Pencucian uang (money laundering) telah lama menjadi kejahatan lintas negara yang merusak integritas sistem keuangan.
Namun, dewasa ini modus operandi pencucian uang berkembang semakin canggih seiring kemajuan teknologi dan globalisasi.
Seorang ahli hukum pidana melihat tren ini dengan kewaspadaan: dari penggunaan aset kripto hingga transaksi internasional yang kompleks, bahkan penyalahgunaan kedok filantropi.
Perkembangan terbaru (2024–2025) menunjukkan para pelaku terus berinovasi dalam menyembunyikan hasil kejahatan, sehingga penegak hukum dituntut untuk mengikuti dinamika ini.
Aset Kripto: Instrumen Baru Pencucian Uang
Kemunculan aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum menghadirkan tantangan baru.
Data Crypto Crime Report mengindikasikan pencucian uang melalui aset kripto mencapai USD 8,6 miliar sepanjang 2022 secara global (sekitar Rp139 triliun).
Di Indonesia sendiri, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengungkap telah menangani lebih dari Rp800 miliar kasus pencucian uang berbasis kripto dalam kurun 2022–2024.
Modusnya bervariasi, sering terkait investasi bodong kripto yang menipu korban dan kemudian pelaku menyamarkan dana haram tersebut dalam bentuk kripto.
Karakter aset kripto yang anonim dan mudah lintas batas negara dimanfaatkan untuk mengaburkan asal-usul dana, sehingga menyulitkan pelacakan aparat.
Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kripto sangat rentan dijadikan sarana kejahatan kerah putih, termasuk pencucian uang, karena regulasi sektor tradisional (perbankan, pasar modal) kian ketat sehingga pelaku mencari celah di aset digital.
Mulai 2025, OJK resmi mengambil alih pengawasan industri kripto dan menerbitkan regulasi baru yang mewajibkan bursa kripto menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) serta memantau transaksi nasabah untuk mencegah modus pencucian uang di sektor ini.
PPATK menemukan aliran dana sekitar Rp30 triliun dari hasil judi online yang “dilarikan” ke luar negeri melalui instrumen kripto sepanjang 2024.
Temuan ini menunjukkan bagaimana aset digital digunakan untuk mentransfer dana ilegal ke yurisdiksi lain secara cepat.
Jaksa di Kejaksaan Agung RI pun melaporkan modus canggih pelaku yang memakai “mixers” dan “tumblers”—layanan pencampur transaksi kripto, guna menghilangkan jejak aliran dana dan memindahkan aset antar-blockchain tanpa terdeteksi.
Teknologi ini membuat penegak hukum kesulitan menelusuri identitas pemilik sebenarnya dari dana tersebut.
Transaksi Internasional dan Jaringan Global
Selain kripto, transaksi lintas negara secara umum juga menjadi lahan subur pencucian uang.
Pelaku memanfaatkan sistem finansial global untuk memecah aliran dana ke berbagai negara, sering melalui jaringan perusahaan cangkang (shell companies) atau rekening di yurisdiksi berisiko tinggi.
Misalnya, skema trade-based money laundering masih marak: manipulasi nilai ekspor-impor, faktur fiktif, atau transfer antar perusahaan afiliasi di luar negeri untuk menyamarkan asal-usul uang.
Dengan kemudahan perbankan elektronik, uang dapat berpindah antarnegara dalam hitungan detik, menantang otoritas yang dibatasi batas yurisdiksi.
Kerja sama internasional perlu dilakukan mengingat PPATK dan unit intelijen keuangan lain perlu terus bertukar informasi lintas negara.
Regulasi global pun ikut berkembang, contohnya Financial Action Task Force (FATF) menerapkan Travel Rule yang mewajibkan pertukaran data pengirim-penerima pada transaksi aset virtual, serta mendorong transparansi pemilik manfaat korporasi untuk membendung penggunaan perusahaan cangkang.
Meski demikian, disparitas hukum antarnegara sering dimanfaatkan pelaku untuk memilih “safe haven” yang regulasinya lemah.
Dari sudut pandang hukum pidana, ranah internasional ini menimbulkan tantangan yurisdiksi dan pembuktian.
Menelusuri aliran dana yang melintasi berbagai negara memerlukan mutual legal assistance dan koordinasi aparat penegak hukum lintas negara.
Kasus-kasus pencucian uang besar seperti skandal bank internasional atau kebocoran dokumen offshore (Paradise/Panama Papers) memperlihatkan betapa kompleks jaringan global pencucian uang, yang sering kali melibatkan profesi pendukung (penasihat keuangan, pengacara) untuk membuat skema terlihat sah.
Penyalahgunaan Kedok Filantropi
Hal yang mengkhawatirkan, modus pencucian uang juga merambah sektor filantropi.
Yayasan amal dan organisasi nirlaba seharusnya menjadi sarana kegiatan sosial, namun dapat disalahgunakan sebagai “topeng” untuk dana ilegal.
Pelaku bisa mendonasikan uang haram ke yayasan tertentu agar terlihat seperti sumbangan sah, lalu yayasan tersebut mengembalikan dana itu lewat proyek fiktif atau pembayaran yang tampak legal.
Kasus internasional pada 2023 di Singapura mengungkap bahwa sedikitnya lima tersangka pencucian uang kelas kakap (senilai S$2,8 miliar) sempat berdonasi dengan nilai “enam digit” ke berbagai lembaga amal.
Sumbangan bernilai besar tersebut memicu kewaspadaan otoritas setempat, karena dapat menjadi cara membersihkan citra atau memutar dana ilegal melalui kegiatan amal.
Bahkan, Commissioner of Charities (COC) Singapura meminta organisasi amal meninjau ulang data donatur mereka untuk memastikan tidak menerima dana dari tersangka kejahatan.
Modus filantropi ini berkembang karena yayasan kerap mendapat pengecualian pajak dan pengawasan yang tidak seketat bank.
Pelaku bisa mendirikan yayasan palsu (shell charity) atau mengambil alih pengurus sebuah lembaga amal guna mengalirkan uang kotor seolah-olah “dana sumbangan”.
Kelemahan sistemik di sektor nirlaba, misalnya relawan yang kurang terlatih mendeteksi transaksi mencurigakan, membuat deteksi pencucian uang melalui kanal ini menjadi sulit.
Akibatnya, selain merugikan tujuan mulia filantropi, praktik ini juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga amal.
Dampak dan Tantangan Penegakan Hukum
Gelombang modus baru pencucian uang di atas berdampak signifikan pada sistem hukum dan keuangan.
Dari sisi sistem keuangan, pencucian uang skala besar dapat mengganggu stabilitas karena dana ilegal menyusup ke sektor formal, mendistorsi pasar, dan berisiko membuat institusi keuangan terlibat tanpa sadar.
Reputasi suatu negara pun dipertaruhkan; jika dianggap surga pencucian uang, negara tersebut bisa dikenai sanksi atau pengawasan internasional lebih ketat, yang ujungnya menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Bagi penegak hukum, perkembangan modus ini ibarat perlombaan teknologi dan kecerdikan.
Aparat dituntut menguasai pengetahuan di bidang siber, blockchain, dan forensik keuangan tingkat tinggi.
Keterampilan tradisional penyidikan perlu dilengkapi dengan analisis transaksi digital dan koordinasi lintas negara.
Sayangnya, regulasi sering kali tertinggal dari inovasi kejahatan.
Di Indonesia, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan peraturan terkait terus diperbarui, namun implementasi di lapangan menghadapi tantangan kapasitas.
Ahli hukum pidana menyoroti perlunya peningkatan kerja sama multi-lembaga—mulai dari PPATK, Kepolisian, Kejaksaan, OJK, hingga lembaga internasional—untuk berbagi data dan strategi.
Upaya terbaru patut diapresiasi, seperti kerjasama OJK dan PPATK dalam melacak transaksi kripto mencurigakan, atau pembenahan regulasi yayasan untuk mencegah penyalahgunaan amal.
Akan tetapi, tantangan utama adalah menyeimbangkan inovasi keuangan dengan pengawasan hukum.
Pendekatan represif saja tidak cukup; perlu strategi preventif melalui edukasi sektor keuangan dan nirlaba tentang modus-modus baru ini.
Misalnya, pelaku bisnis diimbau waspada terhadap anomali transaksi lintas negara, dan yayasan diharapkan menerapkan prosedur anti-money laundering (AML) dasar seperti verifikasi identitas donatur dan pelaporan sumbangan mencurigakan.
Pencucian uang modern ibarat virus yang bermutasi—ketika satu celah ditutup, pelaku mencari celah lain.
Dari aset kripto, jaringan transaksi global, hingga kedok filantropi, setiap inovasi menghadirkan risiko baru bagi penegakan hukum.
Sudut pandang ahli hukum pidana menekankan pentingnya respons hukum yang lincah dan terkoordinasi.
Regulasi perlu terus diperbarui mengikuti perkembangan zaman, sementara aparat penegak hukum perlu meningkatkan kompetensi teknis.
Di sisi lain, kolaborasi internasional dan kemitraan dengan sektor swasta menjadi kunci membendung arus uang kotor.
Dengan langkah komprehensif—hukum yang kuat, penegak hukum yang sigap, dan kesadaran publik—diharapkan upaya pencucian uang dapat dilumpuhkan meski modus operandi kejahatan ini terus berevolusi.
Penulis: Billi Josua Siregar
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara
Referensi
Ivan Yustiavandana – Kepala PPATK, Kumparan News (18 April 2024)
Hasan Fawzi – Kepala Eksekutif Pengawas ITSK OJK, Bisnis.com (15 November 2024)
Anshary M. Sukma, Harian Jogja (7 Februari 2025)
Dentons Rodyk Report – Singapura (27 Oktober 2023)
Oraz Kereibayev, Sumsub Compliance Blog (21 April 2023)
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News