Pengaruh Bullying pada Kesehatan Mental Anak Autis

Bullying
Gambar dibuat dengan teknologi AI.

Bullying memiliki dampak yang sangat merugikan, terutama bagi anak-anak autis yang sering kali lebih rentan terhadap tekanan sosial. Anak autis cenderung menghadapi kesulitan dalam memahami dan beradaptasi dengan interaksi sosial yang kompleks, sehingga mereka kerap menjadi target perundungan.

Tindakan bullying dapat memicu kecemasan, depresi, dan perasaan tidak berharga yang mendalam pada anak autis. Lebih jauh, tekanan ini dapat memperburuk gejala autisme, seperti meningkatnya sensitivitas terhadap lingkungan atau menurunnya kemampuan komunikasi.

Dampak bullying pada anak autis tidak hanya dirasakan secara emosional tetapi juga dapat memengaruhi perkembangan kognitif dan sosial mereka.

Anak yang sering menjadi korban bullying cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk belajar keterampilan komunikasi dan interaksi yang penting.

Bacaan Lainnya

Selain itu, tekanan psikologis yang dialami akibat bullying dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk fokus dan belajar di sekolah, yang pada akhirnya berdampak pada prestasi akademik.

Kondisi ini juga dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan kesehatan fisik, seperti gangguan tidur atau masalah pencernaan, akibat stres yang berkepanjangan.

Upaya untuk melindungi anak autis dari bullying membutuhkan kolaborasi semua pihak. Orang tua berperan penting dalam memberikan dukungan emosional dan membangun kepercayaan diri anak melalui komunikasi yang terbuka dan penuh empati.

Di sisi lain, sekolah harus menerapkan kebijakan anti-bullying yang tegas, memberikan pelatihan kepada guru untuk memahami kebutuhan anak autis, serta mempromosikan budaya inklusivitas di antara siswa.

Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memahami dan menghargai perbedaan juga diperlukan untuk mengurangi stigma terhadap autisme. Dengan pendekatan yang komprehensif, anak autis dapat merasa lebih dihargai, diterima, dan mampu berkembang dengan optimal tanpa dibayangi dampak negatif bullying.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Aktivis Penyandang Disabilitas dalam Mengubah Stigma Negatif

Selain dukungan eksternal, penting juga untuk membekali anak autis dengan keterampilan yang dapat membantu mereka menghadapi situasi sulit, termasuk potensi bullying. Terapi perilaku atau terapi okupasi dapat membantu anak mengelola emosi mereka, memahami interaksi sosial, dan membangun mekanisme pertahanan diri.

Memberikan pelatihan tentang cara mengenali dan melaporkan tindakan bullying kepada orang dewasa yang dapat dipercaya juga menjadi langkah penting.

Selain itu, memperkuat kemampuan anak untuk menemukan dan bergabung dengan komunitas yang mendukung, seperti kelompok teman sebaya dengan minat serupa, dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memberikan rasa memiliki.

Dengan pendekatan yang saling melengkapi ini, anak autis memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung kesehatan mental mereka.

Dengan menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan inklusif, kita tidak hanya melindungi anak autis dari dampak buruk bullying tetapi juga membuka jalan bagi mereka untuk mencapai potensi terbaik mereka.

Lingkungan yang positif dapat membantu anak merasa dihargai dan diterima apa adanya, sehingga mereka lebih percaya diri untuk mengeksplorasi kemampuan dan bakat yang dimiliki.

Baca Juga: Mengenal Bullying, Dampak dan Cara Mencegahnya pada Perkembangan Anak

Hal ini juga memberikan pesan kuat kepada masyarakat tentang pentingnya menghormati keberagaman dan memperlakukan semua individu dengan martabat yang sama.

Pada akhirnya, upaya kolektif untuk melawan bullying tidak hanya berdampak pada anak autis, tetapi juga menciptakan generasi yang lebih empatik, inklusif, dan peduli terhadap sesama.

Bullying sangat berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental anak-anak autis, yang biasanya lebih gampang merasa emosional dan sosial dibandingkan anak lainnya. Menurut laporan dari National Autistic Society di Inggris, 63% anak autis pernah mengalami bullying saat mereka bersekolah.

Data dari Interactive Autism Network (IAN) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak autis memiliki kemungkinan tiga kali lipat untuk menjadi korban bullying dibandingkan anak-anak neurotipikal.

Hal ini dapat memperburuk gejala autisme, termasuk kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan membangun hubungan sosial, dan kecemasan yang berlebihan.

Sebuah penelitian dari Journal of Autism and Developmental Disorders menemukan bahwa 94% anak autis yang mengalami bullying menunjukkan tanda-tanda kecemasan, dan 73% di antaranya mengalami depresi berat.

Bullying juga sering membuat anak autis menjauh dari teman-teman mereka, yang meningkatkan risiko mereka merasa terisolasi, dan ini bisa merusak kesehatan mental mereka lebih lanjut.

Baca Juga: Anak-anak yang Menjadi Korban Verbal Bullying: Bagaimana Peran Orang Tua dalam Menyikapinya?

Penelitian lain dari Autism Research Institute menemukan bahwa anak autis yang menjadi korban bullying memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih besar untuk mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD).

Selain itu, anak-anak autis yang mengalami bullying seringkali menunjukkan perilaku mundur, seperti kehilangan kemampuan berbicara yang sebelumnya sudah mereka miliki, atau peningkatan perilaku berulang sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit.

Kurangnya pemahaman dari guru, teman, dan masyarakat tentang autisme sering kali memperburuk masalah ini. Di Indonesia, survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa anak-anak dengan disabilitas, termasuk yang autis, lebih sering menjadi korban bullying, meskipun data spesifik mengenai anak autis masih sedikit.

Mengatasi masalah bullying pada anak yang mengalami autisme memerlukan kerja sama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Salah satu langkah yang penting adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang autisme melalui pendidikan dan kampanye.

Penelitian dari Autism Speaks menunjukkan bahwa pelatihan untuk inklusi di sekolah, seperti program anti-bullying yang melibatkan anak-anak biasa dan anak autis, bisa mengurangi kejadian bullying hingga 30 persen. Para guru dan pegawai sekolah juga harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda bullying dan melakukan tindakan yang tepat.

Di Finlandia, program anti-bullying KiVa, yang melibatkan semua orang di sekolah, telah berhasil mengurangi angka bullying dengan signifikan dan bisa menjadi contoh bagi negara lain. Selain itu, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam membantu anak autis mengembangkan ketahanan emosional.

Baca Juga: Kesehatan Mental Korban Bullying dan Bagaimana Cara Mengatasinya

Melalui terapi yang melibatkan keluarga, seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang disesuaikan untuk anak autis, anak dapat belajar bagaimana mengelola perasaan dan meningkatkan keterampilan sosial mereka.

Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa CBT bisa menurunkan kecemasan pada anak autis hingga 50 persen, terutama jika dikombinasikan dengan dukungan dari lingkungan yang aman. Di tingkat kebijakan, pemerintah perlu menguatkan aturan untuk melindungi anak dengan kebutuhan khusus.

Di Indonesia, walaupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sudah ada dan mencakup larangan diskriminasi, penerapannya masih membutuhkan pengawasan yang lebih baik.

Memberikan akses kepada layanan psikologis, terapi, dan program inklusi di sekolah harus menjadi prioritas agar anak autis dapat berkembang tanpa rasa takut akan bullying. Dengan pendekatan yang menyeluruh, anak autis bisa merasa lebih diterima, dihargai, dan dilindungi dalam lingkungan mereka.

Penulis: Dodit Ardiansyah Sepriyanto
Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses