Problematika Pemberlakuan Perda Syariah dalam Perspektif Hukum Islam

Hukum
Ilustrasi: istockphoto

Perubahan sistem politik dan penyelenggaraan kekuasaan negara pasca amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan besar bagi Indonesia, terutama perubahan dari sistem sentralistik menuju sistem desentarlistik.

Sistem ini memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya. Artinya pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam hal merancang, menyusun, dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda).

Namun pada realitanya, banyak Perda Syariah yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat karena materi Perda tersebut mengatur hal-hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dimasukkan dalam peraturan setingkat Perda.

Bacaan Lainnya

Secara ideologi Pancasila, Indonesia bukanlah negara agama (Islam), tetapi juga bukan berarti negara sekuler karena negara harus melindungi semua pemeluk agama tanpa diskriminasi.

Atas dasar ini, lahirlah landasan politik hukum nasional bahwa hukum Indonesia berdasarkan toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti tidak boleh ada hukum publik yang didasarkan pada ajaran agama tertentu.

Problematika penerapan Perda Syariah tersebut tidak hanya berhenti pada persoalan hukum positif, melainkan juga bermasalah dari segi hukum Islam.

Sebenarnya formalisasi hukum Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan dari segi legal formal maupun substansinya, secara histroris perdebatan ini sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Ada yang berpandangan bahwa harus ada pemisahan antara agama dan negara.

Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa relasi agama dan negara harus menjadi satu. Kontroversi ini berjalan sampai sekarang, yaitu dengan munculnya keinginan penegakan syariah dalam suatu negara baik secara yuridisi-formal maupun ranah substansinya (nilai-nilai syariah).

Upaya untuk memberlakukan Perda Syariah termasuk menyangkut hukum pidana Islam (jinayah) banyak dianggap oleh masyarakat sebagai hukum yang manusiawi, hukum yang kejam. Persepsi tersebut sebenarnya muncul karena hukum pidana tidak Islam tidak dipahami secara utuh.

Adapun gagasan mengenai hukum pidana Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pemikiran Islam modern dengan gagasan penerapan hukum pada prinsip-prinsip substansi syariah dan mengedepankan keadilan (al-‘adalah), selain itu ada yang memiliki gagasan penerapan hukum pidana Islam secara yuridis-normative sebagaimana nash (Al-Qur’an dan hadis).

Perdebatan penerapan hukum pidana Islam di Indonesia sampai sekarang belum final dan terus menyisakan persoalan. Model seperti apa yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia dengan mengakomodasi kepentingan berbagai golongan, hal ini sangat sulit karena Indonesia merupakan negara yang sangat heterogen.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman sistem norma, terdapat masyarakat yang mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman dahulu dari kebiasaan yang turun-menurun, kebiasaan tersebut disebut dengan hukum adat (customary law, the living law).

Selain itu, mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam dengan didominasi oleh mazhab Syafi’i, agama Islam tersebut menjadi pedoman yang diyakini sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kemudian, Indonesia sebagai negara yang pernah dijajah oleh Belanda turut memengaruhi sistem hukum di Indonesia. Faktor-faktor tersebut menjadikan perdebatan dan ketegangan antara hukum Islam dan formalisasi Perda Syariah di Indonesia.

Kerumitan tidak hanya berhenti pada keanekaragaman hukum yang ada di Indonesia. Melainkan dalam internal umat Islam sendiri memiliki beragam pandangan, pemaknaan terhadap teks-teks syariah memiliki problem tersendiri. Pendapat para ulama (mujtahid) didominasi dengan ikhtilaf (perselisihan, perbedaan pandangan) baik dalam bidang aqidah, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, siyasah, dan berbagai bidang lainnya.

Hukum Islam bersumber pada Al-Qur’an dan hadis, kedua sumber tersebut tidak lahir dalam masyarakat yang hampa, di samping sebagai konsep ilahi yang mengajarkan tentang kebenaran, juga sekaligus menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai segala aspek.

Nash yang bersumber langsung dari Allah tentu tidak dapat diubah, sebab telah hadir sebagai syariat yang merupakan ketetapan langsung dari Allah kepada hambanya agar dapat menjadi majemuk dalam berkehidupan.

Penerapan produk fikih maka perlu penyelesaian diktum hukum serta analisis hukum yang mendalam sehingga aturan fikih yang dapat diberlakukan harus sesuai dengan situasi sosial, agar penerapan hukumnya tidak secara gamblang penerapannya melainkan diinterpretasikan ke dalam bentuk hukum yang dapat diterima oleh masyarakat.

Penerapan hukum itu selalu dipengaruhi oleh perkembangan dinamika dalam kehidupan, hal ini dapat dilihat dari Al-Qur’an dalam menyikapi sanksi pezina. Islam meskipun bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah yang tetap sama dari dahulu, tetapi Islam harus menjadi agama yang relevan sampai kapanpun dan di manapun berada (shalih fikulli zaman wa al-makan).

Oleh karena itu, para pemikir muslim harus mempertimbangkan rasionalisasi prinsip nasakh. Pembacaan teks-teks syariah tidak bisa hanya melihat makna dhahir (letterlijk) karena pada zaman Nabi maupun periode setelahnya Nabi tidak selalu mengkuti nash secara tekstual.

Misalnya dalam Q.S. Al-Maidah: 38 tentang potong tangan bagi pencuri, pada kenyataannya Nabi pernah meminta pencuri mengganti harga buah yang dimakan, bahkan tidak menghukum apa-apa bagi pencuri buah-buahan yang dimakan di tempat jika pemiliknya ikhlas.

Begitu juga pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pernah ada pencuri yang tidak dihukum karena situasi pada saat itu sedang krisis ekonomi.

Seharusnya penerapan Perda Syariah terutama berkaitan dengan hukum pidana Islam (jinayah) dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat harus bersifat obyektif, tanpa membeda-bedakan golongan, ras, agama, dan berbagai perbedaan lainnya.

Dalam obyektifikasi hukum ini perlu diupayakan mengakomodasi prinsip-prinsip syariah sebagai nilai universal tidak hanya diterima oleh umat Islam sendiri, melainkan oleh umat manusia secara umum dan tanpa  mempermasalahkan asal-muasal prinsip dasar tersebut.

Sebenarnya nilai-nilai substansi syariah meliputi: menegakkan keadilan (al-‘adalah), persamaan di hadapan hukum (al-musawa), pemimpin yang amanah, melindungi hak asasi manusia (huquq al-insan), mendorong kebersamaan dan keharmonisan.   

Adapun tujuan utama maqasid al-ahkam adalah membawa seseorang guna mewujudkan kemaslahatan tertutama yang bersifat dharury, mahlahah dharury terdiri dari hifzu ad-din (menjaga agama), hifz an-nafs (menjaga jiwa), hifz al-‘aql (menjaga akal), hifz an-Nasb (menjaga keturunan), dan hiifz al-mal (Menjaga harta).

Berbuhungan dengan kemaslahatan yang mesti diciptakan, jika dilihat dari tingkatan kepentingannya, Imam al-Syatibi membagi maqasid menjadi tiga tingkatan, yaitu al-dharuriyat (primer), al-hajiyyat (sekunder), dan al-tahsiniyyat (tersier).

Perlindungan untuk mewujudkan kemaslahatan lima unsur dalam maslahah dharuriyat tersebut harus diutamakan untuk dilindungi.

Penulis: 

Alfaenawan
Mahasiswa Hukum Kenegaraan UIN Sunan Kalijaga

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.

Al-Munawwar, Said Agil Husin. Keluasaan dan Keluesan Hukum Islam. Semarang: Dina Utama, 1993.

Azizy, A. Qadri. Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum. Jakarta: Teraju, 2004.

Haryono, Anwar. Hukum Islam: Keluasaan dan Keadilannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1968.

Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Mahfud MD, Moh. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.