Jakarta – Pemerintah tengah melangkah cepat menuju transformasi digital perpajakan. Sejak diberlakukannya e-Faktur 3.0 dan meningkatnya kontribusi pajak dari sektor digital, wajah sistem pajak Indonesia berubah drastis. Tapi tantangannya juga tak kalah besar: bagaimana mengejar kecepatan ekonomi digital yang berkembang sangat pesat?
e-Faktur 3.0 Tak Sekadar Faktur Digital
Sejak 1 Oktober 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerapkan e-Faktur versi 3.0 secara nasional. Aplikasi ini menghadirkan fitur prepopulated data untuk Pajak Masukan dan data impor, sehingga pelaporan pajak jadi lebih mudah dan akurat.
Mulai 2025, e-Faktur berbasis desktop digantikan dengan e-Faktur Web Based, yang terintegrasi langsung ke server DJP. Pengusaha Kena Pajak (PKP) kini wajib menggunakan platform ini untuk menerbitkan dan melaporkan faktur pajaknya.
Salah satu perubahan yang mendapat sorotan adalah batas waktu unggah faktur, yang kini diperpanjang dari tanggal 15 menjadi tanggal 20 bulan berikutnya. Perubahan ini tertuang dalam PER-11/PJ/2025 dan memberi waktu adaptasi lebih luas, khususnya bagi pelaku UMKM dan akuntan pajak.
Pajak Digital Tembus Rp 34 Triliun
Tak hanya administrasi, sisi penerimaan pajak juga mengalami lonjakan signifikan dari sektor digital. Data terbaru DJP mencatat, hingga Maret 2025, penerimaan dari ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun. Angka ini berasal dari:
- Rp27,48 triliun PPN dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)
- Rp3,28 triliun dari pajak fintech (P2P lending)
- Rp1,2 triliun dari pajak aset kripto
- Rp2,94 triliun dari pajak SIPP (pengadaan pemerintah berbasis digital)
Hingga kini, 211 pelaku usaha digital telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, termasuk perusahaan global seperti Netflix, TikTok, Amazon, dan Meta. Dari jumlah itu, 190 sudah aktif memungut dan menyetor PPN ke kas negara.
Baca Juga: Kenaikan Pajak dan Implikasinya pada UMKM
Tantangan: Regulasi Harus Lincah, Literasi Perlu Naik
Namun digitalisasi pajak bukan tanpa tantangan. Ada beberapa isu penting yang harus diwaspadai:
1. Kompleksitas Model Bisnis Digital
Setiap jenis pendapatan digital mulai dari langganan, iklan, komisi, hingga aset virtual punya karakteristik berbeda. Regulasi perpajakan konvensional belum tentu bisa langsung mengakomodasinya.
2. Literasi Pajak Digital Masih Rendah
Banyak pelaku UMKM digital dan kreator konten belum memahami sepenuhnya tata cara pelaporan penghasilan digital yang benar. Sosialisasi masih jadi pekerjaan rumah besar DJP.
3. Regulasi Pajak Perlu Gesit
Di tengah ekonomi yang berubah cepat, peraturan pajak harus fleksibel dan tidak tertinggal dari inovasi teknologi. Respons lambat bisa berakibat pada tax gap yang besar.
Baca Juga: Dinamika Perpajakan Indonesia di Tengah Polemik Publik
Arah Baru: Pajak Digital = Pajak Masa Depan
Transformasi ini sejatinya bukan hanya soal sistem, tetapi menguji kepercayaan antara negara dan wajib pajak. Jika digitalisasi membuat proses lebih adil, transparan, dan efisien, maka kepatuhan pajak akan meningkat secara alami.
Di era digital, bukan hanya kekayaan yang dilihat fiskus tapi juga jejak data dan perilaku digital. Pajak masa depan akan ditentukan oleh sejauh mana negara mampu mengolah data menjadi kebijakan yang adil dan presisi.
Penulis:
1. Konita
2. Indah Saraswati
3. Adinda Salsabila Ashma
4. Dwi Oktafiyani
Mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News