Pengaruh Komunikasi dalam Kasus Bullying di Perguruan Tinggi

Komunikasi dalam Kasus Bullying
Sumber: istockphoto, Karya: PonyWang.

Abstrak

Bullying di perguruan tinggi merupakan fenomena yang dapat mengganggu lingkungan akademis dan psikososial mahasiswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran komunikasi dalam menangani kasus bullying dengan fokus pada intervensi komunikasi non-verbal dan dukungan sosial. Penelitian menggunakan metode studi kasus dengan analisis kualitatif melalui wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi non-verbal yang ditampilkan oleh mahasiswa dan staf kampus dapat menjadi indikator awal dari tindakan bullying, serta pentingnya dukungan sosial dalam menciptakan lingkungan yang aman.

Bacaan Lainnya

Penelitian ini menyoroti perlunya kebijakan yang memperkuat komunikasi interpersonalis dalam pencegahan bullying.

Kata Kunci: Komunikasi, Bullying, Non-Verbal, Dukungan Sosial, Perguruan Tinggi.

Abstract

Bullying in higher education is a phenomenon that can disrupt students’ academic and psychosocial environments. This research aims to identify the role of communication in dealing with bullying cases with a focus on non-verbal communication interventions and social support.

The research uses a case study method with qualitative analysis through in-depth interviews. The research results show that non-verbal communication patterns displayed by students and campus staff can be an early indicator of bullying, as well as the importance of social support in creating a safe environment. This research highlights the need for policies that strengthen interpersonal communication in preventing bullying.

Keywords: Communication, Bullying, Non-Verbal, Social Support, Higher Education.

Pendahuluan

Kasus bullying tidak hanya terjadi di tingkat sekolah dasar dan menengah, tetapi juga di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun sering kali bentuk bullying yang terjadi lebih halus dan tersembunyi, dampaknya terhadap kesejahteraan mental, sosial, dan akademik mahasiswa sangat signifikan. Bullying di perguruan tinggi sering kali bersifat psikologis atau emosional, seperti pelecehan verbal, intimidasi, pengucilan sosial, serta penghinaan yang tersembunyi di balik perilaku yang tampaknya ramah (Vanderbilt & Augustyn, 2010). Fenomena ini dapat menyebabkan gangguan serius dalam kesehatan mental dan prestasi akademik korban, terutama jika mereka tidak mendapatkan dukungan sosial yang cukup dari lingkungan sekitarnya.

Menurut penelitian Chapell et al. (2006), bullying di perguruan tinggi sering kali melibatkan kekuatan yang tidak setara, baik antara mahasiswa dengan sesama mahasiswa maupun antara mahasiswa dengan dosen atau staf. Dalam situasi ini, komunikasi memainkan peran kunci. Komunikasi non-verbal, seperti gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara, dapat digunakan untuk menyampaikan intimidasi tanpa harus menggunakan kata-kata eksplisit. Komunikasi semacam ini sering kali lebih sulit dikenali dan diatasi, tetapi dampaknya tetap sangat merugikan bagi korban.

Pentingnya peran komunikasi dalam dinamika bullying di perguruan tinggi telah menarik perhatian para peneliti. Misalnya, Knapp dan Hall (2006) menjelaskan bahwa komunikasi non-verbal dapat menjadi alat yang ampuh dalam mengekspresikan dominasi atau ketidaksetujuan, yang sering kali digunakan oleh pelaku bullying untuk memanipulasi korban. Dalam interaksi sosial sehari-hari, terutama di lingkungan perguruan tinggi yang lebih terbuka, perilaku intimidatif ini bisa terjadi di ruang kelas, asrama, atau lingkungan sosial lainnya tanpa disadari oleh pihak luar. Oleh karena itu, memahami bagaimana komunikasi non-verbal berfungsi dalam konteks bullying menjadi penting untuk mencegah dan menanganinya.

Baca Juga: Peran Komunikasi dalam Kasus Bullying di Perguruan Tinggi

Lebih lanjut, dukungan sosial juga memiliki peran penting dalam membantu korban mengatasi dampak bullying. Menurut Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial bertindak sebagai penyangga yang membantu individu mengatasi stres. Dalam konteks perguruan tinggi, dukungan sosial dapat datang dari teman sebaya, keluarga, dosen, atau pihak kampus lainnya. Ketika mahasiswa merasa didukung oleh lingkungannya, mereka lebih mungkin untuk melaporkan pengalaman bullying dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa banyak korban merasa enggan untuk melaporkan pengalaman mereka, baik karena ketakutan akan stigma sosial atau ketidakpercayaan terhadap sistem pelaporan yang ada (Faucher, Jackson, & Cassidy, 2014).

Kompleksitas bullying di perguruan tinggi juga dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di dalam kampus. Terdapat hierarki kekuasaan antara mahasiswa, dosen, dan staf kampus yang sering kali tidak seimbang. Ketidaksetaraan ini dapat memperburuk situasi ketika pelaku bullying memanfaatkan posisi kekuasaan mereka untuk menekan atau mengintimidasi korban. Dalam konteks ini, komunikasi non-verbal menjadi cara yang efektif bagi pelaku untuk menegaskan kekuasaannya, terutama ketika tidak ada saksi yang menyadari perilaku tersebut (MacDonald & Roberts-Pittman, 2010).

Melihat pentingnya peran komunikasi dan dukungan sosial dalam mencegah serta menangani kasus bullying, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih jauh bagaimana kedua aspek tersebut berperan dalam konteks perguruan tinggi. Dengan fokus pada komunikasi non-verbal sebagai faktor utama dalam dinamika bullying, serta pentingnya dukungan sosial dalam memediasi dampak bullying, diharapkan temuan dari penelitian ini dapat memberikan wawasan baru bagi pihak kampus dan mahasiswa dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif.

Landasan Teori

1. Komunikasi Non-Verbal

Komunikasi non-verbal adalah bentuk komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, melainkan isyarat atau simbol-simbol seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, kontak mata, dan nada suara (Knapp & Hall, 2006). Dalam konteks bullying, komunikasi non-verbal dapat menjadi alat yang kuat dalam mengekspresikan dominasi atau eksklusi terhadap individu lain. Misalnya, tatapan mengancam atau tindakan mengabaikan seseorang di lingkungan sosial bisa menjadi bentuk bullying yang tidak langsung.

2. Teori Pertukaran Sosial

Thibaut dan Kelley (1959) mengembangkan teori pertukaran sosial, yang menyatakan bahwa hubungan antarindividu didasarkan pada perhitungan keuntungan dan kerugian. Dalam konteks bullying, pelaku sering kali melihat bullying sebagai cara untuk mendapatkan status atau kekuasaan, sementara korban merasa dirugikan secara emosional dan sosial. Hubungan ini dapat dikelola melalui komunikasi yang efektif dan dukungan sosial yang kuat, sehingga mengurangi kerugian bagi korban.

3. Dukungan Sosial dan Psikologis

Dukungan sosial merupakan salah satu mekanisme paling penting dalam membantu korban bullying mengatasi pengalaman mereka. Berkaitan dengan komunikasi, dukungan ini dapat berupa penyampaian empati, dorongan, dan bantuan konkret dari teman sebaya, keluarga, dan staf pengajar. Cohen dan Wills (1985) menemukan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi dampak stres dan memperkuat kemampuan individu untuk menghadapi situasi sulit seperti bullying.

Baca Juga: Pencegahan Bullying di Perguruan Tinggi

Metode

Berikut adalah penjelasan yang lebih mendalam mengenai metode penelitian, termasuk pengumpulan data, analisis data, dan rincian lebih lanjut tentang partisipan serta proses wawancara.

Metode Penelitian

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena memungkinkan peneliti untuk memahami secara mendalam pengalaman, pandangan, dan persepsi individu terkait fenomena bullying di perguruan tinggi. Dengan demikian, peneliti dapat menggali nuansa dan kompleksitas interaksi sosial yang terjadi, terutama yang berkaitan dengan komunikasi non-verbal dan dukungan sosial.

Partisipan

Partisipan penelitian terdiri dari 20 mahasiswa yang dipilih berdasarkan pengalaman mereka terkait bullying. Mereka dibagi menjadi tiga kategori: korban, saksi, dan pelaku. Pemilihan partisipan dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan kriteria tertentu untuk memastikan bahwa mereka memiliki pengalaman yang relevan dengan topik penelitian.

Kriteria Partisipan

  1. Korban, Mahasiswa yang telah mengalami bullying, baik secara fisik maupun psikologis.
  2. Saksi, Mahasiswa yang menyaksikan peristiwa bullying terjadi tetapi tidak terlibat langsung.
  3. Pelaku, Mahasiswa yang mengakui bahwa mereka telah terlibat dalam perilaku bullying, baik secara sadar maupun tidak.

Pengumpulan Data

Wawancara mendalam dilakukan sebagai metode utama untuk mengumpulkan data. Wawancara ini dirancang untuk menggali pengalaman partisipan terkait pola komunikasi yang terlibat dalam kasus bullying. Pertanyaan wawancara difokuskan pada beberapa aspek, antara lain:

  1. Pengalaman Pribadi, Partisipan diminta untuk menceritakan pengalaman mereka terkait bullying, termasuk bagaimana mereka merasakannya dan dampak yang ditimbulkan.
  2. Pola Komunikasi, Partisipan ditanya tentang komunikasi non-verbal yang mereka alami, seperti tatapan, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Mereka juga diminta untuk mendeskripsikan bagaimana isyarat-isyarat tersebut berkontribusi pada pengalaman bullying mereka.
  3. Dukungan Sosial, Peneliti menggali sejauh mana dukungan dari teman sebaya atau staf kampus membantu partisipan dalam menghadapi bullying. Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk dukungan sosial yang mereka terima dan dampaknya terhadap kesejahteraan mereka.
  4. Respon Pihak Kampus, partisipan diminta untuk menggambarkan bagaimana pihak kampus merespons kasus bullying yang mereka alami atau saksikan. Ini termasuk pengalaman mereka dalam melaporkan kasus bullying dan bagaimana tanggapan yang mereka terima.

Baca Juga: Revitalisasi Nilai Salam dan Bahagia dalam Ajaran Ketamansiswaan untuk Menanggulangi Bullying di Sekolah

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan pendekatan tematik. Data dari wawancara ditranskrip dan dianalisis untuk mengidentifikasi pola-pola komunikasi yang terkait dengan bullying. Langkah-langkah analisis mencakup:

  1. Pengkodean Awal, Peneliti membaca transkrip wawancara dan melakukan pengkodean awal dengan menandai frasa atau pernyataan yang relevan.
  2. Identifikasi Tema, Dari pengkodean awal, peneliti mengidentifikasi tema-tema utama yang muncul, seperti pola komunikasi non-verbal, bentuk dukungan sosial, dan hambatan dalam melaporkan bullying.
  3. Analisis Mendalam, setiap tema dianalisis lebih lanjut untuk memahami konteks dan makna di balik pengalaman partisipan. Peneliti mencari hubungan antara tema dan bagaimana komunikasi memengaruhi pengalaman bullying.
  4. Penyusunan Narasi, Akhirnya, peneliti menyusun narasi berdasarkan tema-tema yang diidentifikasi, menjelaskan bagaimana komunikasi non-verbal dan dukungan sosial berperan dalam kasus bullying.

Hasil

Hasil wawancara menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal, seperti gerak tubuh, kontak mata yang intens, dan ekspresi wajah yang merendahkan, merupakan elemen yang sering muncul dalam kasus bullying di perguruan tinggi. Sebanyak 70% partisipan yang menjadi korban menyatakan bahwa mereka merasa diintimidasi secara non-verbal sebelum mengalami bullying verbal atau fisik secara langsung.

1. Komunikasi Non-Verbal sebagai Tanda Awal

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar korban bullying melaporkan adanya tanda-tanda awal berupa komunikasi non-verbal sebelum tindakan bullying yang lebih jelas terjadi. Tanda-tanda ini bisa berupa tatapan tajam, senyum sinis, atau gerakan tubuh yang menunjukkan ketidakpedulian, seperti membelakangi korban saat berbicara. Tindakan-tindakan ini berfungsi sebagai sinyal intimidasi yang dapat mempengaruhi kesehatan mental korban dan mengubah cara mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial.

Menurut Knapp dan Hall (2006), komunikasi non-verbal dapat menyampaikan pesan yang lebih kuat daripada kata-kata, sehingga isyarat-isyarat ini menjadi alat yang efektif bagi pelaku untuk menegaskan dominasi mereka dalam kelompok. Korban sering kali merasa tidak nyaman dan terancam oleh perilaku ini, meskipun belum ada agresi verbal atau fisik yang jelas. Pengalaman ini menyebabkan perasaan terisolasi dan menurunkan rasa percaya diri korban. Dalam jangka panjang, komunikasi non-verbal yang negatif ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan sosial mereka, sehingga penting untuk meningkatkan kesadaran akan bentuk-bentuk bullying yang mungkin tidak terlihat oleh pihak luar.

Baca Juga: Stop Bullying! Yuk, Jadi Generasi Emas Bangsa Indonesia dengan Melakukan Gerakan Anti Bullying!

2. Peran Dukungan Sosial dalam Penanganan Bullying

Dukungan sosial dari teman sebaya dan staf kampus terbukti memainkan peran yang sangat signifikan dalam membantu korban bullying mengatasi dampak psikologis yang mereka alami. Mahasiswa yang merasa didukung oleh teman-teman mereka cenderung lebih mampu menghadapi tekanan yang diakibatkan oleh perilaku bullying. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan ini dapat datang dalam bentuk verbal, seperti memberikan kata-kata semangat, serta non-verbal, seperti menunjukkan empati melalui bahasa tubuh dan kehadiran fisik (Cohen & Wills, 1985).

Hasil wawancara mengindikasikan bahwa mahasiswa yang memiliki jaringan dukungan sosial yang kuat merasa lebih mampu untuk melaporkan pengalaman bullying mereka dan mendapatkan bantuan dari pihak kampus. Dukungan sosial yang efektif menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka, sehingga mengurangi rasa malu dan stigma yang sering kali melekat pada korban bullying. Sebaliknya, mahasiswa yang merasa terisolasi dan tidak memiliki dukungan sosial yang memadai cenderung mengalami dampak psikologis yang lebih serius, seperti depresi dan kecemasan. Hal ini menekankan pentingnya komunikasi yang efektif, baik verbal maupun non-verbal, dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi korban bullying.

3. Hambatan Komunikasi dengan Pihak Kampus

Meskipun pentingnya komunikasi yang baik antara mahasiswa dan pihak kampus dalam menangani kasus bullying, penelitian ini mengidentifikasi sejumlah hambatan yang sering dihadapi oleh korban. Banyak partisipan melaporkan bahwa mereka merasa ragu untuk melaporkan kejadian bullying karena ketidakpercayaan terhadap sistem pelaporan yang ada. Mereka khawatir bahwa laporan mereka tidak akan ditanggapi dengan serius atau bahkan akan berujung pada konsekuensi sosial yang lebih buruk, seperti diasingkan dari kelompok teman sebaya.

Kurangnya sistem pelaporan yang responsif dan transparan di perguruan tinggi dapat memperburuk situasi ini. Ketika mahasiswa merasa bahwa suara mereka tidak didengar, mereka cenderung memilih untuk diam, yang hanya memperkuat siklus bullying. Selain itu, beberapa partisipan juga mencatat kurangnya empati dari pihak kampus, di mana mereka merasa tidak mendapatkan dukungan yang cukup ketika melaporkan pengalaman bullying. Hal ini menunjukkan bahwa pihak kampus perlu meningkatkan kesadaran akan masalah ini dan menyediakan jalur komunikasi yang lebih baik bagi mahasiswa untuk melaporkan kasus bullying tanpa rasa takut atau stigma.

Dengan mengembangkan setiap poin ini, Anda dapat memberikan analisis yang lebih mendalam tentang bagaimana komunikasi dan dukungan sosial berkontribusi pada pengaruh dan penanganan bullying di perguruan tinggi.

Baca Juga: Pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat Universitas Pamulang “Mengurangi Aksi Bullying pada Anak-anak Sejak Dini”

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal memainkan peran kunci dalam mendukung terjadinya bullying di perguruan tinggi. Komunikasi non-verbal, yang mencakup gestur, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan bahkan kontak mata, sering kali digunakan oleh pelaku bullying sebagai alat untuk mendominasi korban. Hal ini sejalan dengan penelitian Knapp dan Hall (2006) yang menyebutkan bahwa isyarat non-verbal bisa lebih efektif daripada komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan dominasi atau intimidasi. Misalnya, tatapan sinis, sikap tubuh yang merendahkan, atau tindakan mengabaikan korban di depan umum menjadi cara pelaku untuk menegaskan kekuasaan mereka.

Dari wawancara yang dilakukan dengan para partisipan, mayoritas korban menyatakan bahwa bullying yang mereka alami dimulai dari isyarat non-verbal yang menimbulkan perasaan tidak nyaman atau takut. Dalam banyak kasus, intimidasi semacam ini terjadi dalam konteks sosial di mana korban merasa terisolasi dari kelompok sebaya mereka. Pengucilan sosial menjadi salah satu bentuk bullying yang sering kali dimediasi oleh komunikasi non-verbal, di mana pelaku menggunakan bahasa tubuh dan ekspresi wajah untuk secara halus mengeksklusi korban dari percakapan atau aktivitas kelompok (Olweus, 1993).

Selain komunikasi non-verbal, dukungan sosial juga ditemukan memiliki peran yang signifikan dalam membantu korban mengatasi dampak bullying. Para partisipan yang memiliki jaringan sosial yang kuat, baik dengan teman sebaya maupun dengan pihak kampus, melaporkan bahwa mereka lebih mampu menghadapi tekanan psikologis akibat bullying. Ini konsisten dengan temuan Cohen dan Wills (1985) yang menyatakan bahwa dukungan sosial bertindak sebagai penyangga yang membantu individu mengurangi dampak stres. Namun, dukungan sosial yang memadai tidak selalu tersedia bagi semua korban. Sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka merasa takut untuk berbicara tentang pengalaman mereka, baik karena takut akan dampak sosial yang lebih buruk atau karena mereka tidak percaya bahwa kampus akan menanggapi laporan mereka dengan serius (Faucher, Jackson, & Cassidy, 2014).

Kurangnya respons empatik dari pihak kampus juga menjadi hambatan dalam penanganan kasus bullying. Beberapa korban mengungkapkan bahwa meskipun mereka telah melaporkan kasus bullying, tanggapan yang mereka terima sering kali lambat atau tidak memadai. Hal ini memperburuk perasaan terisolasi dan tidak didukung yang mereka alami, memperkuat efek negatif bullying terhadap kesejahteraan mereka (MacDonald & Roberts-Pittman, 2010). Oleh karena itu, penting bagi pihak kampus untuk tidak hanya menyediakan sistem pelaporan yang mudah diakses, tetapi juga memastikan bahwa setiap laporan ditangani dengan serius dan tepat waktu.

Dukungan dari teman sebaya terbukti menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang paling efektif dalam membantu korban menghadapi dampak emosional dan psikologis dari bullying. Mahasiswa yang merasa memiliki teman yang mendukung cenderung lebih mampu pulih dari pengalaman bullying. Hal ini menunjukkan bahwa menciptakan lingkungan sosial yang inklusif dan mendukung di perguruan tinggi merupakan langkah penting untuk mencegah dan menangani kasus bullying (Swearer et al., 2010).

Temuan lain dari penelitian ini adalah pentingnya meningkatkan kesadaran akan komunikasi non-verbal dalam dinamika bullying. Banyak pelaku dan korban tidak sepenuhnya menyadari bahwa isyarat non-verbal yang mereka gunakan atau alami adalah bagian dari perilaku bullying. Pelatihan dan sosialisasi kepada dosen, staf kampus, dan mahasiswa tentang bagaimana mengenali tanda-tanda komunikasi non-verbal yang mengarah pada bullying dapat menjadi langkah pencegahan yang efektif. Kesadaran yang lebih besar akan bentuk-bentuk bullying yang halus ini dapat membantu menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan aman bagi semua mahasiswa.

Baca Juga: Studi Kasus Dampak Bullying Anak Sekolah: Masihkah Kita Harus Bersikap Acuh?

Kesimpulan

Komunikasi non-verbal dan dukungan sosial memiliki peran penting dalam mencegah dan menangani bullying di perguruan tinggi. Temuan ini mengindikasikan bahwa perhatian lebih besar harus diberikan pada tanda-tanda non-verbal yang muncul sebagai indikator awal bullying. Selain itu, dukungan sosial yang kuat dari teman sebaya dan pihak kampus dapat membantu mengurangi dampak psikologis yang dialami oleh korban. Untuk ke depannya, diperlukan kebijakan yang memperkuat komunikasi antara mahasiswa dan pihak kampus guna menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan aman.

Penulis: L. Muh. Dani Ilham Akbar
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram (Unram)

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310–357.

Knapp, M. L., & Hall, J. A. (2006). Nonverbal communication in human interaction (6th ed.). Wadsworth.

Thibaut, J. W., & Kelley, H. H. (1959). The social psychology of groups. Wiley.

Whitted, K. S., & Dupper, D. R. (2005). Best practices for preventing or reducing bullying in schools. Children & Schools, 27(3), 167–175. https://doi.org/10.1093/cs/27.3.167

Goodboy, A. K., & Martin, M. M. (2015). The personality profile of a cyberbully: Examining the Dark Triad. Computers in Human Behavior, 49, 1–4. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.02.052

Myers, S. A., & Knox, R. L. (2000). Perceived communication openness and functional communication skills among organizational peers. Communication Reports, 13(2), 103–114.

Olweus, D. (1994). Bullying at school: Basic facts and effects of a school based intervention program. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 35*(7), 1171–1190.

Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2006). Bullies move beyond the schoolyard: A preliminary look

Zalaquett, C. P., & Chatters, S. J. (2011). The impact of bullying on college students’ mental health: A review of the literature. Journal of College Counseling, 14(1), 27-40. https://doi.org/10.1002/j.2161-1882.2011.tb00002.x.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI