Menjadi Mahasiswa Jauh dari Rumah: Antara Mimpi, Rindu, dan Tanggung Jawab

Mahasiswa Perantau
Mahasiswa Perantau

Menjadi mahasiswa adalah impian banyak orang. Di dalamnya ada semangat mengejar masa depan, membangun identitas diri, dan harapan akan hidup yang lebih baik.

Tapi menjadi mahasiswa yang harus jauh dari rumah, merantau ke kota lain atau bahkan pulau lain, membawa cerita yang tidak sesederhana halaman brosur universitas.

Ada mimpi, iya. Tapi juga ada rindu, kesepian, dan tanggung jawab yang pelan-pelan menjadi beban di pundak.

Bagi sebagian mahasiswa, kuliah bukan hanya tentang menghadiri kelas dan menyelesaikan tugas. Kuliah adalah tentang bertahan. Bertahan di tengah gempuran deadline, bertahan dari harga kos yang naik setiap tahun, bertahan dari godaan untuk menyerah dan pulang.

Bacaan Lainnya

Sebab tidak semua orang yang pergi merantau berasal dari latar belakang yang mapan. Banyak di antara mereka datang dengan semangat yang lebih besar daripada isi dompetnya.

Setiap pagi, mahasiswa perantauan harus bangun dengan kesadaran bahwa tidak ada orang tua yang akan membangunkan mereka. Tidak ada masakan ibu di meja.

Tidak ada pelukan ayah sebelum berangkat, semua harus dilakukan sendiri. Bahkan ketika sakit, mereka harus membeli obat sendiri, mengurus makan sendiri, dan kadang menyeka air mata sendiri di pojok kamar kos.

Baca juga: Mahasiswa Pulang Kampung: Momentum Hangat Bersama Keluarga Tercinta

Namun, disitulah letak pelajaran besarnya. Kuliah tidak hanya mengajarkan teori-teori di kelas, tapi juga mengajarkan cara bertahan hidup.

Ia melatih tanggung jawab, kedisiplinan, dan daya juang. Mahasiswa jadi belajar mengatur keuangan, belajar memilih mana yang prioritas dan mana yang bisa ditunda, belajar bahwa hidup di luar rumah adalah tentang kompromi dan pengorbanan.

Rasa rindu adalah teman sehari-hari. Rindu suasana rumah, suara ibu dari dapur, suara adik yang berisik, bahkan bau sabun di kamar mandi.

Tapi rindu itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerah. Justru rasa rindu itulah yang menjadi bahan bakar.

Mahasiswa belajar menyimpan rindu itu dalam hati, lalu menjadikannya energi untuk terus berjuang. Sebab mereka tahu, keberhasilan mereka nanti bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga yang menanti di rumah.

Di sisi lain, realitas dunia perkuliahan juga tidak selalu ramah. Dosen yang datang seenaknya, kelas yang mendadak online padahal sudah berangkat jauh-jauh dari kos, atau sistem birokrasi kampus yang berbelit-belit semuanya bisa menjadi sumber stres tersendiri.

Belum lagi tekanan dari teman sebaya, persaingan nilai, dan ekspektasi untuk menjadi “anak sukses.” Tidak jarang, mahasiswa merasa hampa di tengah keramaian.

Namun di tengah segala keruwetan itu, mahasiswa juga belajar banyak hal yang tidak bisa ditemukan di bangku SMA.

Baca juga: Merantau untuk Merajut Asa

Mereka belajar tentang toleransi dari teman-teman yang berbeda latar. Belajar tentang empati dari sesama perantau yang saling bantu.

Belajar tentang solidaritas dari organisasi, komunitas, dan diskusi panjang di warung kopi. Kampus adalah laboratorium kehidupan, dan mahasiswa adalah makhluk yang sedang bereksperimen dengan jatuh dan bangkit.

Akan ada saat-saat ketika semuanya terasa berat. Ketika ingin menyerah dan pulang saja. Tapi kemudian teringat perjuangan orang tua yang bekerja keras membayar uang semester.

Teringat senyum bangga mereka saat melepas kepergian di stasiun atau bandara. Teringat janji pada diri sendiri waktu pertama kali menginjakkan kaki di kota ini: Aku harus lulus, apa pun caranya.

Dan benar, tidak semua perjalanan kuliah berakhir dengan toga dan bunga. Ada yang harus cuti karena masalah biaya.

Ada yang lulus dengan air mata karena kehilangan orang tua di tengah jalan. Tapi semua itu adalah bagian dari cerita yang membentuk kita menjadi manusia seutuhnya.

Menjadi mahasiswa jauh dari rumah memang tidak mudah. Tapi dari situlah lahir pribadi-pribadi yang tangguh.

Pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga matang secara emosional. Yang tahu cara berdiri setelah jatuh, tahu cara bersyukur meski sederhana, dan tahu bahwa sukses bukan hanya soal IPK tinggi, tapi tentang tidak menyerah meski berkali-kali diuji.

Baca juga: Refleksi Mahasiswa di Penghujung Ramadan: Antara Ibadah dan Tugas Tengah Semester

Karena pada akhirnya, kuliah bukan sekadar proses pendidikan. Ia adalah perjalanan pendewasaan. Dan bagi para perantau, perjalanan itu dimulai sejak hari pertama meninggalkan rumah, dengan koper kecil dan harapan besar.

 

Penulis: Nur Alvia

Mahasiswa Jurusan Bahasa Dan Sastrah Indonesia, Universitas Negeri Makassar

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses