Mengurai Misteri Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan
Sumber: REUTERS/Eloisa Lopez/File Photo

Laut Cina Selatan: Pertarungan Geopolitik hingga Sumber Daya yang Tak Terhindarkan

Laut Cina Selatan atau yang lebih dikenal dengan Laut Tiongkok Selatan merupakan lautan semi tertutup yang terletak di Samudera Pasifik.

Wilayah ini terbentang dari Selat Karimata, Selat Malaka sampai Selat Taiwan serta mempunyai potensi strategis yang sangat penting.

Dengan luas kurang lebih 3,5 juta kilometer persegi, Laut Cina Selatan ini merupakan salah satu perairan terluas di dunia dan menarik perhatian banyak negara karena kekayaan sumber daya alam dan letak geopolitiknya yang sangat strategis.

Laut Cina Selatan belakangan ini menarik perhatian internasional karena sengketanya yang sangat rumit.

Bacaan Lainnya

Negara-negara, seperti Republik Rakyat Cina (Tiongkok), Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei mempunyai klaim teritorial yang saling bertentangan di wilayah ini.

Klaim ini sering kali didasarkan pada sejarah, geografi, dan kepentingan ekonomi. Seperti contoh, Cina menggunakan peta tahun 1947 yang menampilkan sembilan garis putus-putus (nine-dash line) untuk mendukung klaimnya atas laut ini, meskipun klaim ini telah dipersengketakan oleh banyak negara lain.

Baca Juga: Politik Bebas Aktif, Mengapa Indonesia Tak Bisa jadi Penengah dalam Konflik Israel-Palestina?

Argumen utama klaim Cina atas Laut Cina Selatan adalah bahwa laut tersebut telah menjadi bagian integral wilayah Cina sepanjang sejarah.

Sejak tahun 1951, pemerintah Cina telah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel berdasarkan prinsip “HISTORIC WATERS”.

Namun klaim ini ditentang oleh negara-negara lain, yang juga telah memberikan bukti sejarah dan geografis untuk mendukung klaim mereka.

Selain itu, Laut Cina Selatan juga mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar, seperti minyak dan gas alam.

Oleh karena itu, penguasaan lautan ini membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara yang berhasil menguasainya.

Misalnya, Amerika Serikat telah mengidentifikasi Laut Cina Selatan sebagai kawasan strategis untuk pengembangan energi masa depan.

Namun, terdapat argumen tandingan yang cukup kuat terhadap klaim Cina. Salah satu contohnya adalah tuntutan hukum dari negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Vietnam.

Baca Juga: NEOM: Analisis Geopolitik terhadap Proyek Ambisius Arab Saudi

Mereka berpendapat klaim sembilan garis putus-putus Cina tidak sah dan tidak sesuai dengan yang ada dalam Undang Undang Laut Internasional (UNCLOS).

Selain itu, banyak negara mengklaim bahwa mereka memiliki hak maritim yang sah atas wilayah tertentu di laut ini berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Selain itu, aktivitas militer Cina yang agresif di lautan meningkatkan ketegangan regional.

Serangan terhadap kapal asing dan insiden lainnya telah meningkatkan risiko konflik di kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa solusi diplomatis masih belum bisa menyelesaikan konflik ini.

Kesimpulan

Adapun beberapa cara untuk mendamaikan konflik ini seperti mencari solusi diplomatik harus terus dilakukan melalui forum internasional ataupun kawasan, seperti ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perjanjian yang komprehensif dan transparan dapat membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan kepercayaan antar negara.

Yang kedua, implementasi Undang-Undang Laut Internasional (UNCLOS) hal ini dapat berkontribusi pada normalisasi klaim teritorial dan hak serta kepentingan maritim masing-masing negara.

Baca Juga: Gejolak Politik di Asia Pasifik: Kemanakah Indonesia Harus Melangkah?

Dokumentasi yang jelas dan konsisten dapat membantu menghindari konflik dan meningkatkan stabilitas regional.

Dan yang terakhir melalui program ekonomi damai, seperti investasi infrastruktur dan promosi perdagangan, negara-negara dapat bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan regional tanpa menggunakan kendali politik atau militer.

Program-program ini membantu mengubah paradigma kepentingan nasional menuju kebaikan bersama.

Saya melihat Laut Cina Selatan bukan sekedar laut yang disengketakan, namun juga mencerminkan kompleksitas hubungan internasional serta perlunya kerja sama internasional untuk menjaga keamanan serta stabilitas modern.

Solusi inklusif dan berkelanjutan mengarah pada perdamaian dan pembangunan positif bagi semua pihak yang terlibat.

Baca Juga: Strategi Indonesia dalam Menghadapi Resesi Global

Tentang Penulis

Artikel ini ditulis oleh Dafa Abiyyu Rafi Rakhman, seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Angkatan 2022 kelahiran 31 Oktober 2003 di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Dengan latar belakang akademik Hubungan Internasional, beliau memiliki ketertarikan terhadap isu-isu geopolitik yang berkaitan dengan Studi Kawasan.

Tujuan dari dibuatnya artikel sebagai bagian dari latihan untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis serta menggali isu-isu yang berkaitan dengan Studi Kawasan, terutama dalam isu Laut Cina Selatan ini yang tak henti-hentinya diperebutkan.

 

Penulis: Dafa Abiyyu Rafi Rakhman
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia

Referensi

Mengapa Laut Cina Selatan Jadi Sengketa? Berikut Sejarahnya, 2024

Sejarah Konflik Laut China Selatan yang Jadi Rebutan, 2022

(htt2)http://scholar.unand.ac.id/39315/2/Bab%20I%20(Pendahuluan).pdf

https://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/30062/6.%20bab%20ii.pdf?sequence=6

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

1 Komentar