Otoritas dan Intellectual Kolektif

Ilustrasi Intelektual (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Dunia intelektual harus terlibat dalam kritik permanen terhadap semua penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas (Pierre Bourdieu).

Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah mengalami beberapa kali transisi kekuasaan secara demokratis dan tanpa konflik berdarah. Hal ini kontras dengan pengalaman berdarah pada transisi kekuasaan dari era Orde Lama menuju Orde Baru.

Tragedi berdarah juga mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru dari tampuk kekuasaannya. Musim semi demokrasi tampaknya akan berakhir. Masyarakat Indonesia harus menyaksikan masa depan demokrasi dengan tatapan pesimistis.

Alasannya, sejumlah indikasi tentang intervensi kekuasaan eksekutif guna memenangkan calon tertentu dan sedang mengancam proses pemilu yang fair dan adil. Kita kini sedang berada dalam persimpangan jalan demokrasi,

Politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Dikampus-kampus republik ini protes publik mahasiswa pada 1966 (Tritura), 15 Januari 1974 (Malari), dan Mei 1998 (Reformasi) membuahkan banyak hal signifikan, termasuk bergantinya rezim.

Tak heran Soeharto memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada akhir 1970-an apa, untuk membungkam segala aktivitas politik kampus, yang buahnya sampai kemarin adalah haramnya kampanye politik. Terlepas dari mayoritas mahasiswa yang sudah dewasa dan berhak nyoblos.

Namun, di bawah NKK/BKK, pada zaman Orba pun tetap hidup, organisasi mahasiswa yang berafiliasi, diakui atau tidak, ke kubu-kubu politik tertentu. Bahkan banyak mantan aktivis kampus jadi politikus jadi, politik negara selalu hadir di kampus.

Pada saat yang sama, saya tak buta, pendidikan formal Indonesia miskin membekali dasar politik. Politik kini bukan lagi jalan anak bangsa untuk mendarmakan dirinya bagi bangsa dan negara.

Melainkan dunia niaga, bisnis yang menjanjikan keuntungan material. Namun politik kini menjelma dan malah menjadi (pasar bebas) tempat terjadinya berbagai transaksi.

Begitu juga para elitisasi politik kita pun terjadi hanya bagi mereka yang memiliki modal finansial yang bisa memasukinya: menjadi anggota legislatif, kepala daerah, birokrat, dan lainnya. Sedangkan bagi kita yang hanya memiliki kemampuan intelektual, ideologi, kecakapan teknis, berintegritas, dan berkomitmen serta tak berkantong tebal, malah disingkirkan dan di pinggirkan.

Pergeseran politik restorasi kini menggerakkan perubahan ke arah baru. Gerakan romantik populis yang awalnya menjadi acuan semua penulis, sejak 1848 tidak dapat bertahan dan gagal untuk melakukan gerakan progresif.

Keruntuhan gerakan itu memunculkan pembaharuan tentang keterlibatan intelektual dalam dunia keseharian, dan penempatan posisi intelektual ketika berhubungan dengan arena ekonomi dan arena politik, sehingga dengan demikian, pada masa ini, arena intelektual belumlah menemukan otonominya secara utuh.

Otonomi Intelektual itu memiliki kendali rasional atas keyakinan, nilai, dan interpretasi seseorang. Untuk belajar berpikir sendiri, serta untuk menguasai proses berpikir seseorang.

Otonomi intelektual tidak berarti kesengajaan, keras kepala, atau pemberontakan. Namun hal ini memerlukan komitmen untuk menganalisis dan mengevaluasi keyakinan berdasarkan alasan dan bukti, mempertanyakan kapan pertanyaan itu masuk akal, untuk percaya kapan masuk akal untuk percaya, dan untuk menyesuaikan diri ketika masuk akal untuk menyesuaikan diri.

Berdasarkan pengertian Schwartz tersebut, intellectual autonomy (otonomi intelektual) tinggi dapat diartikan bahwa bawahan terpacu untuk mengembangkan kreativitas dan menambah cakrawala pandang serta mengembangkan rasa ingin tahu tentang suatu persoalan dengan mengikuti ide-ide atau cara-cara mereka sendiri.

Intelektual Kolektif

Sebagaimana kita membaca kembali karya Arizal yang dalam bukunya bertajuk “Intelektual Kolektif, Pierre Bourdieou. Menurut tokoh sosiolog Perancis itu, merupakan gabungan dari individu-individu yang berbeda yang memiliki berbagai kompetensi dan otoritas.

Mencakup budaya, negara, dan perbatasan, jaringan intelektual kolektif ini dicirikan oleh jejaring yang luas. Menurutnya prinsip utama yang mendasari pentingnya intelektual kolektif adalah terletak pada komitmen untuk menjaga otonominya.

Bourdieu secara aktif mencontohkannya melalui keterlibatannya dengan (Centre de Sociologie Eurpeene), sebuah pusat penelitian yang melakukan riset kolaboratif dan melampaui batas disiplin ilmu dalam skala internasional. Upaya ini menjadi alternatif untuk melawan dominasi yang meminggirkan hak-hak publik dan otonomi intelektual.

Perjuangan  intelektual kolektif mensyaratkan keterlibatan ganda yang melibatkan kajian ilmiah dan advokasi, dengan demikian memerlukan perpaduan antara kegiatan akademis dan komitmen. Elaborasi Bourdieu yang diulas Arizal menggarisbawahi peran penting yang dimainkan oleh “orang-orang kampus.”

Hal ini menimbulkan tantangan besar dalam konteks Indonesia. Para dosen di kampus kita lebih sering disibukkan dengan tanggung jawab administratif, sehingga tidak ada energi untuk mengaktifkan peran intelektualnya.

Aktivitas publikasi ilmiah bukan untuk pengembangan pengetahuan itu sendiri atau medium perjuangan seperti yang ditekannkan oleh Bourdieu, namun lebih ke orientasi  penggugur kewajiban, belum lagi soal problem dasar kesejahteraan para dosen.

Di saat yang sama, dosen yang sudah mapan secara ekonomi pun malah justru lebih banyak bergelut di arena kekuasaan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Oleh karena itu, upaya gerakan intelektual kolektif itupun perlu diperluas.

Tela’ah Arena Intelektual

Arena intelektual merupakan suatu ruang dan waktu yang dibentuk oleh berbagai macam variasi, yang menempati berbagai posisi. Artinya “Arena intelektual adalah sebuah dunia otonom yang berada dalam dunia sosial, (mikrokosmos) yang membentuk dunianya sendiri secara progresif melalui berbagai rangkaian perjuangan terus menerus, tulis “Pierre Bourdieu”.

Arena intelektual hanya merupakan salah satu dari berbagai bidang pada kehidupan yang di atasnya para aktor individual berjuang demi memperoleh pengakuan dan imbalan bukan merupakan kumpulan berbagai unsur yang terpisah, merupakan sebuah susunan atau sebuah jaringan relasional (relation).

Unsur-unsur yang ada di dalam arena intelektual tidak hanya berhubungan saling mempengaruhi, namun masing-masing unsur juga mempunyai bobot’ khusus atau kekuasaan tersendiri sehingga dalam arena intelektual terjadi distribusi kekuasaan.

Berdasarkan masalah arena tersebut, lagi-lagi “Piere Bourdieu” dalam mengambil istilah  “Cassirer” yang disebutnya sebagai cara berpikir ‘relasional’ mengenai produksi kultural. Ia melihat hubungan antara satu agen dengan agen yang lainnya dan memiliki fungsi yang berbedabeda, oleh karena itu terciptanya distinction antara masing-masing agen berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam praktik sosial.

Arena produksi kultural adalah wilayah perselisihan par excellent antara fraksi dominan kelas dominan, yang kadang kala sering bertengkar pula secara pribadi tapi lebih sering antara para produsen yang hendak mempertahankan ideide mereka dan memuaskan ‘selera’ mereka, dengan fraksi-fraksi terdominasi yang terlibat total dalam pergulatan tersebut”, (Bourdie, 2015:121).

Arena setiap anggota saling berhubungan, membagi pengetahuan dan menyokong intelektual lain dalam setiap gerakan membela yang terdominasi. Mereka yang berpartisipasi dalam arena intelektual merupakan agen-agen yang mendiami posisi tertentu di dalamnya dan mempunyai volume modal masing-masing.

Mereka yang berpartisipasi dalam arena intelektual bisa individu, kelompok kecil, aliran pemikiran, maupun kelompok dalam satu disiplin akademis. Dalam arena intelektual, terjadi konflik antar agen Mereka bersaing untuk mendefinisikan atau mendefinisikan ulang apa yang disebut dengan intelektual.

Persaingan tersebut dilakukan secara kolekul ma upun sendiri-sendiri dalam kerangka memperoleh kekuasaan (modal) yang secara intelektual dan secara kultural dalam arena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sah dan diakui keberadaannya.

Arena intelektual dan aturan main di dalamnya, menurut Bourdieu,  mendahului para agen sebagai pemainnya. Dengan bahasa lain, struktur dalam Arena intelektual mendahului kesadaran. Tulis Bourdieu. Seperti halnya kata-kata dalam suatu bahasa. Intelektual ada apabila berada dalam relasi satu sama lain dan satu untuk lainnya. (Ron Eyerman 1996/132).

Kini kita telah menjumpai anak muda yang kehilangan percaya diri. Pada kekuatan politiknya sendiri dan pada mimpinya, mereka menyaksikan bagaimana kreativitas, imajinasi bahkan karya itu terwujud tak melalui jalan politik. 

Politik berlangsung dalam pasungan orang tua atau jika ada anak muda pandanganya sama dengan mereka yang tua. Benar ada partai politik baru yang diisi oleh anak muda. Tapi secara terang-terangan mereka malah mendukung penguasa yang ada.

Di saat yang lain inisiatif politiknya berjalan tanpa upaya pengorganisasian basis secara militan dan tak ada program politiknya yang mengejutkan bahkan para petingginya ada yang pernah terjebak perkara.

Ia hanya menjadi ajang kompetisi pengetahuan antar mahasiswa untuk mengejar prestasi sederhananya menjadi ladang melahap ilmu pengetahuan tanpa harus menyatakan sikap kritis didepan umum karena disaat yang sama hanya akan membahayakan masa depan kampus maupun zona aman dipusaran para elitnya.

Kini bentangan karpet merah yang memberi kenyamanan pada setiap pijakan kaki menuju masa depan maupun balutan hawa sejuk didalam menara gading telah membuat kita direduksi hanya sebatas menjadi onggokan daging diatas tulang-berulang yang menari-nari diatas ketidak-adilan.

Jika kepatuhan buta terus di(re)produksi disetiap institusi Pendidikan, niscaya sikap kritis para kaum intektual (mahasiswa) akan mati. Dengan demikian  intelektual publik yang kritis terancam puna. Dan regenerasinya menjadi sesuatu yang mustahil terjadi.

Tentu saja, masih ada sisa-sisa dari mereka yang terancam punah itu tetap menunjukan taringnya dihadapan regulasi yang mengekang. Akan tetapi disaat yang sama, mereka ada di dalam sebuah ranah ke(antara)an (in-betweeness) untuk mengatakan mengatakan “Ya” sekaligus “Tidak” pada tuntutan nuraninya.

Jika ditelusuri lebih jauh, aktivitas protes dimuka umum sebenarnya adalah ekspresi kesadaran kritis atau dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari cara berpikir dialektis antara fakta dan realita sebagaimana dijelaskan oleh ”Michel Fouchalt” dalam hubungannya dengan konsep parrhesia (berani berkata benar) dan tidak serta-merta dilihat sebagai kelompok manusia yang dipaksa bicara, tetapi lebih merupakan ketergerakan Nurani atas kewajiban untuk berani berkata benar.

Dalam keberanian berkata benar tentu saja terdapat ko(insiden)si yang presisi antara kepercayaan (trust) dan kebenaran (truth). Keberanian berkata benar tentunya lahir dari sebuah pembuktian yang dapat dijumpai didalam pengalam hidup sebab, mahasiswa dan juga para dosen adalah bagian dari satuan entitas yang hidup didalamnya.

Perlu di garis bawahi bahwa, saya tidaklah sedang berpretensi untuk menjadi intelektual sejati mencari peluang untuk berani keluar dari zona aman dan juga mapan dibalik menara gading serta karpet merah yang memberi jaminan kesejahtraan pribadi dan juga masa depan. Namun, tujuannya adalah membangun keasadaran agar berjuang keras tanpa peduli pada setiap tetesan peluh dan air mata. 

Kini jalan radikal politik anak muda tiba di jalan buntuh. Mereka tak lagi mampu tuk menerobos lalu memilih mendayung bersama orang tua, karena yang muda kini telah terkunci didalam bilik kesadaran politik semu, sehingga percaya kalau penjara kesadaran itu seperti kemapanan yang dicari.

Kalau saja politik berlangsung tanpa perbedaan gagasan, dan tanpa pertarungan ide militan  serta kekuatan penuh dari kaum muda. Maka dapat dipastikan bahwa  politik hanya menjadi arena pergeseran kekuasaan semu yang tidak merotasi apapun, baik dalam rotasi kedudukan apalagi keyakinan politik alternatif.

Sebab, yang kaum intelektual pun kini telah me(makam)kan dirinya dalam kuburan masa depannya. Di saat yang sama, membangun fondasi bagi sikap kesadaran kritis di ruang akademis, tetapi tidak dilibatkan secara aktif dalamnya untuk menyatakan sikap ditengah-tengah keresahan sosial dan kegamangan yang dialami oleh rakyat, di saat yang sama kini ruang akademis tidak lagi memproduksi mahasiswa yang produktif, namun lebih dari reproduksi kepatuhan yang mengabaikan penderitaan orang lain.

Olehnya itu, sebagai penutup dari tulisan ini kiranya kampus yang notabene-nya sebagai benteng terakhir gerakan moral intelektual berperan dan bertanggung jawab, tidak hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) untuk membangun peradabannya (development of civilization) umat manusia.

Maka dari itu, kaum intelektual juga sudah semestinya hadir sebagai corong dalam mendorong kepentingan universal yakni, (mempertahankan) kebenaran dan keberpihakannya kepada yang tertindas.

Sebab, tugas utama bagi kaum intelektual adalah bagaimana mempertahankan otonomi intelektual yang merdeka dalam berkarya dan menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan juga politik, agar otoritas dan (marwah) intelektual dapat tumbuh bersemayam bersama dengan kehidupan rakyat. Semoga….!!!

 

Penulis: Arifin Biramasi
Mahasiswa Hukum, Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi  

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI