Malang – Selasa, 11 Juni 2024 di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang telah terselenggara diskusi dan pernyataan sikap “Waspada Ancaman RUU Penyiaran”. Terselenggaranya acara ini merupakan bentuk kerjasama antara Laboratorium Ilmu Komunikasi UM, UPT Perpustakaan UM, Kafe Pustaka, serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Acara tersebut merupakan tanggapan, sekaligus upaya mempertegas sikap ketidaksetujuan terhadap draft revisi UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, yang dinilai berpotensi melemahkan, bahkan membatasi kebebasan pers.
Yuventia, dosen sekaligus salah satu pemantik dalam diskusi tersebut, beranggapan, bahwa regulasi yang termuat dalam Pasal 50B ayat 2 poin C, terkait larangan investigasi berpotensi membuat media semakin jauh dari fungsinya, yaitu mendidik nalar publik.
“Masyarakat bisa menjadi kalangan pandir, ketika konten yang disajikan berupa sinetron, opera sabun, liputan-liputan tentang artis, yang hanya berada pada level sensitivitas,” ungkap Yuventia.
Selain itu, Dosen Ilmu Komunikasi tersebut juga mengungkapkan bahwa, dengan disahkannya RUU Penyiaran ini sama halnya dengan menggoyahkan demokrasi. Sementara jurnalisme atau pers merupakan pilar keempat demokrasi, selain trias politika yang mencakup Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Sementara itu, Daniel, koordinator YLBHI-LBH Pos Malang, dalam pemaparannya juga mengatakan bahwa, problem dalam RUU Penyiaran bukan hanya perihal teks, namun juga konteks.
“Kalau kita lihat, dalam RUU Penyiaran ini tidak ada sama sekali pendekatan yang berbasis perspektif Hak Asasi Manusia. (Hak Asasi Manusia) ini tidak direpresentasikan dalam RUU Penyiaran. Ada sarana terhadap pelanggaran HAM atas informasi,” ujar Daniel.
Lebih lanjut, Koordinator YLBHI-LBH Pos Malang tersebut juga mengungakapkan bahwa, misalnya dalam sebuah kasus yang ia tangani, sebelum Polisi mendapatkan tersangka, ia sudah mendapatkan informasi detil melalui jurnalis.
“Sedetil dan sepanjang itu, investigasi dari teman-teman media. Ada metedologi, cara dan pola yang berbeda dengan aparat penegak hukum, dalam hal investigasi,” lanjut Daniel.
“Saat ini, KPK juga sudah dilemahkan. Nah, jika RUU Penyiaran disahkan, ini menjadi sarana koruptor bisa melenggang bebas. Tidak ada yang lebih efektfif daripada Undang-undang melainkan media (pers),” ujar Daniel.
Selain kedua narasumber tadi, duskusi juga dipantik oleh Benny Indo, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Jurnalis Harian Surya ini mengungkapkan bahwa, adanya RUU Penyiaran ini merupakan ancaman terhadap UU Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan Pers.
“Undang-undang (UU Pers Nomor 40 tahun 1999) ini adalah anak kandung reformasi. Reformasi itu lahir dari kematian mahasiswa. Kami tidak ingin itu terulang kembali,” ujar Benny.
“(sebelum adanya RUU Penyiaran) ini, sudah terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis,” ungkap Benny sembari menayangkan data statistik kasus kekerasan terhadap jurnalis melansir advokasi.aji.or.id.
Selain kontroversi yang termuat dalam Pasal 50B ayat 2 Poin C dan K terkait pelarangan investigasi, pasal lain yang mengundang kontroversi juga termuat dalam Pasal 42 terkait standarisasi isi siaran oleh KPI.
Menurut Benny, Pasal 42 tersebut tumpang tindih dengan otoritas Dewan Pers. Sementara itu, menurut Jurnalis Harian Surya tersebut, dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999 juga sudah termuat kode etik dan tata caranya.
“Produk jurnalistik itu produk undang-undang (UU Pers Nomor 40 tahun 1999). Jika ada pelanggaran, maka penyelesaiannya dengan UU Pers itu. Tidak hanya saya (jurnalis), namun juga kalian akan terkena penyensoran oleh KPI,” ungkap Benny.
Seusai pemaparan materi dan diskusi, selanjutnya acara ditutup dengan pernyataan sikap yang secara tegas menolak RUU Penyiaran, yang kemudian juga ditandatangani oleh segenap peserta yang hadir dalam acara diskusi ini.
Penulis: Nihrul Bahy Muhammad
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News