Meningkatkan Minat dan Kualitas dalam Menghafal Al-Quran Melalui Filsafat

Menghafal Al-Quran Melalui Filsafat
Ilustrasi Kucing bersama Al-Qur'an (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berperan sebagai petunjuk hidup di dunia dan di akhirat. Tapi seringkali umat Islam abai terhadap peran Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Sebagaimana petunjuk pada umumnya, sudah seharusnya Al-Quran dibaca, dipahami, dihafalkan, diamalkan, dan didakwahkan.

Dilansir dari data yang terdapat dalam laman Kementerian Agama RI, skor indeks literasi Al-Quran di Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 66,038. Tentu harapannya angka tersebut bisa terus meningkat, sehingga perlunya kita untuk selalu membumikan Al-Quran, yang salah satu caranya adalah dengan mengahafalkannya.

Maraknya program menghafal Al-Qur’an khususnya di Indonesia adalah sesuatu yang sepatutnya kita syukuri. Misi dari berbagai program terkait Al-Quran tiada lain adalah untuk selalu membumikan Al-Quran.

Bacaan Lainnya
DONASI

Adapun proses menghafal Al-Quran memiliki berbagai faktor pendukung, baik dari segi internal maupun eksternal, yang mana faktor-faktor ini harus selalu kita pertahankan agar proses menghafal Al-Quran senantiasa dirasa mudah dan lancar.

Faktor-faktor pengaruh hafalan tersebut dapat kita lihat dari sudut pandang filsafat, sehingga pada tulisan ini akan dikaji pengaruh filsafat terhadap minat menghafal Al-Quran dan kualitas hafalan yang diperoleh.

Filsafat berasal dari Bahasa Yunani yaitu philosophia, philos berarti cinta, sahabat, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, dan pengetahuan. Filsafat adalah metodologi yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan terkait eksistensi, penalaran, hakikat, serta manfaat dari suatu hal.

Dalam kegiatan mengahafal Al-Quran, pengetahuan terkait eksistensi dan manfaat dari Al-Quran itu sendiri diperlukan untuk meningkatkan minat dan kualitas dalam menghafal Al-Quran.

Untuk memperkuat kajian mengenai hubungan filsafat dan proses menghafal Al-Quran, dilakukanlah proses wawancara kepada salah seorang penghafal Al-Quran tentang bagaimana sudut pandangnya dan keyakinannya selama proses menghafal sampai saat ini setelah ia menyelesaikan hafalannya.

Berikut adalah paparan hasil wawancara bersama Alvi Iswatin Hasanah Kamal, yang biasa dipanggi Alvi terkait pengalamannya dalam mengahafal Al-Qur’an.

Berawal dari kebiasaan di dalam keluarga dan kemampuan yang dimiliki oleh sang kakak dalam menghafal Al-Qur’an, Alvi termotivasi untuk mengikuti jejak keluarganya dalam menghafal Al-Qur’an. Namun di samping motivasi dari keluarga, hal yang tak kalah penting baginya adalah firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9 yang artinya “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”.

Sejumlah ahli tafsir mengatakan bahwa kata “Kami” dalam ayat tersebut bermakna Allah, para malaikat, Rasullullah, para sahabat, dan para hafiz Quran. Maksud dari kata hafiz di sini bukan hanya penghafal Al-Quran, namun juga merupakan seseorang yang senantiasa menjaga Al-Quran.

Peran sebagai hafiz Quran inilah yang kemudian menjadi penting untuk menjaga keotentikan Al-Quran seiring berkembangnya zaman. Semakin maju perkembangan zaman, semakin banyak orang yang mengatasnamakan Al-Quran dalam kesalahan mereka.

Tidak menutup kemungkinan, suatu saat nanti akan ada orang-orang yang menyalahi makna yang terkandung di dalam Al-Quran. Hal inilah yang menguatkan Alvi dalam niatannya untuk mengahafal Al-Quran, karena betapa mulianya posisi hafiz Quran di muka bumi ini sehingga Al-Quran bisa terus terjaga keasliannya sebagaimana yang dijanjikan Allah.

Jadi, baginya mengahafal Al-Quran bukan tentang seberapa banyak atau seberapa cepat hafalannya, tapi bagaimana kita bisa menjaga keontetikan Al-Quran seiring berkembangnya zaman.

Kemudahan dalam proses menghafal Al-Quran bagi Alvi bisa ditunjang dari segi metode yang digunakan dalam menghafal. Menurutnya, kita perlu memilih metode menghafal yang dirasa cocok agar proses menghafal bisa terasa mudah bahkan menyenangkan.

Selain metode, lingkungan yang mendukung juga diperlukan untuk menjadi dorongan agar selalu mengaji dan menghafal. Alvi tinggal di lingkungan pesantren yang kegiatan utamanya adalah menghafal Al-Quran. Hal ini tentu menjadi dorongan yang kuat baginya untuk bisa senantiasa dekat dengan Al-Quran.

Proses menghafal Al-Quran berkaitan erat dengan kualitas keimanan, sehingga Alvi juga memberikan pandangan-pandangannya terkait bagaimana cara agar keimanan kita bisa selalu terjaga selama proses menghafal. Baginya, keimanan bisa dipupuk dengan adanya keyakinan bahwa Al-Quran bisa menenangkan hati dan menjawab setiap permasalahan yang kita miliki.

Sebagaimana peran Al-Quran sebagai petunjuk hidup, jika kita bisa memahami berbagai petunjuk yang terkandung di dalamnya, maka hal tersebut akan menjadi faktor pendukung meningkatnya keimanan. Dengan kata lain, di samping mengahafalkan Al-Quran, kita juga dituntut untuk bisa memahami isi dari Al-Quran.

Masih terkait memahami isi dari Al-Quran, menurut Alvi motivasi untuk menghafal bisa muncul ketika kita senantiasa mentadaburi Al-Quran. Dengan mentadaburi Al-Quran, banyak hikmah yang bisa diambil dan lama-kelamaan kita akan menyadari keajaiban-keajaiban yang dimiliki Al-Quran.

Al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan”, inilah keyakinannya yang lain terkait Al-Quran. Ketika mengkaji suatu ilmu, janganlah lupa bahwa pusat keilmuan sesungguhnya ada dalam Al-Quran. Al-Quran mampu menyempurnakan segala ilmu yang ada di dunia.

Jika kita senantiasa ikhlas saat membaca Al-Quran, maka pesan Al-Quran akan tersampaikan dengan baik, sehingga selain bisa mendapatkan hikmah atau ilmu dari apa yang kita baca, proses menghafal juga bisa terasa mudah terlepas dari bagaimana tingkat kecerdasan seseorang. Hal ini karena kemurnian hati seseorang akan membuat Allah memberi tanpa perhitungan.

Bicara terkait tingkat kecerdasan, Alvi meyakini bahwa keseriusan menghafal Al-Quran akan membawa dampak positif pada kualitas akademik seseorang. Baginya, Al-Quran diibaratkan sebagai antivirus otak, sehingga ketika kita menyimpan Al-Quran dalam ingatan kita, maka ilmu lain akan mudah untuk diterima.

Baca juga: Menemukan Inspirasi tanpa Batas: Kisah Inspiratif Wanita dalam Al-Qur’an

Islam menganjurkan kepada para orang tua agar ilmu yang diajarkan pertama kali kepada anak sebaiknya adalah ilmu Al-Quran, di samping anak belajar ilmu tauhid, yang sebenarnya ilmu tauhid sudah Allah berikan kepada setiap manusia sejak lahir, bahkan sebelum lahir ke dunia, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Araf ayat 172.

Usia emas adalah usia yang tepat untuk mengahafal Al-Quran karena pada usia ini anak belum memiliki banyak beban pikiran, anak juga belum rentan lupa, dan yang diharapkan ketika mereka dewasa adalah mereka bisa menggali ilmu Al-Quran yang lebih lanjut, seperti mengakaji tafsir Al-Quran, yang mana proses belajar lanjutan ini akan lebih mudah jika ayat yang dipelajari sudah dihafalkan.

Selain bercerita tentang pandangan dan pedoman yang memperkuat keyakinannya dalam menghafal Al-Quran, Alvi juga memberikan pandangannya terkait maraknya program hafalan Al-Quran, khusunya di Indonesia. Baginya hal ini merupakan sesuatu yang harus disyukuri sekaligus harus dikhawatirkan.

Kekhwatirannya muncul karena beberapa lembaga menerapkan metode menghafalkan Al-Quran dengan cepat tanpa mempertimbangkan substansi menghafal itu untuk apa. Kembali ke poin awal, hafiz Quran diperlukan untuk bisa senantiasa menjaga keotentikan Al-Quran, namun kenyataannya banyak program hafalan yang mengesampingkan aturan-aturan membaca Al-Quran karena fokus pada target hafalan.

Padahal Allah menurunkan Al-Quran beserta dengan tajwidnya sehingga hukumnya wajib bagi kita untuk mentajwidkan (membaguskan bacaan) Al-Quran setiap kali membacanya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak pada kerusakan dalam bacaan Al-Quran. Lebih parahnya lagi, jika hafalannya diajarkan kembali pada orang lain, maka kesalahannya akan terjadi terus-menerus.

Sebagaimana yang diketahui, Al-Quran adalah mukjizat Rasulullah SAW, karena jika dipandang dari segi bahasanya, bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab yang paling tinggi tingkatannya, bukan hanya dari segi bakunya bacaan, tapi bahasa Al-Quran juga mengandung nilai sastra yang tinggi.

Selain itu, Al-Quran juga mewajibkan untuk dibaca tajwidnya, padahal tingkatan bahasa Arab yang lain tidak mewajibkan tajwid dalam proses melafalkannya. Sehingga saat proses menghafal Al-Quran, kualitas bacaan menjadi hal yang penting bagi Alvi demi menjaga keotentikan dan kemuliaan Al-Quran sebagai kitab umat Islam sekaligus mukjizat bagi Rasulullah.

Alvi mengingatkan bahwa terlepas dari apapun kesibukan kita sehari-hari, jika perjalanan hidup kita dikuatkan dengan ilmu-ilmu Al-Quran, maka lelah yang kita rasakan selama proses pencapaian yang kita lalui akan menjadi tinggi nilainya, bukan hanya tinggi di dunia, tapi dianggap tinggi juga di akhirat.

Sebaliknya, jika kita melupakan Al-Quran, maka akan terjadi kehampaan dalam hidup. Karena bagaimanapun juga, segala sesuatu yang kita jalani merupakan takdir Allah, yang mana penjelasan mengenai takdir telah Allah firmankan di dalam Al-Quran.

Menjalani hidup bersama Al-Quran menurut Alvi bisa menjadi tameng bagi hawa nafsu. Fitrahnya hawa nafsu akan mengarahkan kita pada harta, tahta, dan kekuasaan di dunia, yang mana semua itu akan membutakan kita pada kebenaran, sehingga kita akan berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan. Al-Quran akan jadi pelindung agar hawa nafsu senantiasa terjaga, sehingga terhindar dari sifat-sifat tercela.

Untuk meningkatkan kualitas hafalan, kesucian hati merupakan hal yang berpengaruh. Alvi menekankan bahwa menghafal Al-Quran bukan hanya perkara menghafal saja, tapi lebih dari itu bagaimana kita memahami ayat-ayat Al-Quran dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.

Terdapat kasus di mana seorang penghafal Al-Quran memiliki perilaku yang bertolak belakang dengan yang diajarkan di dalam Al-Quran. Menurut Alvi, niat adalah kunci pertama yang harus dimiliki oleh seorang penghafal Al-Quran.

Kualitas niat akan mempengaruhi kualitas hafalan ke depannya. Niat yang sucilah yang akan menghasilkan hafalan yang baik, bukan hanya dari segi kuantitas, tapi yang paling penting adalah segi kualitasnya.

Dengan niat yang baik, Al-Quran bukan hanya sekedar dihafalkan, tapi lebih dari itu akan tercermin juga di dalam kehidupan, karena hafalannya tidak hanya di lisan, tapi jauh sampai masuk ke hati. Inilah yang diharapkan dari seorang penghafal Quran, sebagai penjaga dan penegak agama Islam secara utuh.

Karena bisa jadi, suatu saat nanti Islam bisa pecah bukan karena faktor luar, melainkan karena faktor dari dalam Islam itu sendiri. yang mana penyebabnya adalah orang-orang yang tidak memahami Islam secara utuh.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dipaparkan sebelumnya, jika dikaitkan dengan filsafat, maka diperoleh kesimpulan bahwa kita perlu memahami epistemologi dan aksiologi dari mengahafal Al-Quran.

Pemahaman terkait epistemologi dan aksiologi inilah yang bisa meningkatkan minat dan kualitas dalam mengahafal Al-Quran. Epistemologi membahas terkait bagaimana cara kita menghafal Al-Quran, sedangkan aksiologi membahas terkait nilai atau manfaat dari menghafal Al-Quran itu sendiri.

Secara epistemologi, untuk bisa menghafal Al-Quran diperlukan metode yang menunjang proses menghafal agar kegiatan menghafal tidak terasa sulit. Selain metode, lingkungan yang mendukung juga menjadi faktor pendorong yang kuat dalam proses menghafal Al-Quran.

Menghafal akan dirasa lebih mudah ketika kita senantiasa bersama dengan orang-orang yang selalu mendukung setiap proses yang kita jalani. Kesucian hati dan niat juga tak kalah pentingnya karena niat adalah kunci pertama yang harus dimiliki oleh seorang penghafal Quran. Niat yang suci akan menghasilkan kualitas hafalan yang baik, sebaliknya jika niatnya tidak baik, maka kualitas hafalan yang diperoleh pun tidak akan baik.

Adapun secara aksiologi, menghafal Al-Quran adalah upaya untuk menjaga keaslian dari Al-Quran itu sendiri. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh para penghafal Al-Quran adalah kehidupannya akan lebih bernilai jika ia senantiasa bersama Al-Quran.

Al-Quran akan menjadi tameng untuk hawa nafsunya selama hidup di dunia, karena kebanyakan hawa nafsu akan mengarahkan kita kepada hal-hal yang tercela, namun dengan Al-Quran, kita akan senantiasa terhindar dari perilaku atau sifat yang tercela.

Menghafal Al-Quran juga akan bermanfaat bagi orang lain karena setelah membaca, memahami, menghafal, dan mengimplementasikan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki kewajiban untuk mendakwahkan Al-Quran. Ilmu dan segala hal yang terkandung di dalam Al-Quran pada akhirnya akan dirasakan oleh orang lain juga jika kita senantiasa mendakwahkannya.

 

Penulis: Rivani Adistia Dewi, S.Mat
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI