Pembimbing Kemasyarakatan: Penegak Hukum yang Tidak Populer

Penulis: Rian Suheri Akbar, S.H. (Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Ahli Pertama Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan UPT Bapas Kelas II Palopo)
Penulis: Rian Suheri Akbar, S.H. (Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Ahli Pertama Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan UPT Bapas Kelas II Palopo)

Ketika masyarakat membayangkan aparat penegak hukum, yang terlintas biasanya adalah sosok polisi yang gagah, jaksa yang tajam dalam dakwaan, atau hakim yang bijak di ruang sidang. Namun, di balik panggung peradilan, ada satu peran penting yang hampir tak pernah disebut dalam perbincangan publik: Pembimbing Kemasyarakatan.

Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebenarnya memiliki kontribusi besar dalam menegakkan keadilan, terutama dalam pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis keadilan restoratif.

Sayangnya, profesi ini tidak sepopuler penegak hukum lainnya. Di masyarakat, nama Pembimbing Kemasyarakatan nyaris asing. Padahal, mereka adalah garda depan dalam upaya mengembalikan pelaku ke dalam masyarakat secara utuh.

Baca juga: Bahaya Moral Pegawai di Balik Penjara pada Kasus Penyelundupan Narkoba!

Bacaan Lainnya

Bekerja dalam Sunyi

PK tidak hadir di panggung utama peradilan, melainkan bekerja dalam diam — menelusuri latar belakang pelaku, berdialog dengan keluarga korban, menyusun laporan Litmas, hingga melakukan pendampingan dalam proses reintegrasi sosial. Ketika seorang anak berhadapan dengan hukum, misalnya, PK menjadi aktor utama dalam mendorong penyelesaian kasus melalui jalur diversi, bukan pemidanaan.

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), “Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pengawasan, dan bimbingan terhadap anak.”

Namun, kerja sunyi ini nyaris tidak pernah mendapat sorotan. Media lebih senang menyoroti sidang dramatis atau vonis kontroversial ketimbang proses penyelesaian damai yang penuh upaya. Akibatnya, masyarakat tidak mengenal siapa mereka, dan lebih dari itu — tidak memahami betapa strategisnya posisi PK dalam sistem keadilan yang lebih beradab.

Baca juga: Benih Harapan di Balik Jeruji: Membangun Ketahanan Pangan dari Penjara

Di Persimpangan Identitas

Di satu sisi, Pembimbing Kemasyarakatan adalah penegak hukum karena berperan langsung dalam sistem peradilan pidana. Di sisi lain, mereka juga dianggap sebagai pekerja sosial karena pendekatannya yang bersifat rehabilitatif. Identitas ganda ini kerap membuat posisi PK tidak jelas di mata publik, bahkan kadang di internal institusi hukum itu sendiri.

Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Ditjen PAS, seorang pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, pernah mengatakan, “Pembimbing Kemasyarakatan adalah jembatan penting dalam sistem peradilan yang berorientasi pada pemulihan, bukan semata-mata penghukuman.”

Namun ironisnya, dengan jumlah SDM yang sangat terbatas dan beban kerja yang tidak seimbang, mereka justru tenggelam dalam tumpukan laporan birokratis. Beberapa PK bahkan harus menangani lebih dari 100 klien secara bersamaan, sebuah angka yang jauh dari rasional jika kita bicara soal pendekatan personal dan rehabilitatif.

Baca juga: Mengungkap Fakta di Balik Penjara: Penyimpangan Seksual Narapidana

Saatnya Menghargai Peran Senyap

Masyarakat berhak tahu bahwa keadilan tidak hanya soal menjatuhkan hukuman, tetapi juga tentang memberi kesempatan kedua. Di sinilah PK memainkan perannya: menjembatani proses hukum dengan pendekatan kemanusiaan.

Nelson Mandela pernah berkata, “Tidak ada yang menunjukkan jiwa sejati suatu bangsa lebih baik daripada bagaimana mereka memperlakukan anak-anaknya.” Dalam konteks ini, keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan menjadi indikator nyata komitmen bangsa terhadap sistem peradilan yang adil dan berperikemanusiaan.

Sudah waktunya negara dan masyarakat memberi pengakuan lebih terhadap profesi ini. Bukan soal mencari popularitas, melainkan soal memberikan dukungan moral dan institusional agar peran PK bisa dijalankan secara maksimal. Edukasi publik, peningkatan kapasitas, dan pelibatan aktif dalam reformasi hukum harus menjadi agenda bersama.

Pembimbing Kemasyarakatan memang tidak populer. Tapi dalam sunyi, mereka menegakkan keadilan dengan cara yang tidak kalah mulia — dan sering kali, lebih bermakna.

Penulis: Rian Suheri Akbar, S.H.
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Ahli Pertama
Kementrian Imigrasi dan Pemasyarakatan UPT Bapas Kelas II Palopo

 

Editor: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses