Kontroversi Penerapan UU Cipta Kerja Bagi Tenaga Alih Daya (Outsourcing)

Penerapan UU Cipta Kerja, yang dikenal juga sebagai Omnibus Law, telah memicu kontroversi besar di kalangan pekerja, khususnya tenaga alih daya (outsourcing). Salah satu aspek yang paling banyak diperdebatkan adalah dampaknya terhadap hak dan kesejahteraan para pekerja outsourcing. Banyak yang merasa bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan pengusaha daripada pekerja.

Tenaga alih daya yang merujuk pada pekerja yang diperkerjakan oleh perusahaaan penyedia jasa tenaga kerja untuk bekerja di perusahaan lain sering kali berada dalam posisi rentan. Sebelum UU Cipta Kerja diberlakukan, peraturan ketenagakerjaan di Indonesia sudah mengatur mengenai outsourcing, namun regulasi ini sering kali dinilai kurang memberikan perlindungan yang memadai bagi para pekerja.

UU Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan kejelasan dan peningkatan perlindungan bagi tenaga kerja alih daya, namun keyataannya justru memunculkan berbagai kontroversi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca juga: Perbandingan Hak Pekerja/ Buruh pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan

Sebelum masuk lebih dalam, mari kita lihat apa yang sebenarnya diatur dalam UU Cipta Kerja terkait tenaga alih daya. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam pasal tersebut, outsourcing didefinisikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Salah satu poin penting dalam UU Cipta Kerja adalah penghapusan batasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan. Sebelumnya, ada pembatasan bahwa hanya pekerjaan penunjang atau bukan pekerjaan inti dari suatu perusahaan yang bisa di-outsourcing-kan. Namun, dengan UU Cipta Kerja, batasan ini dihapus sehingga hampir semua jenis pekerjaan bisa di-outsourcing-kan.

Hal ini tentunya menimbulkan ketakutan di kalangan pekerja bahwa semakin banyak pekerjaan akan dialihkan ke perusahaan outsourcing yang notabene sering memberikan upah dan kondisi kerja yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap.

Banyak pekerja beranggapan bahwa kebijakan ini hanya akan menambah ketidakpastian kerja dan mengurangi hak-hak mereka. Sebagai contoh, para pekerja outsourcing sering kali tidak mendapatkan hak yang sama seperti pekerja tetap, termasuk jaminan sosial, upah yang layak, dan keamanan kerja. Dalam praktiknya, pekerja outsourcing sering kali diperlakukan sebagai “pekerja kelas dua” dengan hak yang lebih minim.

Selain itu, Pasal 66 UU Cipta Kerja mengatur bahwa perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya harus berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Namun, dalam kenyataannya, PKWT sering kali digunakan untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak pekerja seperti pesangon, cuti tahunan, dan lainnya. Ini menambah keresahan di kalangan pekerja outsourcing karena status mereka yang tidak pasti.

Di sisi lain, pemerintah dan pengusaha berargumen bahwa UU Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja dan investasi, yang pada akhirnya akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Mereka berpendapat bahwa dengan mengurangi regulasi yang ketat, perusahaan akan lebih mudah berkembang dan berinvestasi di Indonesia.

Baca juga: Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan

Namun, pertanyaannya adalah apakah peningkatan fleksibilitas ini harus mengorbankan kesejahteraan pekerja? Banyak serikat pekerja dan aktivis ketenagakerjaan menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada peningkatan perlindungan dan hak pekerja daripada hanya memudahkan regulasi bagi pengusaha.

Kontroversi ini memunculkan berbagai aksi protes dan demonstrasi dari berbagai kalangan pekerja di seluruh Indonesia. Mereka menuntut revisi atau bahkan pembatalan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan pekerja, terutama mereka yang bekerja sebagai tenaga alih daya.

Pada akhirnya, meskipun UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia, dampaknya terhadap tenaga alih daya harus diperhatikan dengan seksama. Pemerintah perlu memastikan bahwa hak-hak pekerja tetap terlindungi dan kesejahteraan mereka tidak dikorbankan demi kemudahan regulasi bagi pengusaha. Sebuah undang-undang seharusnya mampu menciptakan keseimbangan yang adil antara kepentingan ekonomi dan sosial, bukan malah memperparah ketidakadilan yang sudah ada.

Dalam konteks ini, diperlukan dialog dan kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk memastikan bahwa penerapan UU Cipta Kerja dapat memberikan manfaat yang seimbang. Perlindungan terhadap pekerja alih daya harus menjadi perhatian utama, dengan memastikan adanya mekanisme pengawasan yang efektif dan kepastian hukum yang jelas. Tanpa langkah-langkah tersebut, kontroversi seputar UU Cipta Kerja bagi tenaga alih daya akan terus menjadi isu yang mengundang perdebatan di Indonesia.

Baca juga: Memanfaatkan Kekuatan Big Data dan Peran Sains Data untuk Mewujudkan Indonesia Emas

Penulis: Zaida Aqluna Marosa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Hafizh, D. F., Maghribi, G., Mulyani, R., Afradyta, S. R., & Fernanda, S. (2022). Analisis Praktik Outsourcing Dalam Perspektif Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Lemhannas RI10(3), 212-223.

Ibrahim, K. M., Sugiartha, N., & Seputra, I. P. G. (2022). Sanksi Pidana terhadap Pemberi Kerja dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jurnal Konstruksi Hukum, 3(1), 80-84.

Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI