Menyebarkan berita secara berlebihan atau tidak sesuai dengan fakta dan bukti yang ada termasuk overclaim. Terutama di era digital zaman sekarang, semua orang menggunakan platform sosial media seperti Tiktok, Instagram, Youtube, Twitter, dan lain-lain.
Di mana semua orang pasti akan menemui banyak informasi, fakta-fakta, dan berita yang terbaru. Era digital telah membawa berbagai kemudahan, tetapi juga tantangan baru, terutama dalam transaksi elektronik.Â
Salah satu isu yang muncul adalah penyebaran informasi yang menyesatkan, termasuk praktik overclaim dalam promosi produk. Sekarang sedang beredar kasus overclaim ini di suatu platform sosial media yaitu TIktok.
Tidak hanya dalam konteks bisnis, overclaim juga salah satu pelanggaran yang ada di hukum dan kita bisa terkena pasal atas hal tersebut. Hal ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga membuat kepercayaan masyarakat hilang terhadap suatu perusahaan.
Overclaim yang sedang terjadi adalah klaim berlebihan pada suatu produk atau brand. Jadi apa yang tidak sesuai dengan fakta atau bukti yang konkrit seperti melebihkan atau mengurangkan suatu informasi, bahkan sampai ke tahap promosi kepada calon konsumen.
Produk kesehatan yang menjanjikan manfaat yang tidak masuk akal sering dipromosikan karena overclaim. Misalnya, produk yang menjanjikan “penyembuhan total” tanpa bukti ilmiah sering menjadi perhatian.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur tentang penyebaran informasi yang menyesatkan dan dapat merugikan konsumen. Pasal 28 ayat (1), yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dapat dikenakan sanksi hukum.” Sanksi yang diatur dalam Pasal 45A ayat (1) menegaskan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar bagi pelanggar pasal tersebut. Pasal ini bertujuan untuk:
- Melindungi konsumen dari informasi palsu yang dapat merugikan secara material maupun nonmaterial.
- Mendorong pelaku bisnis untuk memberikan informasi yang akurat, jujur, dan bertanggung jawab.
Kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya undang-undang untuk melindungi konsumen dari informasi yang tidak benar. Dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 22 Tahun 2022, di mana semua klaim produk harus didukung oleh data ilmiah dan uji klinis yang valid sebelum mendapatkan izin edar.
BPOM juga menegaskan pentingnya pengawasan pasca-pasar untuk memastikan produk yang telah beredar tetap memenuhi standar. Peran pelaku usaha, BPOM, dan influencer sangat berhubungan dalam hal ini atas informasi yang diterima oleh konsumen.
Di dunia bisnis digital yang semakin kompetitif, transparansi sangat penting untuk membangun kepercayaan. Dalam konteks ini, bisnis harus memastikan bahwa mereka memberi konsumen informasi yang jelas, akurat, dan jujur.
Jika tidak, ketidakjelasan ini dapat menyebabkan konflik hukum, yang dapat membahayakan kelangsungan bisnis. Di era bisnis digital, transparansi adalah kebutuhan. Dengan menjaga transparansi, pelaku bisnis tidak hanya melindungi konsumen dari kerugian tetapi juga melindungi diri mereka sendiri dari konflik hukum.
Kolaborasi dengan influencer adalah taktik lain yang sering digunakan untuk mempromosikan barang dan jasa. Influencer yang tidak teliti atau tergiur oleh uang besar juga dapat menyebarkan informasi palsu.
Pada akhirnya, transparansi membantu membangun ekosistem digital yang adil, aman, dan berkelanjutan untuk semua pihak Jadi kita sebagai konsumen juga bisa lebih berhati-hati dan waspada terhadap isu yang terjadi ini.
Penulis:
Nayla Izzah Maulana
Mahasiswa International Business Management Universitas Ciputra Surabaya
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News