Pada Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Hanter Oriko Siregar yang meminta penghapusan syarat Toefl dalam proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Gugatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kewajiban memiliki skor Toefl minimal (contohnya 450) telah menjadi penghalang yang tidak adil bagi pencari kerja, terutama mereka yang tidak memiliki akses terhadap pelatihan bahasa Inggris yang memadai.
Hanter sendiri telah mencoba empat kali mengikuti seleksi dengan skor maksimal 370, yang berarti ia tertolak bukan karena tidak layak sebagai abdi negara, melainkan karena tersandung satu angka: Toefl.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa persyaratan Toefl tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi.
Baca juga: Cara Kursus Online Bahasa Inggris untuk Mahasiswa
Menurut MK, pemberlakuan syarat semacam itu justru mencerminkan prinsip peningkatan kompetensi dan kesiapan individu menghadapi tuntutan global.
Bahasa Inggris, dalam pandangan ini, bukan sekadar bahasa internasional, tetapi juga simbol dari kematangan profesional bagian dari prinsip “minimum degree of maturity and experience” dalam dunia kerja masa kini.
Toefl memang penting di era globalisasi, kemampuan bahasa Inggris membuka banyak pintu studi lanjut di luar negeri, peluang kerja internasional, bahkan sekadar membaca dokumen teknis global yang kini menjadi kebutuhan umum.
Tetapi akses terhadap pelatihan Toefl di Indonesia masih belum merata. Di perkotaan, mungkin mudah menjangkau kursus Toefl, kelas daring, bahkan privat.
Baca juga: Keadilan Sosial dan Sila Kelima: Refleksi atas Ketimpangan di Indonesia
Namun tidak dengan mereka yang tinggal di daerah pelosok, yang infrastruktur internetnya terbatas, pendidikannya minim, atau bahkan belum pernah menyentuh latihan Toefl sama sekali.
Dalam kasus seperti ini, penggunaan Toefl sebagai “saringan awal” dapat berubah menjadi alat eksklusi sosial bukan karena yang tertolak tidak mampu belajar, tetapi karena mereka tidak diberi kesempatan yang adil untuk belajar.
Tidak bisa dipungkiri, Toefl bukan sekadar formalitas penandakan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara profesional dalam lingkungan internasional.
Bagi sebagian institusi, terutama di sektor teknologi, diplomasi, atau kerja sama global, syarat ini bukan hanya wajar tapi mutlak.
Namun, perlu dipahami bahwa kemampuan itu tidak bisa tiba-tiba dimiliki, apalagi oleh mereka yang bahkan belum terbiasa dengan pengajaran bahasa Inggris interaktif sejak dini.
Di sinilah negara seharusnya tidak hanya menjadi “penjaga gerbang”, tetapi juga penyedia jembatan.
Pemerintah sudah benar menegaskan bahwa Toefl adalah bagian dari pengembangan diri.
Tapi jika itu benar-benar menjadi kebijakan nasional, maka negara juga berkewajiban untuk memperluas akses pelatihan bahasa Inggris ke seluruh pelosok negeri Karena Kita tidak menolak Toefl.
Baca juga: Tak Hanya Oxford, Ini Kampus Berkualitas di Inggris yang Perlu Kamu Ketahui
Kita hanya ingin kebijakan yang adil, bukan hanya pada hasil tapi juga pada proses menuju hasil itu.
Karena dalam dunia yang katanya inklusif, kesempatan untuk berkembang seharusnya bukan milik mereka yang mampu, tapi juga mereka yang mau asal diberi jalan.
Penulis: Tantri Parihat
Mahasiswa Universitas Pamulang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News