Indonesia adalah negara yang beragam. Keberagaman tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, baik dari suku, agama, ras dan golongan. Dengan keberagaman tersebut, memberikan peluang besar untuk berkembangnya politik identas, misalnya politik identitas berbasis agama. Politik identitas khususnya agama tidak pernah hilang dari arena perpolitikan negeri ini. Politik Identitas merupakan kajian baru dalam ilmu poltik. Politik identitas merupakan nama lain dari bioponik politik atau politik perbedaan. Politik identitas dalam hal ini sebagai politik, yang difokuskan pada suatu pembedaan, dimana sebagai kategori utamanya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun pada akhirnya akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis.
Awal kebangkitan politik identitas di Indonesia bermula saat kontestasi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 terutama setelah adanya gerakan massa aksi 212. Kekhawatiran terhadap berkembangnya penggunaan politik identitas dalam pemilu 2019 menjadi perhatian banyak pihak. Provinsi Sumatera Barat adalah Provinsi dengan mayoritas penduduknya adalah beragama muslim. Di provinsi ini pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno mendapatkan suara yang cukup signifikan.
KPU telah menyelesaikan rapat pleno rekapitulasi nasional hasil penghitungan pilpres 2019 untuk Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Hasilnya, pasangan Prabowo-Sandiaga ungul atas Jokowi-Ma’ruf. Berdasarkan hasil rekapitulasi, Prabowo-Sandiaga memperoleh 2.488.733 suara, sedangkan Jokowi-Ma’ruf meraup 407.761.
Hasil pemilu presiden tahun 2019 tidak jauh berbeda dengan tahun 2014, saat itu calon presiden Prabowo-Hatta juga memperoleh kemenangan di Provinsi Sumatera Barat, penyebabnya adalah, Pertama, solidnya kerja tim sukses partai-partai pendukung Koalisi Indonesia Adil Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi. Kedua, warga Sumatera Barat adalah pemilih rasional yang sulit tertipu oleh pencitraan yang dilakukan capres. Mereka memilih pemimpin itu selain berdasarkan ketokohannya, juga berdasarkan kualitasnya. Ketiga, psikologis warga Sumatera Barat yang budayanya terkenal religius. Keempat, faktor sejarah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Masyumi. Warga Sumatera Barat masih memiliki emosional yang kuat jika mengingat hubungan antara PRRI dan pusat di masa lalu.
Satu benang merah yang tidak bisa dilewatkan ketika bicara Jokowi dan PDI Perjuangan (berikut rivalitasnya dengan Prabowo) dengan Sumbar adalah sejarah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Daniel S. Lev dan Herberth Feith, dalam The End of Indonesian Rebellion, menyebutkan ada dua kelompok besar yang berebut kekuasaan sejak 1956. Kelompok pertama dikenal sebagai kelompok regionalis yang terdiri dari petinggi militer dan anggota partai Masyumi. Mereka menyatakan kelompok kedua yang dipimpin Soekarno terlalu terpusat, birokratis, korup, dan tidak memerhatikan situasi di luar Jawa. Kelompok regionalis pun membentuk Dewan Banteng pada 1956 di Sumbar. Puncaknya, pada 15 Februari 1958, Dewan Banteng memproklamasikan PRRI di Kota Padang dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Soekarno menyebut itu sebagai pemberontakan
Pada dasarnya kebudayaan Warga Sumatera Barat aka Urang Minang, tergambarkan dalam falsafah adat,
Adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah
Artinya :
Adat bersendikan syariat, dan syariat bersendikan Al-quran.
Inilah sebab mengapa sentimen agama masih kuat pada masyarakat minang. Masyarakat Minangkabau cenderung lebih agamis daripada daerah lain. Bagaimanapun macamnya adat harus sejalan dengan syariat agama. Sehingga apapun yang berkaitan dengan isu berbau ‘agama’ akan sensitif bagi masyarakat Minang. Kemenangan Prabowo di Provinsi Sumatera Barat pada pemilu tahun 2014 dan pemilu tahun 2019 serta kekalahan Jokowi di Provinsi tersebut pada tahun 2014 dan 2019 menandakan masih kuatnya pengaruh politik identitas di Provinsi tersebut.
Heri Cahyono
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta
Baca juga:
Pamitnya Kedamaian Akibat Kisruh Elit Politik
Antara Media, Politik dan Mahasiswa
Memurnikan Keadaban Politik