Perlunya Rekonsiliasi Pasca Pilkades

Saat ini, pola pembangunan yang diterapkan di desa adalah pembangunan partisipatif. Ini merupakan pola pembangunan yang telah lama dilaksanakan oleh bangsa ini jauh sebelum kemerdekaan, dan mayoritas masyarakat desa sudah menjadikan hal tersebut sebagai budaya, seperti gotong royong, kerja bakti, serta tanggung renteng (partisipasi). Namun, pola yang dikembangkan ini merupakan penyempurnaan dari bentuk sebelumnya dengan lebih terpadu, terencana dan sistematik.

Berbagai program seperti penanggulangan kemiskinan, bantuan kesehatan, pendidikan, pembangunan fisik dan sebagainya yang pernah ada, sering berupaya menempatkan masyarakat sebagai aktor atau pelaku utama. Namun realitasnya, pola pembangunan partisipatif belum berjalan secara maksimal (kalau tak mau dibilang belum tampak sama sekali). Hal ini terjadi karena masih ada semacam sentimen antarkontestan pada Pilkades.  

Sentimen Pasca Pilkades
Pilkades menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan hidup kepala desa. Sebagian besar Kades dilahirkan dari proses pemilihan yang mengandung politik saling hasut di antara tim sukses dan mengumbar kelemahan lawan secara personal (bukan visinya). Dengan demikian, jejak rekam yang baik tentu menjadi modal awal promosi calon kepala desa. Sebagai contoh, para pendukung Kades A akan membanggakan gelar sarjananya dibanding kandidat yang lain. Begitupun juga para pendukung Kades B, timsesnya akan membesarkan isu pendatang untuk meyudutkan rivalnya.

Ketegangan ini berlangsung hingga pasca Pilkades. Biasanya ketegangan berlangsung mengancam karakter desa yang guyub. Mereka tak bisa menghindari interaksi antar warga, terutama pada kegiatan atau hajatan sosial. Apalagi kebanyakan warga desa mempunyai hubungan kekerabatan di antara warga lainnya.

Meskipun demikian, kita tidak boleh menutup mata karena ketegangan ini berpotensi untuk terus berlangsung dan bertumbuh dalam masyarakat.  Pada beberapa desa di Manggarai Barat yang dikunjungi penulis bersama Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) ketegangan pasca Pilkades sangat kental dan cukup berpengaruh dalam dinamika kehidupan di desa. Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah dalam Pilkades masih belum dewasa dalam menerima kekalahan. Kondisi ini kemudian diperparah oleh sebagian oknum yang memprovokasi masyarakat lain untuk tidak terlibat dalam pembangunan desa. Dengan demikian muncul sikap semacam “pembangkangan” dan sikap apatis dari pihak yang kalah dalam rangka membangun dan memajukan desanya.

Kesan ini semakin kental dan cukup terpelihara dalam dinamika kehidupan di beberapa desa di Manggarai Barat. Dengan dalih menjadi oposisi, sentimen dengan pihak yang menang menjadi terus menguat. Hal ini kadang-kadang membuat kades yang menang cukup kesulitan dalam menjalankan programnya sekalipun telah berusaha melibatkan seluruh warga baik yang mendukungnya maupun yang penjadi lawannya saat Pilkades. Sebab setiap program yang dimunculkan oleh Kades selalu dilihat sebagai upaya untuk memperkuat kekuasaannya dan hanya mementingkan kelompok pendukungnya.

Dalam beberapa kasus, misalnya di Desa Golo Bore, Kabupaten Manggarai Barat, upaya mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi terhambat karena masih terdapat sentimen terhadap Kades yang terpilih. Akibatnya, Desa Golo Bore yang sudah mempunyai BUMDes dengan Unit Usaha Beras sulit untuk berkembang. Sebab kubu sebelah yang kalah dalam kontestasi Pilkades tidak mau menjual berasnya kepada BUMDes. Padahal, BUMDes dapat membantu meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). 

Rekosiliasi Pasca Pilkades
Terjadinya ketegangan pasca Pilkades, terutama kubu pendukung merupakan hal yang wajar. Namun, ketegangan tersebut tidak boleh dibiarkan berkembang dan bertumbuh secara terus menerus, apalagi menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meredam ketegangan tersebut. Dalam rangka meredam ketegangan pasca Pilkades, rekonsiliasi antara pihak yang bertikai mutlak diperlukan. Rekonsiliasi merupakan upaya untuk meyatukan seluruh elemen masyarakat dalam desa dan kemudian bersama-sama berpartisipasi dalam membangun desa.

Dalam rangka rekosiliasi, Kepala Desa terpilih mempunyai peran yang sangat penting. Sebagai seorang pemimpin, dia mesti mempunyai strategi agar masyarakat yang bersitegang dapat bersatu kembali. Untuk meredam ketegangan, Kepala Desa mesti melibatkan lawan politiknya selain tim suksesnya pada jabatan atau dalam urusan pemerintahan desa.

Herry Kabut
Penulis adalah Anggota Kelompok Studi Tentang Desa

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI