Pemerintahan Prabowo di Persimpangan: Visi Besar, Langkah Membingungkan

Prabowo Subianto
Presiden Prabowo Subianto (Sumber: Media Sosial)

Presiden Prabowo Subianto memasuki masa awal pemerintahannya dengan semangat besar dan narasi ambisius. Dalam berbagai kesempatan, ia menyuarakan visinya tentang Indonesia sebagai negara yang kuat, berdaulat, dan dihormati di panggung internasional. Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan yang diambil justru menimbulkan tanda tanya besar. Masyarakat kini bertanya-tanya: ke mana sebenarnya arah pemerintahan ini?

Di bawah ini kita akan menelaah beberapa aspek penting dari pemerintahan Prabowo yang telah menjadi sorotan publik. Dari program unggulan hingga gaya komunikasi, dari kebijakan anggaran hingga ancaman militerisasi, semuanya menyisakan kebingungan yang berpotensi menggerus kepercayaan rakyat.

 

Program Makan Bergizi (MBG): Ide Baik yang Terancam Salah Arah

Salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto adalah Program Makan Bergizi (MBG) untuk pelajar. Program ini dirancang dengan tujuan utama menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia—dua masalah serius yang selama ini menjadi hambatan besar dalam pembangunan sumber daya manusia di tanah air.

Bacaan Lainnya

Di atas kertas, MBG adalah kebijakan yang patut diapresiasi. Indonesia memang memiliki beban gizi buruk yang cukup berat, terutama di daerah-daerah tertinggal dan terpencil di mana akses terhadap makanan bergizi masih sangat terbatas.

Namun, ketika program ini mulai dipaparkan ke publik, sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran pun bermunculan. Salah satu hal yang paling disorot adalah besarnya anggaran yang diajukan: mencapai ratusan triliun rupiah. Angka ini, meski mencerminkan keseriusan pemerintah, sekaligus memunculkan pertanyaan krusial:

Apakah anggaran sebesar itu realistis dan bisa dikelola secara efektif? Apakah dana tersebut benar-benar akan menyentuh pelajar yang membutuhkan, atau justru berpotensi bocor di tengah jalan?

Baca juga: Implikasi Rencana Kenaikan PPN 12% terhadap Realisasi Program Makan Bergizi Gratis

Sejumlah pengamat menilai bahwa MBG berisiko tinggi disusupi oleh kepentingan politik dan bisnis. Dalam skala nasional, pengadaan makanan dalam jumlah besar selalu menjadi ladang subur bagi praktik rente dan korupsi, apalagi jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan.

Selain itu, hingga saat ini belum terlihat adanya peta jalan (roadmap) yang jelas mengenai bagaimana makanan akan diproduksi, dari mana bahan bakunya diambil, siapa yang akan mendistribusikan, serta bagaimana kualitasnya akan dijaga secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia.

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah kesiapan pemerintah daerah. Apakah mereka memiliki kapasitas, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengimplementasikan program sebesar ini? Tanpa koordinasi pusat-daerah yang solid, MBG bisa berakhir menjadi program yang timpang, hanya efektif di kota-kota besar dan gagal total di daerah-daerah terpencil—yang justru menjadi target utama dari kebijakan ini.

Pada akhirnya, MBG adalah ide besar yang memerlukan perencanaan dan eksekusi yang tidak main-main. Tanpa transparansi, tanpa partisipasi publik, dan tanpa pengawasan yang ketat, program ini berpotensi menjadi proyek mercusuar: terlihat megah dari luar, tapi rapuh di dalam. Pemerintah harus membuktikan bahwa ini bukan sekadar strategi populis, melainkan komitmen nyata untuk memperbaiki kualitas hidup generasi masa depan Indonesia.

 

Efisiensi Anggaran: Antara Retorika dan Realita

Efisiensi anggaran kerap jadi mantra favorit dalam setiap pidato pejabat publik. Presiden terpilih Prabowo Subianto, misalnya, berkali-kali berjanji akan menata ulang belanja negara agar lebih efektif, efisien, dan pro-rakyat.

Tapi publik mulai lelah mendengar retorika yang tak pernah benar-benar diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di balik janji efisiensi, praktik anggaran pemerintah justru masih sarat dengan pemborosan yang mengakar dan nyaris sistemik.

Kementerian dan lembaga negara masih mempertahankan belanja yang tak relevan dengan kebutuhan rakyat: perjalanan dinas mewah, pengadaan kendaraan baru, acara seremonial yang mahal tapi minim manfaat. Semua ini terjadi di tengah kondisi fiskal yang makin menekan, utang yang membengkak, dan pelayanan publik yang justru stagnan. Pertanyaannya sederhana: di mana letak efisiensinya?

Yang lebih menyakitkan, sektor-sektor krusial seperti pendidikan dan kesehatan justru jadi korban dari kebijakan setengah hati ini. Sekolah rusak, kekurangan guru, puskesmas minim fasilitas—semuanya dianggap “biasa saja” oleh elite birokrasi, selama proyek-proyek mercusuar terus berjalan tanpa henti.

Stadion, kereta cepat, infrastruktur yang memanjakan investor—semua itu jalan terus, tanpa evaluasi yang transparan dan akuntabel. Ini bukan soal prioritas, tapi soal siapa yang sebenarnya dilayani oleh anggaran negara.

 

UU TNI: Ancaman Militerisasi dalam Bingkai Demokrasi

Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Salah satu capaian paling signifikan adalah upaya menata ulang peran militer, mengembalikannya ke barak, serta memisahkan secara tegas antara ranah sipil dan militer.

Namun, dua dekade setelahnya, semangat reformasi itu tampaknya mulai terkikis oleh wacana-wacana baru yang berpotensi membawa Indonesia kembali ke masa di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan bernegara.

Salah satu kebijakan kontroversial yang tengah mencuat adalah dorongan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Salah satu poin krusial yang menimbulkan perdebatan adalah kemungkinan perluasan peran TNI ke dalam jabatan-jabatan sipil.

Baca juga: Pendidikan di Ujung Tanduk: Sorotan yang Mendalam pada Rendahnya Kualitas Peserta Didik dalam Mengekspresikan Diri

Pemerintah berdalih bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas birokrasi. Namun, banyak pihak memandang kebijakan ini sebagai sinyal kemunduran demokrasi.

Wacana tersebut memicu kekhawatiran serius tentang kembalinya militerisasi dalam kehidupan sipil. Ketika prajurit aktif ditempatkan di jabatan sipil strategis, batas antara militer dan pemerintahan sipil menjadi kabur.

Hal ini membuka ruang bagi potensi konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, serta melemahnya kontrol sipil terhadap militer. Dalam konteks negara demokratis, hal ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga mengkhianati semangat reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah.

Para pengamat, aktivis, dan akademisi pun angkat bicara. Mereka menilai bahwa alih-alih memperkuat birokrasi, keterlibatan militer secara langsung dalam pemerintahan sipil justru berpotensi melemahkan profesionalisme militer itu sendiri. TNI seharusnya fokus pada tugas pokoknya dalam menjaga kedaulatan negara dan keamanan nasional, bukan terseret dalam pusaran politik dan administrasi sipil yang rawan konflik kepentingan.

Revisi UU TNI seharusnya diarahkan untuk memperkuat profesionalisme militer dalam kerangka negara demokratis, bukan untuk membuka kembali ruang bagi militer mengintervensi kehidupan sipil. Jika pemerintah serius dalam membangun demokrasi yang sehat, maka penguatan lembaga sipil, partisipasi publik, dan kontrol terhadap militer harus menjadi prioritas utama.

 

Wawancara yang Membingungkan: Ketika Pemimpin Tidak Siap Menjawab

Wawancara Presiden Prabowo dengan tujuh jurnalis senior pada 6 April 2025 seharusnya menjadi momen penting untuk memberikan gambaran jelas tentang arah kebijakan pemerintahannya. Namun, wawancara ini malah meninggalkan kesan yang membingungkan.

Alih-alih memberikan penjelasan konkret mengenai kebijakan-kebijakan besar, Prabowo justru terlihat menghindari jawaban yang mendalam dan terkesan lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi.

Saat membahas isu-isu penting seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program Makan Bergizi Gratis (MBG), Prabowo lebih banyak berbicara dalam bahasa umum yang tidak menjawab pertanyaan mendalam yang seharusnya diberikan jurnalis.

Pemilihan kata yang terlalu berhati-hati dan tidak jelas mengenai langkah konkret menciptakan kesan bahwa ada upaya untuk menghindari pertanggungjawaban penuh terhadap kebijakan yang diusung. Alih-alih memberikan rincian tentang bagaimana program-program ini akan dijalankan, ia lebih banyak menyajikan janji tanpa bukti atau penjelasan yang memadai.

Lebih jauh lagi, wawancara ini juga menunjukkan ketidakmampuan Prabowo untuk menghadapi pertanyaan sulit dan isu-isu kontroversial. Tidak ada upaya untuk membahas masalah yang lebih sensitif, seperti catatan hak asasi manusia yang selalu menjadi sorotan dalam perjalanan politiknya.

Ketika seorang pemimpin menghindari untuk membicarakan isu-isu yang berpotensi merusak citranya, itu justru menimbulkan pertanyaan lebih besar tentang integritas dan kesiapan mereka untuk menghadapi tantangan nyata dalam memimpin negara.

Pada akhirnya, wawancara ini menunjukkan bahwa Prabowo belum siap untuk menghadapi dinamika dan pertanyaan sulit yang pasti akan muncul dalam perjalanan pemerintahannya. Apa yang diharapkan menjadi kesempatan untuk membuka dialog terbuka malah berakhir sebagai upaya pencitraan yang mengabaikan substansi.

Seorang pemimpin yang hanya berbicara tentang visi besar tanpa memberikan penjelasan jelas tentang pelaksanaannya, tidak memberikan kepercayaan kepada rakyatnya.

Jika Prabowo ingin dianggap sebagai pemimpin yang benar-benar siap memimpin Indonesia, ia harus lebih jujur dan transparan dalam memberikan jawaban yang bukan hanya aman bagi citra, tetapi juga meyakinkan publik bahwa kebijakan-kebijakan yang diusung akan benar-benar memberikan dampak positif.

Tanpa itu, wawancara ini hanya menunjukkan bahwa pemimpin yang tidak siap untuk menjawab pertanyaan sulit, sebenarnya tidak siap memimpin.

 

Kesimpulan: Harapan Besar, Arah yang Belum Jelas

Pemerintahan Prabowo saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada harapan besar dari rakyat bahwa kepemimpinan baru ini akan membawa perubahan signifikan. Di sisi lain, berbagai kebijakan dan langkah yang diambil justru menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran.

Program besar seperti MBG harus dikawal agar tidak menjadi proyek gagal. Seruan efisiensi anggaran harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana. UU TNI harus ditinjau kembali agar tidak mengancam prinsip demokrasi. Dan yang tak kalah penting, komunikasi publik harus diperbaiki agar rakyat merasa dihargai dan mendapat informasi yang jujur dan jelas.

Sebagai negara demokrasi, suara rakyat tetap menjadi kunci. Pemerintah harus kembali mendengar, bukan hanya berbicara. Jika tidak, maka visi besar yang dijanjikan hanya akan menjadi mimpi di atas kertas yang tak pernah menjadi nyata.

 

Penulis: Resmadyar A.
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Goo

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses