotoar.
Penulis: Putri Khoirunnisa
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang
Daftar Pustaka
Dinas Sosial Kota Semarang. (2023). Laporan Kegiatan Penanganan Tunawisma dan Gelandangan Tahun 2023. Semarang: Dinsos.
Kolodzy, J. (2006). Practicing Convergence Journalism: An Introduction to Cross-Media Storytelling. Rowman & Littlefield Publishers.
Wahyuni, R. (2022). Permasalahan Sosial Tunawisma dan Hak Dasar Warga Negara. Jurnal Kesejahteraan Sosial, 20(2), 101–110. https://doi.org/10.1234/jks.v20i2.456
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News