Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atau biasa disingkat dengan BBNKB baru-baru ini mendapatkan sedikit revisi pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). UU HKPD yang baru disahkan pada tanggal 5 Januari 2022 oleh Presiden Republik Indonesia merevisi terkait objek pajak BBNKB.
Sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah objek pajak BBNKB adalah atas penyerahan kepemilikan kendaraan baik atas penyerahan pertama atau biasa disebut BBNKB I maupun penyerahan kedua dan seterusnya atau biasa disebut BBNKB II.
Mulai Januari 2024 pemerintah akhirnya menghapus penyerahan kepemilikan kendaraan motor bekas (penyerahan kedua dan seterusnya) sebagai objek bea balik nama kendaraan bermotor sesuai dengan Pasal 12 UU HKPD.
Jika sebelumnya pada BBNKB atas penyerahan kedua (BBNKB II) masih dikenakan tarif minimal 1%, kini balik nama atas kendaraan motor bekas tidak lagi dikenakan pajak atau dibebaskan dari pengenaan pajak daerah. Namun, atas kendaraan bermotor penyerahan pertama tetap dikenakan BBNKB dengan tarif paling tinggi 12%.
Baca Juga:Â Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor: Solusi Jangka Pendek dan Dampak Jangka Panjang
Urgensi Kebijakan Penghapusan BBNKB II
Pemerintah ingin kebijakan penghapusan BBNKB II ini dapat mengurangi beban pajak kepada masyarakat dan meningkatkan kepatuhan perpajakan masyarakat. Dengan dibebaskannya BBNKB pada kendaraan bekas tentu akan membantu masyarakat dalam mengurus administrasi kepemilikan kendaraan bermotor.
Kesederhanaan dan kemudahan administrasi perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) yang dinilai belum maksimal. Kemandirian fiskal pemerintah daerah juga diharapkan dapat membaik melalui beberapa kebijakan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD termasuk kebijakan penghapusan BBNKB II ini.
UU HKPD dirancang untuk menjadi sebuah alat yang dapat meningkatkan akuntabilitas dan keadilan pengelolaan sumber daya demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Selain itu, kebijakan ini juga ditujukan untuk membantu pihak kepolisian dalam peningkatan validitas data kendaraan nasional. Dengan biaya nol rupiah, masyarakat seharusnya lebih mudah dalam melakukan pindah atau balik nama lapor atas kendaraannya.
Selama ini banyak masyarakat yang melakukan balik nama kendaraan menggunakan ktp orang lain agar tidak dikenakan pajak. Hal tersebut mengakibatkan adanya ketidaksesuaian data antara kendaraan dan pemilik. Terdapat perbedaan material antara data di Kepolisian, Kemendagri, dan Jasa Raharja. Mekanisme penghapusan BBNKB II tidak hanya membantu wajib pajak tetapi juga pemerintah dalam melakukan sinkronisasi data.
Baca Juga:Â Optimalisasi Core Tax Administration System (CTAS) dalam Mengefisiensikan Pajak
Bagaimana Penerapannya?
Kebijakan penghapusan BBNKB II yang tertuang dalam UU HKPD selanjutnya diatur lebih lanjut oleh pemerintah provinsi masing-masing. Pemerintah provinsi juga memiliki kewenangan untuk tidak menerapkan kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi daerah masing-masing sesuai dengan Pasal 96 UU HKPD.
Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri hingga Januari 2024, sebanyak 34 dari 38 provinsi di Indonesia telah menerapkan kebijakan penghapusan BBNKB II. Ada empat provinsi yang belum menerapkan penghapusan BBNKB II ini, yaitu Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Barat, dan Papua Pegunungan.
Kendaraan bermotor atas penyerahan pertama dikenakan tarif BBNKB paling tinggi yaitu 12% dan untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi tidak terbagi ke daerah kabupaten/kota otonom dikenakan tarif paling tinggi sebesar 20%.
Masyarakat tidak perlu khawatir mengenai penerapannya karena sistem akan secara otomatis memberikan pembebasan pajak atau bea atas balik nama kendaraan motor penyerahan kedua dan seterusnya.
Sistem hanya menghitung besar pajak atas balik nama kendaraan bermotor penyerahan pertama. Daerah yang sudah memberlakukan kebijakan HKPD tersebut hanya akan menghitung BBNKB Kendaraan Motor pertama.
Baca Juga:Â Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%
Bagaimana Dampaknya pada Penerimaan Pajak?
Sayangnya, dampak dari kebijakan penghapusan BBNKB II ini belum bisa dianalisis secara signifikan jika dilihat berdasarkan data penerimaan pajak karena kebijakan ini baru diterapkan pada tahun 2024. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang telah menerapkan kebijakan penghapusan BBNKB II.
Menurut data provinsi Jawa Timur tahun 2024, BBNKB menyumbang 23% dari total penerimaan asli daerah. BBNKB merupakan penyumbang penerimaan terbanyak kedua setelah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Provinsi Jawa Timur.
Dari sisi penerimaan, penghapusan BBNKB II seharusnya dapat mengurangi potensi penerimaan pajak. Hal tersebut tentu menjadi tantangan bagi pemerintah terutama untuk provinsi yang selama tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan penerimaan pajak dari sektor BBNKB.
Jika dilihat dari struktur UU HKPD, selain adanya kebijakan penghapusan BBNKB II, UU HKPD juga mengatur mengenai opsen atau pungutan tambahan untuk menjaga stabilitas penerimaan pajak.
Opsen dikenakan pada besaran pajak terutang dengan persentase tertentu yang ditetapkan pemerintah daerah masing-masing. Tarif opsen ditetapkan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah (Perda).
Kebijakan inilah yang mungkin menjadi penyeimbang setelah penghapusan salah satu sumber penerimaan pajak daerah. Ada tiga jenis pajak daerah yang dikenakan opsen, yakni Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Baca Juga:Â Polemik Pemungutan Opsen Pajak, Apa Benar Menguntungkan?
Perhitungan BBNKB
Lalu bagaimana perbandingan perhitungan BBNKB menurut UU Nomor 1 Tahun 2022 dan UU Nomor 28 Tahun 2009?
Berikut merupakan simulasi perhitungan apabila masyarakat melakukan balik nama kendaraan bermotor atas penyerahan pertama dan kedua sesuai dengan Pasal 12 UU HKPD Tahun 2022 dan UU PDRD Tahun 2009.
Contoh Perhitungan sesuai UU HKPD
Wajib pajak di Surabaya Jawa Timur melakukan pembelian kendaraan motor baru seharga 20 juta dan langsung dilakukan balik nama atas nama pembeli. Di Jawa Timur, tarif BBNKB yaitu 12% sehingga jika harga motor 20 juta maka wajib pajak tersebut dikenakan BBNKB sebesar 2,4 juta.
Kemudian di Surabaya Jawa Timur, terdapat opsen dengan tarif 66%. Jumlah yang harus dibayarkan oleh wajib pajak adalah sebagai berikut
Pajak terutang dari BBNKBÂ = Rp2.400.000
Opsen                     = 66% * Rp2.400.000
                                                = Rp1.584.000
Total pajak yang harus dibayar  = Rp2.400.000 + Rp1.584.000
                              = Rp3.984.000.
Jadi total yang harus dibayarkan oleh wajib pajak saat melakukan balik nama kendaraan atas penyerahan pertama adalah Rp3.984.000.
Contoh Perhitungan sesuai UU PDRD
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, bea balik nama kendaraan bermotor atas penyerahan pertama dikenakan tarif 20% dan penyerahan kedua dst dikenakan tarif 1%. Berikut adalah simulasi perhitungannya jika harga motor baru yaitu 20 juta dan motor bekas 10 juta.
Jumlah BBNKB I = 20% * Rp20.000.000
                                = Rp4.000.000
Jumlah BBNKB II = 1% * Rp10.000.000
                 = Rp100.000
Total penerimaan  = Rp4.100.000
Berdasarkan perhitungan tersebut jumlah penerimaan dari BBNKB lebih besar pada saat menggunakan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD. Berdasarkan UU HKPD, atas balik nama kendaraan kedua dan seterusnya, wajib pajak dapat menghemat 1% dari nilai jual kendaraan.
Jumlah BBNKB yang harus dibayar oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan UU HKPD lebih rendah dibandingkan undang-undang sebelumnya.
Ternyata kebijakan opsen pada UU HKPD tetap tidak dapat menyamai besarnya penerimaan pajak sesuai dengan undang-undang sebelumnya. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas antara penerimaan daerah dan kepatuhan perpajakan masyarakat.
Baca Juga:Â Pemungutan Pajak
Bagaimana solusinya?
Pemerintah perlu untuk melakukan sosialisasi kepada pegawai internal dan masyarakat terkait kebijakan penghapusan BBNKB II.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu untuk memberikan sosialisasi terkait kebijakan baru lainnya yang terkandung dalam UU HKPD seperti opsen. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan pemahaman yang sama antara pemerintah dan masyarakat.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui media sosial atau secara langsung terutama untuk daerah yang jauh dari perkotaan. Metode ini bertujuan untuk menyampaikan informasi terkait kebijakan-kebijakan baru pemerintah sehingga dapat dipahami oleh masyarakat secara merata.
Harapannya dengan sosialisasi secara menyeluruh dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman pada masyarakat terhadap pemerintah sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga. Dengan kepercayaan masyarakat yang terjaga, kepatuhan perpajakan masyarakat juga pasti terjaga.
Â
Penulis: Firsta Nur Sya’bani
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Sektor Publik, Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News