Pengaruh Mental Anak Remaja terhadap Pernikahan Anak di Bawah Umur

Pernikahan Anak di Bawah Umur
Ilustrasi: istockphoto

Manusia merupakan makhluk yang hidup berpasang-pasangan seperti halnya manusia pasti membutuhkan pernikahan. Arti dari pernikahan yaitu ikatan kesepakatan dua orang dewasa yang bertujuan untuk hidup bersama, bekerja sama, serta memiliki keturunan dengan harapan dapat menjadi penerus dalam keluarga.

Secara biologis dengan adanya pernikahan manusia dapat memenuhi hawa nafsu seksualnya dengan pasangan. Sementara dari segi jasmani, rohani, dan psikis dapat memengaruhi manusia pada tingkat emosionalnya, karena dengan adanya pernikahan usia dewasa lebih siap untuk mengendalikan emosional dan mentalnya.

Diketahui bahwa kesehatan mental dan psikis merupakan salah satu aspek terpenting yang perlu diperhatikan dalam kehidupan setiap orang.

Kematangan mental seseorang dapat diketahui dari aspek usia individu, di dalam kalimat di atas sudah disampaikan, bahwa pernikahan dilakukan oleh pria dan wanita dewasa. Namun faktanya di Indonesia kini masih marak terjadi pernikahan anak di bawah umur.

Bacaan Lainnya

Di mana dapat diketahui bersama hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun (2019) mengenai Usia Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan usianya telah mencapai minimal 19 tahun.

Maraknya pernikahan di bawah umur tentunya tidak terlepas dari banyak faktor, beberapa faktornya yaitu kemauan diri sendiri, married by incident, faktor lingkungannya, dan minimnya pengawasan orang tua mereka.

Dampak negatif kesehatan mental pasangan pernikahan anak di bawah umur dapat berupa ketidakstabilan yang berpengaruh pada optimalisasi terhadap perkembangan individu seseorang baik fisik maupun psikisnya. Sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan hidup yang dialami.

Problematika dalam pernikahan anak di bawah umur rentan terkena stres atau depresi. Kesiapan dan kematangan emosional anak di bawah umur dalam menghadapi permasalahan rumah tangga belum begitu sempurna.

Apabila anak remaja di bawah 20 tahun mengalami masa kehamilan, risikonya sangat besar mulai dari hipertensi, pendarahan, keguguran, hingga kematian pada ibu muda.

Permasalahan kesehatan mental remaja mengakibatkan banyaknya terdapat kasus kekerasan dalam rumah tangga atau biasa disebut (KDRT) dalam keluarga hingga menimbulkan perceraian pada pasangan muda, dan hal tersebut masih banyak terjadi di Indonesia.

Faktanya peningkatan angka perceraian pada pasangan muda salah satunya diakibatkan oleh gangguan psikis yang belum siap guna menghadapi permasalahan dalam rumah tangga.

Pernikahan anak di bawah umur juga berisiko terhadap organ reproduksi, secara organ reproduksi anak remaja under 20 tahun tidak siap secara penuh dalam melakukan hubungan seks hingga terjadinya kehamilan muda. Sehingga akan terjadi risiko hipertensi pada remaja yang tentunya membahayakan kandungan.

Kondisi tersebut jarang terdeteksi pada awal usia kehamilan, tetapi lebih membahayakan ibu muda karena berdampak mengalami pendarahan, kejang-kejang, hingga kematian ibu atau janinnya. Beberapa dampaknya juga dipengaruhi oleh sel telur yang dapat dikatakan belum sempurna karena usia remaja yang terbilang muda, hal tersebut akan mengkhawatirkan kondisi bayi yang dilahirkan mengalami cacat pada fisik.

Dari kondisi sel telur anak berusia di bawah umur yang belum sempurna sehingga tak jarang akan mengalami down syndrome pada bayi. Kondisi kesehatan reproduksi yang ternyata belum siap secara sempurna juga sangat meningkatkan risiko mengalami kanker serviks atau kanker pada leher rahim, yang disebabkan oleh virus.

Dampak pernikahan anak di bawah umur terhadap pendidikan juga berpengaruh terhadap kesehatan mental anak, sebab dengan adanya pendidikan setiap orang akan mempunyai bekal ilmu dan wawasan yang luas, hal tersebut dapat kita gunakan untuk mencari pekerjaan yang layak dan mendapatkan keuntungan, juga menurunkan angka pengangguran di Indonesia.

Tanpa adanya bekal ilmu pendidikan pada anak yang menikah di bawah umur tentunya sulit bagi mereka yang tidak berpendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga kurangnya penghasilan dan juga keterbatasan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga yang tentunya tidak sedikit.

Dampaknya juga berpengaruh pada kualitas keturunan, tidak jarang banyak terjadi kasus perceraian yang menimbulkan depresi, stres, hingga gangguan jiwa pada anak usia remaja.

Apabila pernikahan dini tersebut dilakukan demi menutupi aib keluarga maka akan menimbulkan hal yang negatif seperti kekerasan dalam rumah tangga atau biasa di sebut (KDRT) yang sering terjadi pada suami kepada istrinya dan menyebabkan keluarga yang tidak harmonis.

Mengatasi kesehatan jiwa seseorang merupakan hal yang wajib kita lakukan untuk mengurangi tingkat stres atau depresi pada tiap individu. Strategi utama yang perlu di lakukan demi mengatasi permasalahan kesehatan mental dan psikis anak yang dilatarbelakangi oleh pernikahan dini, salah satunya yaitu memberikan bimbingan konseling pada anak terkait kesabaran saat menata emosional dan juga prasangka baik kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya upaya yang harus kita lakukan untuk mencegah gangguan jiwa pada anak yaitu menghapus stigma buruk atau negative terhadap penderita gangguan kejiwaan yang dapat memperburuk situasi penderita. Sehingga tak jarang masyarakat lebih memilih ditangani oleh bidang konseling. Namun ternyata dukungan orang terdekat yang lebih efisien guna mencegah gangguan mental.

Edukasi dari pemerintah, dan pihak terkait sangat dibutuhkan dalam memotivasi masyarakat awam agar tidak terjerumus ke dalam praktek pernikahan dini. Karena memahami banyaknya dampak negatif terhadap psikis, kesehatan, dan mental anak remaja.

Perlu di sadari dukungan orang terdekat juga sangat di butuhkan dalam memberantas perkara tersebut, dan dapat menciptakan lingkungan yang positif. Faktor pengawasan orang tua terhadap anaknya wajib diketatkan, karena kondisi lingkungan anak di luar yang tidak diketahui oleh orang tua.

Masyarakat juga perlu mengawasi mengenai Tindakan-tindakan anak remaja di dalam lingkup sosialnya untuk membantu menghentikan kejadian di luar dugaan dan menyebabkan married by incident yang tentunya akan menjadikan praktik pernikahan dini.

Lembaga pendidikan juga wajib untuk memberikan sosialisasi terhadap orang tua mengenai anak wajib belajar 12 tahun. Pentingnya memiliki wawasan ilmu yang baik sampai perlahan menghentikan praktik pernikahan di bawah umur. Pendidikan yang dilandasi moral agama juga perlu dikerahkan menjadikan anak remaja yang baik secara spiritualnya.

Penulis: Niken Ayudiya Bekti
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses