Prabowo dan Krisis Kepercayaan terhadap Aksi Massa

Prabowo dan Krisis Kepercayaan terhadap Aksi Massa
Foto Presiden Prabowo Subianto

“Ketika pemimpin tak lagi percaya pada aksi massa, maka bukan hanya suara jalanan yang kehilangan asa, tapi demokrasi sudah kehilangan arahnya.”

Alerta!! Alerta!!

Nyalakan tanda bahaya!!

Ketika seorang pemimpin tak lagi percaya pada aksi massa, maka yakinlah demokrasi sedang dalam bahaya.

Bacaan Lainnya

Partisipasi rakyat dianggap sebelah mata oleh pemimpin bangsa, padahal aksi massa bukan sekadar kerumunan di jalanan, melainkan ungkapan kekecewaan dari warga negara.

Ketidakpercayaan ini sering berujung pada tindakan represif dari pembubaran paksa hingga pelabelan negatif terhadap demonstran yang pada akhirnya menciptakan iklim ketakutan.

Rakyat menjadi enggan bersuara atau bahkan merasa sia-sia untuk menyampaikan aspirasi melalui cara-cara damai.

Lebih buruk lagi, ketidakpercayaan itu menciptakan jurang antara kekuasaan dan warga, di mana suara dari bawah tak lagi dianggap penting.

Dalam jangka panjang, ini menjadi sinyal bahaya: demokrasi kehilangan substansinya, dan pemimpin perlahan terputus dari denyut rakyat yang seharusnya mereka wakili.

Apakah ini menjadi gejala awal kegagalan demokrasi atau hanya fase politik biasa? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita melihat bagaimana aksi-aksi massa hari ini kehilangan daya gugahnya.

Di tengah meningkatnya dominasi elite politik, termasuk figur sentral seperti Prabowo yang kini berada di jantung kekuasaan, ruang partisipasi rakyat justru tampak menyempit.

Demonstrasi yang dulu menjadi simbol keberanian kini sering dipandang sinis, dianggap sebagai perpanjangan tangan kekuatan politik tertentu, atau bahkan dimanipulasi untuk agenda tersembunyi.

Ketika suara jalanan tak lagi dipercaya, dan pemimpin tak lagi melihatnya sebagai wujud kritik konstruktif, kita patut bertanya: apakah demokrasi Indonesia sedang tumbuh dengan sehat, atau justru tengah mengalami pembusukan dari dalam, secara perlahan namun pasti?

Krisis Kepercayaan sebagai Ancaman Demokrasi

Dalam kondisi saat ini, krisis kepercayaan terhadap aksi massa bukan sekadar persoalan citra atau persepsi publik yang berubah, melainkan merupakan gejala dalam yang mengancam fondasi demokrasi partisipatif.

Ketika aksi-aksi rakyat kehilangan legitimasi di mata masyarakat maupun penguasa, maka sistem politik kehilangan salah satu mekanisme koreksinya yang paling vital.

Di tengah dinamika ini, Prabowo Subianto—sebagai salah satu aktor politik utama yang kini berada di pusat kekuasaan—memiliki peran penting, baik sebagai bagian dari penyebab kian melemahnya kepercayaan terhadap gerakan rakyat, maupun sebagai sosok yang sebenarnya punya potensi besar untuk mengembalikan kredibilitas ruang partisipasi publik.

Pilihannya akan menentukan: apakah demokrasi kita akan kembali hidup atau justru semakin menjauh dari rakyatnya sendiri.

Selama bertahun-tahun, aksi massa telah menjadi instrumen utama bagi rakyat untuk menyuarakan ketidakpuasan dan menuntut perubahan.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak Prabowo bertransformasi dari tokoh oposisi menjadi bagian integral dari pemerintahan, semangat aksi massa mulai mengalami delegitimasi.

Banyak yang melihat pergeseran ini sebagai sinyal bahwa ruang kritik semakin sempit, terlebih ketika mantan simbol perlawanan justru ikut menjaga status quo.

Akibatnya, publik mulai meragukan kemurnian gerakan rakyat, mencurigai adanya kepentingan elite di balik setiap mobilisasi, dan kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas protes publik.

Dalam atmosfer politik semacam ini, demokrasi kehilangan denyutnya—karena tidak ada lagi kejelasan antara mana gerakan akar rumput sejati dan mana yang dikendalikan dari atas.

Perubahan Figur Prabowo dan Dampaknya

Awalnya Prabowo merupakan sosok yang berdiri sebagai simbol perlawanan. Sosok oposisi yang tegas dan vokal. 

Figur Prabowo bukan hanya sekedar oposisi, tetapi juga sebagai representasi masyarakat yang tidak puas terhadap pemerintahan.

Ia menawarkan alternatif bukan hanya terhadap kebijakan, tapi terhadap sistem yang dianggap timpang. Sosok inilah yang membuatnya disegani oleh masyarakat luas.

Namun, semua berubah ketika ia memutuskan untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi. Keputusan ini memberikan kejutan yang besar.

Dua orang yang awalnya lawan menjadi kawan. Dari pengkritik kebijakan menjadi  pelaksana kebijakan.

Sosok Prabowo yang dulu digadang-gadang sebagai “Antitesis” Jokowi, tiba-tiba menjadi bagian dari sistem yang dulu ia kritik.

Hal ini menimbulkan kebingungan, terutama terhadap pendukungnya yang rela turun ke jalan.

Mereka yang dulu membawa poster Prabowo ke jalan, kini kebingungan. Hilang harapan.

Gerakan sosial yang semula hidup, kini melambat. Demonstrasi atau aksi protes yang semula dianggap sebagai bentuk murni dari perjuangan rakyat, kini dicurigai sebagai manuver politis yang artifisial.

Bahkan bisa dikira aksi massa yang turun ke jalan dilatarbelakangi oleh bayaran.

Krisis Kepercayaan terhadap Aksi Massa

Kepercayaan terhadap aksi massa kini sudah mengurang. Bahkan seorang petinggi negara seperti Presiden Prabowo mengira turunnya massa dilatarbelakangi uang.

Unjuk rasa dipandang sebagai transaksi yang transactional. Suara rakyat yang disuarakan dianggap karena latar belakang uang, bukan sebuah kekhawatiran.

Aksi massa bukan soal aspirasi katanya. Tetapi, disusupi oleh agenda-agenda tersembunyi.

Mungkin pemikiran ini datang tidak sekedar saja. Tetapi, dilatarbelakangi oleh faktor pengalaman.

Prabowo mengira bahwa uang bisa membeli suara rakyat, mungkin memang benar, karena sudah pernah dilakukan sebelumnya. 

Aksi massa tidak layak dipandang sebagai sebuah transaksi. Karena ini merupakan sebuah keresahan yang disampaikan lewat aksi.

Keresahan ini dirasakan bersama, oleh karena itu banyak orang yang ikut melakukannya. Mereka tergerak karena diri sendiri, bukan karena uang atau kepentingan lain yang melatarbelakangi. 

Ketika aksi massa tidak lagi dipercaya, entah kemana hilangnya ruang yang ditujukan untuk aspirasi rakyat.

Sinyal Bahaya bagi Demokrasi 

Pernyataan Prabowo yang meragukan aksi demonstrasi sebagai representasi kehendak rakyat, serta diamnya ia terhadap perilaku aparat yang cenderung abuse of power, menimbulkan sinyal bahaya serius bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Terlebih lagi, dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU TNI tanpa dialog publik yang memadai menambah daftar kekhawatiran akan menguatnya otoritarianisme berbaju konstitusional.

Demokrasi tidak akan tumbuh sehat tanpa partisipasi publik yang aktif dan dipercaya. Aksi massa adalah salah satu bentuk paling sah dari ekspresi politik warga negara.

Ketika aksi semacam ini dianggap sebagai aksi bayaran, lalu dibungkam dengan kekerasan aparat yang tak pernah dievaluasi, maka demokrasi berisiko tereduksi menjadi sekadar seremoni lima tahunan.

Potensi bahayanya bukan hanya dalam jangka pendek. Jika rakyat terus-menerus merasa suara mereka tidak didengar dan hak mereka ditekan, yang muncul bukan sekadar apatisme politik, tetapi bisa berkembang menjadi radikalisasi diam-diam atau bahkan letupan sosial yang tak terbendung.

Sebaliknya, represi yang terus dilegalkan dan dilembagakan akan menciptakan negara yang kuat secara militer, tapi rapuh secara moral dan legitimasi publik.

Jika demokrasi terus dikikis dengan alasan stabilitas, maka yang akan kita warisi bukan negara yang kuat, melainkan negara yang ditakuti oleh rakyatnya sendiri.

Simbol Politik dan Tanggung Jawab Kepemimpinan

Dalam perjalanannya selama berpolitik di Indonesia, Prabowo Subianto tercatat tak pernah absen dari percakapan politik nasional selama dua dekade terakhir.

Sebagai seorang pemimpin tertinggi, Prabowo tidak lagi berada dalam posisi yang bisa mengambil jarak dari realitas politik dan sosial. Ketika kekuasaan sudah digenggam, tanggung jawab tidak bisa dihindari.

Selama ini, ia dikenal sebagai figur yang sarat dengan simbolisme: nasionalisme, ketegasan, bahkan romantisme masa lalunya terhadap militeristik Indonesia.

Namun, tantangan terbesarnya ke depan adalah menjadikan simbol-simbol tersebut tidak sekedar alat legitimasi, melainkan titik tolak untuk membuka ruang demokrasi yang lebih sehat dan partisipatif.

Pertanyaan muncul, akankah Prabowo membuka ruang baru bagi keterlibatan rakyat secara aktif, atau justru memperkuat gaya kepemimpinannya yang hierarki dengan kontrol semakin kuat dari pusat kekuasaan?

Dalam situasi politik yang ditandai oleh skeptisme publik, kecurigaan terhadap elit serta berkurangnya kepada kepercayaan pada aksi-aksi massa, Prabowo dihadapkan pada dilema yang tak sederhana.

Ia bisa memilih menjadi simbol kekuatan yang otoritatif atau menjadi pelopor pemulihan ruang-ruang demokratis yang selama ini tergerus.

Pemulihan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tidak dapat dicapai hanya dengan retorika atau pencitraan.

Hal ini membutuhkan keberanian politik untuk mendengar, melibatkan, dan menghargai suara rakyat bahkan yang kritis sekalipun.

Oleh karena itu, masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana Prabowo menempatkan dirinya.

Apakah sebagai simbol yang tak tersentuh atau sebagai pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab secara moral dan politik di hadapan publik?

Seruan Reflektif

Sebuah putusan ataupun hal-hal yang mencakup orang ramai tidak dapat diputuskan oleh pihak tertentu saja.

Di sana terdapat hak-hak orang lain yang perlu disuarakan, demokrasi yang adil dan demokrasi yang baik memerlukan partisipasi dari berbagai pihak terutama rakyat itu sendiri.

Suara-suara rakyat yang hanya dapat tersalurkan melalui ruang di jalanan adalah bukti kepedulian terhadap negeri ini, mereka yang berani berpendapat tidak pantas untuk disumbat mulutnya rapat-rapat.

Jika tidak ada lagi kepercayaan terhadap aksi demonstran, maka rakyat hanya bisa menjadi geram.

Rakyat memerlukan sebuah keadilan bukan sebuah keraguan, pemimpin yang meragukan rakyatnya maka ia juga meragukan mandate yang diberikan kepadanya.

Apabila aksi-aksi sudah mulai padam dan berubah menjadi gerakan kudeta seperti yang dicontohkan, bukankah itu hanya menimbulkan kekacauan yang jauh lebih besar.

Menghanguskan makna demokrasi dengan mengatakan keraguannya terhadap rakyat di depan umum, menurut kami itu hal yang sangat tabu untuk diucapkan di negara yang katanya menjunjung tinggi arti demokrasi.

Jangan diam, lawan. Ketika sebuah aksi yang bertajuk keadilan diragukan, jangan berpaling dan tetap maju memperjuangkan kebenaran.

Percayalah bahwa aksi tidak harus berhenti hanya karena dianggap ditunggangi.

 

Penulis:
1. Aditya Dwi Ramadhan
2. Ahmad Jausyan
3. Farhat Syaukani Arafah
4. Insan Kamil Fathurrizqi
5. Muhammad Hali Shaquille
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses