Pada tahun 2024 lalu, tepatnya tanggal 24 Oktober 2024, muncul berita mengenai keinginan Presiden Prabowo untuk mengajarkan matematika sejak Taman Kanak-Kanak (TK). Berita ini banyak tersebar di media sosial maupun di media massa.
Presiden Prabowo menyampaikan keinginannya ini melalui Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) yang baru dilantik.
Lebih lanjut, Prof. Mu’ti menjelaskan bahwa matematika merupakan dasar dalam pengembangan sains dan teknologi di Indonesia. Ia menyebut Presiden Prabowo memiliki perhatian besar kepada penguasaan sains dan teknologi di masa depan.
“Ya karena beliau sangat concern pada peningkatan kualitas sains, teknologi, dan kalau kita bicara sains dan teknologi, kan salah satunya matematika. Dan tadi ada tawaran bagaimana pelajaran matematika di tingkat SD, kelas 1 sampai kelas 4, dan mungkin mengenalkan matematika untuk anak-anak di tingkat TK,” katanya.
Tentu keinginan Presiden Prabowo ini mendapatkan respon dari berbagai pihak, terutama dari kalangan akademisi. Achmad Hidayatullah, selaku Pakar Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan bahwa gagasan yang disampaikan presiden terpilih memiliki sisi positif dalam rangka mendorong anak cinta matematika sehingga akan mendorong kemampuan matematika siswa bisa meningkat.
“Namun, ada catatan yang perlu diperhatikan. Saya harap matematika untuk tingkat TK tersebut jangan dimaknai sebagai simbol, angka-angka, dan operasi matematika. Karena pada usia tersebut anak belum cocok memahami simbol dan operasi matematika,” ujar Dayat.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR RI di bidang pendidikan, Esti Wijayanti, menyatakan bahwa hal tersebut memerlukan kajian mendalam dan perencanaan yang matang. Esti juga menekankan bahwa penyampaian materi matematika di tingkat TK memerlukan sistem dan mekanisme tersendiri.
Lalu bagaimana hal tersebut jika dilihat dari kacamata formalisme matematika? Apakah pengajaran matematika di jenjang TK relevan untuk dilakukan? Sebelum sampai ke sana, alangkah baiknya kita sedikit mengenal tentang apa itu formalisme matematika.
Formalisme matematika merupakan salah satu aliran dalam filsafat matematika yang pertama kali dicetuskan oleh David Hilbert (1862-1943) pada tahun 1925.
Aliran ini menyatakan bahwa matematika hakikatnya hanyalah sekadar rekayasa simbol berdasarkan aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologis, yang memiliki konsistensi internal, tetapi kosong dari makna (Prabowo, 2009).
Artinya, apapun yang dihasilkan dari matematika sama sekali tidak mempunyai (dan memang tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu pengetahuan dan dunia nyata.
Lebih lanjut, matematika berasal dari penggunaan pikiran manusia secara bebas, bukan melalui praktik matematisasi dalam kehidupan sehari-hari. Masalah matematika dapat berguna dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata itu bukan menjadi urusan.
Selanjutnya, kita akan memahami sedikit mengenai objek-objek yang dipelajari dalam matematika. Objek-objek matematika bersifat abstrak. Misalnya, angka 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya, serta bentuk-bentuk geometri seperti persegi panjang, segitiga, kubus, dan limas, tidak benar-benar ada di dunia nyata.
Baca Juga: Bagaimana Model Pembelajaran Experiental Learning Diterapkan dalam Pembelajaran Matematika?
Objek-objek tersebut hanya ada dalam benak dan mental orang yang memikirkannya, tidak pernah dapat dibuat menjadi nyata atau bersifat fisik, serta tidak perlu dihubungkan dengan benda fisik atau diberi makna tertentu.
Kita beralih kepada pengetahuan matematika. Pengetahuan matematika bersifat apriori yang memiliki arti bahwa pengetahuan ini diperoleh tanpa perlu melibatkan pengalaman atau pengamatan langsung dari dunia nyata.
Artinya, kita bisa memahami dan mengembangkan konsep-konsep matematika melalui proses pemikiran dan logika saja, tanpa memerlukan bukti empiris.
Pengetahuan matematika diperoleh melalui deduksi logis dari proposisi (pernyataan yang kebenarannya belum diketahui) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi lain yang telah terbukti kebenarannya. Ini semua melibatkan proses berpikir tanpa menggunakan fakta-fakta empiris.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan awal, apakah relevan matematika diterapkan di jenjang TK setelah kita mengetahui hakikat matematika semacam itu? Tentu jawabannya ialah kurang relevan.
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget (1952), usia kanak-kanak umumnya berada dalam tahap pra-operasional. mereka memiliki cara berpikir yang sangat konkret dan egosentris.
Pemikiran mereka didasarkan pada hal-hal yang bisa mereka lihat, sentuh, atau rasakan secara langsung sehingga mereka belum siap untuk konsep-konsep yang terlalu abstrak atau simbolis.
Nah, bayangkan apabila matematika diajarkan kepada mereka, tentu mereka akan kesulitan untuk memahaminya. Bahkan yang lebih buruknya dapat menyebabkan frustasi serta hilangnya motivasi dan minat belajar mereka.
Apabila ada yang berpendapat bahwa matematika yang diajarkan di jenjang TK nantinya bukan teori yang abstrak, tetapi menggunakan sesuatu yang konkrit dalam keseharian mereka, jelas ini sangat bertentangan dengan hakikat matematika bahwa objek-objek dalam matematika abstrak dan tidak pernah ada di dunia nyata.
Bagaimana mungkin kita memberikan pengajaran kepada anak-anak yang masih dalam tahap pra-operasional dengan mengajarkan sesuatu yang tidak ada secara nyata di hadapan mereka?
Mungkin di antara kita ada yang mengatakan, benda-benda konkrit yang ada di dunia nyata tersebut hanyalah langkah awal dalam kita mengenalkan konsep-konsep matematika abstrak kepada anak-anak.
Jika demikian, maka yang dilakukan bukanlah mengajarkan matematika, namun hanya mengajarkan benda-benda sekitar yang dapat diindera oleh mereka secara nyata. Sekali lagi bahwa objek-objek matematika tidak benar-benar ada di dunia nyata!
Semisal anggaplah kita setuju tentang pengenalan konsep matematika melalui sesuatu yang konkrit dalam kehidupan.
Tetapi hal tersebut tentu memiliki risiko. Jika matematika dikenalkan dengan benda konkret sejak dini, ada risiko bahwa anak-anak akan salah memahami esensi matematika sebagai sesuatu yang selalu terkait dengan benda-benda nyata, bukan sebagai sistem simbol abstrak.
Baca Juga: Penggunaan Model Pembelajaran (RME) dalam Pembelajaran Matematika Kelas III Sekolah Dasar
Pendekatan ini dapat membuat transisi ke matematika formal yang murni simbolik lebih sulit ketika mereka berada di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penjelasan tersebut ialah pengajaran matematika di jenjang TK tidak relevan untuk diterapkan.
Selain itu, juga bertentangan dengan hakikat matematika itu sendiri. Matematika merupakan disiplin yang abstrak, bebas dari keterkaitan dengan dunia nyata, dan berlandaskan pada sistem simbolis yang kompleks.
Memperkenalkan konsep ini melalui objek konkret tidak akan membuat anak-anak memahami esensi matematika yang sebenarnya, malah bisa menciptakan kesalahpahaman tentang sifat matematika di kemudian hari.
Dengan demikian, upaya mengenalkan matematika di jenjang TK melalui benda-benda konkret bukanlah pengajaran matematika yang sesungguhnya, melainkan hanya pengenalan terhadap benda-benda yang dapat diindera.
Ini tidak sejalan dengan hakikat matematika sebagai sistem abstrak yang dipahami melalui pemikiran logis, bukan pengalaman nyata. Pendekatan ini, jika dipaksakan pada anak-anak usia TK, hanya akan menghilangkan esensi matematika dan merugikan perkembangan akademis mereka di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Penulis: Yoga Tegar Santosa
Mahasiswa Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. International Universities Press.
Prabowo, A. (2009). Aliran- Aliran Filsafat Dalam Matematika. Jurnal Ilmiah Matematika dan Pendidikan Matematika (JMP), 1(2), 25–45. https://doi.org/doi.org/10.20884/1.jmp.2009.1.2.2979
https://theconversation.com/prabowo-minta-matematika-diajarkan-di-tk-bagaimana-seharusnya-242112
Ikuti berita terbaru di Google News