Pernahkah kamu membayangkan datang ke kampus dengan semangat belajar, atau menjadi seorang pasien yang masuk ke rumah sakit dengan harapan sembuh. Tapi alih-alih mendapatkan perlindungan dan kenyamanan, malah justru menjadi korban kekerasan seksual dan menimbulkan rasa trauma dari orang yang seharusnya bisa di percaya. Sayangnya, ini bukan lagi cerita fiksi. Ini nyata! bahkan semakin hari, kita semakin sering mendengarnya.
Pertanyaannya, kenapa ini terus terjadi? Bukankah kampus dan rumah sakit adalah tempat yang dihuni oleh orang-orang terpelajar, terlatih, dan diharapkan menjunjung tinggi etika? Ironisnya, justru di tempat-tempat itulah kekuasaan seringkali disalahgunakan. Korban tidak hanya terluka secara fisik dan psikologis, tapi juga sering dibuat bungkam. Mereka dianggap mencemarkan nama baik, bukan dicari kebenarannya.
Dan kita sebagai masyarakat, apa yang kita lakukan? Apakah kita cukup peduli? Atau kita memilih diam karena merasa ini bukan urusan kita?
Faktanya, selama institusi lebih sibuk menjaga citra daripada membela korban, kekerasan seksual akan terus jadi luka yang tak sembuh-sembuh. Maka, penting bagi kita semua sebagai mahasiswa, tenaga medis, dosen, pimpinan lembaga, dan masyarakat umum untuk tidak hanya sadar, tapi juga bersuara. Karena diam berarti membiarkan.
Urgensi Penanganan Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan dan Kesehatan
Kekerasan seksual di institusi pendidikan dan kesehatan merupakan isu serius yang mendesak untuk ditangani. Laporan Komnas Perempuan 2023 mencatat bahwa 27% kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas, termasuk kampus dan fasilitas kesehatan.
Lingkungan yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi tempat terjadinya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Korban tak hanya mengalami trauma fisik dan psikologis, tetapi juga kerap terhambat dalam mengakses pendidikan atau layanan kesehatan secara adil karena stigma dan minimnya perlindungan.
Hal tersebut tidak hanya mengakibatkan menimpa korban secara individu, tetapi juga mencoreng kredibilitas institusi. Jika dibiarkan, kekerasan seksual merusak kepercayaan publik dan menormalisasi budaya diam.
Karena itu, institusi pendidikan dan kesehatan harus membangun sistem pelaporan yang aman, menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku, serta memberikan pendampingan nyata bagi korban. Penanganan yang serius bukan hanya bentuk keadilan, tetapi juga investasi dalam menciptakan lingkungan yang manusiawi dan bermartabat.
Relasi Kuasa sebagai Faktor Penyebab Utama
Salah satu penyebab utama kekerasan seksual di institusi pendidikan dan kesehatan adalah ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku sering kali berada dalam posisi otoritas seperti dosen terhadap mahasiswa atau dokter terhadap pasien yang memungkinkan mereka memanfaatkan kedudukan tersebut untuk melakukan kekerasan seksual.
Ketimpangan ini menciptakan situasi di mana korban merasa sulit menolak, melapor, atau bahkan menyadari bahwa mereka mengalami pelecehan karena takut terhadap ancaman nilai akademik, kehilangan akses pendidikan, atau diskriminasi layanan.
Fakta dari Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa banyak kasus kekerasan seksual di kampus tidak dilaporkan karena korban merasa tidak akan dipercaya atau takut pada dampak akademis dan sosial.
Di sektor kesehatan, pasien sering berada dalam posisi sangat rentan baik secara fisik maupun psikologis sehingga relasi kuasa menjadi medan subur bagi pelanggaran etika.
Memahami dan mengatasi ketimpangan kuasa menjadi langkah krusial dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. Institusi harus berani meninjau ulang struktur dan budaya internal yang memungkinkan penyalahgunaan kuasa tetap terjadi.
Dampak Kekerasan Seksual terhadap Hak Asasi Manusia
Kekerasan seksual adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia yang merampas martabat, rasa aman, dan kebebasan individu, terutama korban. Kekerasan ini tidak hanya menyebabkan luka fisik, tetapi juga kerusakan psikologis jangka panjang seperti trauma, depresi, hingga gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 mencatat sebanyak 4.821 kasus kekerasan seksual dilaporkan, dan mayoritas korbannya adalah perempuan yang berada dalam posisi rentan secara sosial maupun struktural. Ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini sebagai ancaman terhadap hak atas perlindungan, keadilan, dan kesehatan mental korban.
Dampaknya juga menjalar ke ranah sosial: banyak korban kehilangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan karena stigma dan victim blaming. Ketika negara atau institusi gagal memberikan perlindungan, korban justru terpinggirkan, padahal mereka seharusnya dilindungi dan diberdayakan.
Kekerasan seksual, dengan segala dampaknya, bukan hanya kejahatan terhadap individu, tetapi juga kegagalan kolektif dalam menjamin hak asasi manusia. Penanganan kekerasan seksual harus ditempatkan sebagai prioritas dalam agenda kemanusiaan, dengan pendekatan yang berfokus pada korban dan keadilan yang menyeluruh.
Keterbatasan Akses Keadilan Dan Perlindungan Korban
Menurut kami, di Indonesia sendiri kedudukan korban tindak kejahatan seksual belum mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan memadai.
Berbagai proses hukum yang sudah dilakukan belum memperoleh hasil dari kebutuhan korban, sehingga ketika korban harus berhadapan dengan proses peradilan, bukannya korban mendapatkan peradilan, tetapi terkadang korban cenderung disalahkan, seolah korban lah yang memicu adanya tindak kekerasan seksual ini. Kondisi yang demikian ini sangat menghambat korban untuk memperjuangkan hak-haknya.
Misalnya seperti, pemberlakukan delik aduan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang ketentuannya pada Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53 yang menyatakan bahwa kekerasan fisik, psikis dan seksual merupakan delik aduan.
Hal seperti inilah yang belum berhasil memperoleh kebutuhan korban yang dimana mereka mempunyai hak untuk meminta dan mempertanyakan keadilan.
Peran Regulasi dan Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual
Pada tahun 2020, terdapat 88% kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, maka dibentuklah Satuan Tugas Satuan Tugas (satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.
Kebijakan ini bertujuan untuk mewadahi para korban agar mereka mendapatkan perlindungan hukum demi hak dan keadilan yang mereka punya. Mendampingi korban serta ikut andil dalam pemulihan korban dan juga menjadikan suatu upaya untuk pencegahan pelecehan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
Satgas juga berperan dalam mengedukasi civitas akademika tentang tindakan kekerasan seksual. serta membangun budaya perguruan tinggi yang menghargai kesetaraan dan menciptakan lingkungan yang inklusif.
Pentingnya Pendidikan Seksual dan Kesadaran untuk Pencegahan
Dari kami berpendapat bahwa pendidikan seksual sangat penting dalam upaya menyikapi kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan dan kesehatan. Kedua lingkungan ini seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendidik, namun pada kenyataannya, masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai hak atas tubuh, batasan pribadi, dan bagaimana melaporkan tindakan kekerasan.
Pendidikan seksual yang komprehensif dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya consent (persetujuan) serta keterampilan untuk mengenali dan mencegah tindakan kekerasan seksual sejak dini.
Institusi pendidikan dan kesehatan memiliki peran besar dalam memberikan edukasi dan menciptakan lingkungan aman bagi semua pihak. Dengan adanya pendidikan seksual, para peserta didik, tenaga kesehatan, maupun staf lainnya akan lebih sadar akan hak dan kewajiban mereka dalam menjaga keamanan serta melindungi diri maupun orang lain dari kekerasan seksual.
Kami yakin bahwa dengan meningkatkan kesadaran melalui pendidikan yang terstruktur dan melibatkan semua pihak, kita dapat meminimalkan risiko kekerasan seksual dan memastikan institusi pendidikan dan kesehatan benar-benar menjadi ruang yang aman dan mendukung.
Perlunya Penegakan Hukum yang Tegas dan Transparan
Menurut kami, penting sekali menegakkan hukum secara tegas dan transparan dalam menangani kekerasan seksual di institusi pendidikan dan kesehatan. Kedua institusi ini memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melindungi semua pihak yang ada di dalamnya, tetapi kenyataannya masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani dengan serius.
Maka dari itu, diperlukan proses hukum yang adil dan terbuka agar pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal, sekaligus menimbulkan efek jera yang nyata.
Proses hukum yang tegas akan memastikan bahwa setiap pelaku kekerasan seksual tidak merasa kebal hukum hanya karena berada dalam institusi tertentu. Selain itu, transparansi dalam penanganan kasus juga sangat penting agar korban merasa didukung dan dilindungi, bukan malah disalahkan atau diabaikan.
Dengan adanya hukum yang ditegakkan secara konsisten, institusi pendidikan dan kesehatan akan lebih dipercaya oleh masyarakat, serta mampu menjadi tempat yang aman dan bermartabat bagi semua pihak.
Pentingnya Kolaborasi Semua Pihak
Pada kasus-kasus yang telah terjadi ini, kolaborasi semua pihak sangat penting dalam menyikapi kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan dan kesehatan. Kasus kekerasan seksual di tempat yang seharusnya aman ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan tidak bisa dilakukan secara parsial atau hanya mengandalkan satu pihak saja.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, institusi pendidikan, tenaga kesehatan, tenaga pendidik, mahasiswa, orang tua, dan masyarakat luas agar tercipta lingkungan yang benar-benar aman dari segala bentuk kekerasan seksual.
Kekerasan seksual bukan urusan satu pihak saja, semua punya peran penting untuk mencegah dan menangani. Pemerintah harus tegas buat aturan dan pastikan hukum berjalan, bukan cuma wacana. Sekolah dan fasilitas kesehatan wajib awasi dan edukasi soal pencegahan, sementara guru dan tenaga kesehatan harus paham agar bisa jadi agen perubahan.
Mahasiswa, orang tua, dan masyarakat juga harus aktif, jangan diam; kalau ada kekerasan, segera lapor dan dukung korban. Kita harus bersinergi supaya lingkungan aman, hak dihargai, dan kekerasan seksual hilang. Mulai dari diri sendiri dan sekitar, karena perubahan besar dimulai dari langkah kecil bersama.
Baca juga: Memahami dan Melawan Kekerasan Seksual: Peran Masyarakat dan Hukum
Kekerasan seksual di kampus dan rumah sakit bukan lagi cerita fiksi tapi kenyataan pahit yang terus berulang. Tempat yang seharusnya aman tetapi menjadi lokasi penyalahgunaan kekuasaan.
Korban tidak hanya menderita trauma, tapi sering dibungkam dan bahkan disalahkan. Sementara institusi lebih sibuk jaga nama baik daripada lindungi korban. Padahal sudah ada aturan dan satgas pencegahan, tapi tanpa penegakan hukum yang tegas dan dukungan untuk korban, semua itu cuma formalitas belaka.
Jadi, ayo kita buka mata dan tidak diam lagi! Mulai dari diri sendiri dengan pahami pentingnya persetujuan dalam hubungan. Laporkan jika melihat atau mengalami kekerasan seksual.
Bagi institusi, berhentilah menutupi kasus demi citra dan mulailah prioritaskan keadilan korban. Kita semua mahasiswa, tenaga medis, dosen, pimpinan lembaga, dan masyarakat harus bergandengan tangan melawan ini.
Ingat, diam berarti setuju dengan ketidakadilan. Perubahan dimulai dari langkah kecil kita bersama hari ini. Karena setiap suara peduli adalah kekuatan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bermartabat bagi semua!
Penulis:
- Kayla Shiva Andhini
- Karimah Safinatuzzahiroh
- Nayla Az Zahra Putri Amri
- Nayla Nur Syahrani Nasution
- Nadisya Nur Alima
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News