Pemasaran Islami di Era Digital: Evaluasi Etika Promosi dalam Iklan Digital antara Syariah, Clickbait, dan Viralitas

Promosi dalam Iklan Digital
Ilustrasi Promosi dalam Iklan Digital (Sumber: Media Sosial dari AI freepik.com)

Era digital telah membawa perubahan besar dalam strategi pemasaran, termasuk dalam konteks pemasaran Islami. Keberadaan media sosial, platform e-commerce, dan teknologi digital lainnya memudahkan pelaku bisnis untuk menjangkau pasar yang lebih luas dengan biaya yang lebih rendah.

Namun, perkembangan digital marketing telah mengubah cara promosi dilakukan, termasuk dalam bisnis yang mengusung nilai-nilai Islam. Di tengah kompetisi tinggi dan algoritma media sosial, muncul praktik clickbait dan strategi viralitas yang kerap menimbulkan pertanyaan etis.

 

“Wajib Beli!”, “Promo Syok!”, “Bisa Masuk Surga?”

Siapa yang tak pernah tergoda kata-kata di atas? Iklan dengan tagline di atas kerap kali ditemui di berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Tapi, pernahkah kita bertanya: apakah cara promosi seperti itu sesuai dengan nilai-nilai Islam?

Bacaan Lainnya

Islam tidak melarang promosi. Bahkan, dalam sejarah Islam, banyak sahabat Nabi yang menjadi pedagang sukses seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Rasulullah sendiri dikenal sebagai pedagang yang jujur dan terpercaya, dengan gelar Al-Amin. Artinya, Islam sangat menghargai aktivitas ekonomi, asal dijalankan dengan etika dan kejujuran.

Namun, di zaman sekarang, promosi tidak hanya dilakukan di pasar fisik. Ia telah bermigrasi ke dunia digital, dengan algoritma dan perhatian manusia sebagai komoditas utama.

Dalam situasi ini, banyak pelaku usaha termasuk beberapa pengusaha Islam yang menggunakan cara promosi mengejutkan, penuh sensasi, bahkan terkadang tidak sesuai fakta. Banyak promosi yang justru menampilkan unsur berlebihan, judul tidak sesuai isi (clickbait), atau bahkan manipulatif, bertentangan dengan prinsip etika dalam Islam.

 

Prinsip Pemasaran Islami

Dalam dunia bisnis, pemasaran merupakan strategi bisnis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan nilai dari seorang inisiator kepada pelanggannya.

Menurut ajaran Islam, kegiatan pemasar harus dilandasi dengan nilai-nilai islami yang dijiwai oleh semangat ibadah kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin untuk tujuan kesejahteraan bersama. Istilah pemasaran tidak banyak dikenal pada masa Nabi. Saat itu konsep yang banyak dikenal adalah jual beli yang memang sudah ada sebelum Islam datang.

Pemasaran dapat dilakukan melalui komunikasi dan silaturahmi dalam rangka untuk memperkenalkan produk atau barang dagangan. Dalam Hadis Nabi dari Anas ibnu Malik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: “Barang siapa ingin agar rezekinya dilapangkan dan pengaruhnya diluaskan maka hendaknya ia menyambung tali silaturahmi”.

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan pemasaran juga melakukan silaturahmi sesama manusia yang dimana itu merupakan hal yang wajib. Dalam pemasaran tentu akan bertemu dengan orang banyak sehingga semakin banyak relasi yang dikenal.

 

Clickbait dan Viralitas

Clickbait adalah teknik promosi digital yang menggunakan judul, gambar, atau kata-kata yang sangat menarik agar orang tergoda untuk mengklik. Clickbait sendiri merupakan teknik menarik perhatian lewat judul atau thumbnail yang sensasional.

Jika tidak sesuai dengan isi, ini masuk kategori tadlis. Viralitas juga sering mengorbankan kejujuran demi popularitas, padahal Islam menekankan niat dan isi yang lurus sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2]:42

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui (Nya).”

Misalnya, sebuah iklan produk suplemen Islami menulis: “Bisa Sembuh dengan Sunnah Nabi! 3 Hari Langsung Bugar!” Padahal, setelah dibuka, isinya tidak menjamin apa-apa dan bahkan belum tentu didukung riset atau dalil.

Clickbait sering digunakan karena efektif secara algoritmik. Semakin banyak orang yang klik, semakin besar kemungkinan kontennya muncul di timeline orang lain. Artinya, potensi viral dan keuntungan meningkat. Tapi, apakah ini sejalan dengan etika Islam?

Dalam dunia pemasaran modern, viralitas adalah kunci. Konten yang menyentuh emosi, menghibur, atau kontroversial lebih mudah menyebar luas. Tapi viral bukan berarti bebas nilai.

Dalam Islam, ada maqashid syariah tujuan utama dari syariat yang salah satunya adalah menjaga harta dan akal. Maka promosi yang merusak akal (dengan kebohongan) atau menipu orang agar menghabiskan harta secara sia-sia jelas bertentangan dengan nilai Islam.

Sebagai salah satu contohnya kita dapat menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dalam menjalankan bisnis sekaligus pemasaran. Karena Nabi Muhammad SAW merupakan sebaik-baiknya contoh yang harus kita teladani. Adapun beberapa sifat yang membuat Nabi Muhammad berhasil dalam melakukan bisnis yaitu:

1. Shidq (Jujur)

Nabi Muhammad SAW selalu berkata benar dalam setiap transaksi. Beliau tidak pernah melebih-lebihkan kualitas barang, tidak menyembunyikan cacat produk, dan tidak memanipulasi harga. Contoh: Saat menjual barang yang memiliki kekurangan, beliau akan memberi tahu pembeli tentang kekurangan tersebut. Kejujuran ini membuatnya dijuluki “Al-Amin” (yang terpercaya) oleh masyarakat Mekkah.

Baca juga: Penerapan Sifat Kepemimpinan dalam Islam

2. Amanah (Dapat Dipercaya)

Beliau memegang kepercayaan mitra dagangnya dengan sangat serius. Uang, barang, atau titipan dari orang lain tidak pernah disalahgunakan. Bahkan saat berdagang atas nama Khadijah RA, beliau menunjukkan loyalitas dan integritas tinggi. Hasilnya: Kepercayaan ini membuat banyak orang ingin berbisnis dengan beliau, termasuk Khadijah RA yang kemudian menjadi istrinya.

3. Fathanah (Cerdas)

Nabi Muhammad SAW dikenal cerdas dalam membaca peluang pasar, berkomunikasi dengan pelanggan, dan membuat strategi dagang yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.Strategi beliau: Tidak hanya menjual di satu tempat, beliau melakukan perjalanan dagang ke Syam dan daerah lain untuk mencari pasar yang lebih luas.

4. Tabligh (Menyampaikan Kebenaran)

Beliau tidak menyembunyikan informasi penting dalam transaksi, seperti kualitas produk, asal barang, atau perubahan harga. Praktik tabligh ini membuat konsumen merasa nyaman dan tidak tertipu, karena merasa diperlakukan dengan adil.

5. Sabar dan Tidak Serakah

Dalam berdagang, Nabi SAW bersikap sabar menghadapi kerugian, penolakan pelanggan, atau situasi pasar yang tidak menentu. Beliau juga tidak tamak dalam mencari keuntungan. “Bukan kekayaan yang banyak yang membuat seseorang mulia, tetapi hati yang tenang dan puas.”

6. Menjauhi Praktik Curang dan Riba

Nabi Muhammad SAW menjauhi segala bentuk penipuan, riba, dan ketidakjelasan(gharar) dalam transaksi. Ini menjadi dasar penting dalam ekonomi syariah masa kini.

 

Prinsip Promosi Islami di Era Digital

  1. Judul menarik dan bisa memancing rasa ingin tahu, tapi tetap harus relevan dengan isi. Contoh: “Rahasia Sehat ala Nabi SAW: 3 Makanan Sunnah yang Bisa Anda Coba Hari Ini
  2. Transparansi produk dengan menjelaskan manfaat, bahan baku, dan harga produk. Jangan menyembunyikan fakta penting hanya karena takut konsumen tidak tertarik.
  3. Gunakan dalil secara benar jika memakai kutipan Al-Qur’an atau hadits, pastikan konteksnya tepat. Jangan asal mencantumkan agar terlihat Islami.
  4. Hindari testimoni palsu testimoni.
  5. Masukkan nilai kebaikan dan pesan edukatif dalam iklan

 

Dalil-dalil terkait Etika Promosi

Dalam Islam, tujuan berdagang bukan hanya mencari untung, tapi juga keberkahan. Berikut beberapa dalil terkait etika promosi dalam islam;

1. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).

2. Rasulullah SAW bersabda:

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين، والصديقين، والشهداء

Artinya: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang sangat jujur (shiddiqin), dan para syuhada,” (HR At-Tirmidzi).

3. Dalam QS Al-Mutaffifin [83] 1–3, Allah berfirman:

وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِيۡنَۙ‏ ١

الَّذِيۡنَ اِذَا اكۡتَالُوۡا عَلَى النَّاسِ يَسۡتَوۡفُوۡنَ‏ ٢

وَاِذَا كَالُوۡهُمۡ اَوْ وَّزَنُوۡهُمۡ يُخۡسِرُوۡنَؕ‏ ٣

Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

 

Etika yang Baik Menurut Pemasaran Syariah

Dalam melakukan pemasaran terdapat etika bisnis yang ada. Seperti etika bisnis pemasaran islami. Terdapat ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai etika dalam pemasaran menurut Islam, yaitu :

  1. Memiliki kepribadian yang baik dan takwa
  2. Adil dalam berbisnis
  3. Menghargai hak dan milik orang lain secara benar
  4. Melayani nasabah dengan rendah hati (Khidmah).
  5. Selalu menepati janji dan tidak curang dalam pemasaran
  6. Jujur dan amanah
  7. Tidak suka berburuk sangka dan tidak suka menjelek-jelekkan barang dagangan atau milik orang lain.
  8. Tidak melakukan suap (Risywah)
  9. Saling bekerja sama untuk memberikan manfaat menuju kesejahteraan bersama

 

Penulis:

  1. Agus Suranto
  2. Nandini Putri Nurfajar
  3. Naura Syifa Rachmani

Mahasiswa Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Pelita Bangsa

Dosen Pengampu: Ermanto, S.Pd., M.Kom.

 

Referensi

  1. Al-Qur’an. (n.d.). Mushaf Al-Qur’an Terjemah. Kementerian Agama Republik Indonesia.
  2. Hassan, A. (2019). Islamic Advertising Ethics in the Digital Age. IJIM.
  3. Wulandari, A., & Mustaqim, M. (2021). Clickbait dalam Promosi Produk Islami. Jurnal Al-Iqtishad.
  4. DSN-MUI Fatwa No. 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Etika Bisnis Syariah.
  5. Muslim, S. (Shahih Muslim). Kitab Al-Buyu’.
  6. Al-Qur’an: QS Al-Baqarah [2]:42; QS Al-Mutaffifin [83]:1–3.
  7. Hasan, Youlanda.(2021). Mengkaji Relevansi Etika Pemasaran Syariah Di Era Marketig Digital
  8. Alma, Bukhari dan Donni Juni Priansa. T.t. Manajemen Bisnis Syariah: Menanamkan Nilai dan Praktis Syariah dalam Bisnis Kontemporer, Bandung: Alfabeta

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses