Dalam beberapa tahun terakhir, nampaknya kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan negara terus menurun. Sebagai Aparatur Negara yang berkewajiban mengayomi serta melindungi warga sipil, oknum TNI maupun Polri malah kerap memberikan contoh yang bertentangan dengan tugas dan wewenang mereka, dapat dilihat dari tindakan-tindakan aparat selama ini.
Salah satu penyebab turunnya kredibilitas yang ada di masyarakat adalah kekerasan yang kerap dilakukan oleh oknum aparat, terlebih lagi kita adalah negara berbentuk demokrasi yang mana supremasi sipil adalah yang tertinggi. Namun, tampaknya hal tersebut seolah dibantah oleh perlakuan oknum aparat, pasalnya berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil seringkali diberlakukan tindakan yang di luar prosedur penertiban.
Proses pengamanan dan penegakan hukum kerap diwarnai kasus kelam dan tindakan represif yang tersebar di media sosial, sehingga memperkuat citra negatif aparat. Padahal, aparat seharusnya melindungi, bukan menjadi aktor penebar ketakutan. Kekerasan oleh oknum dinilai masyarakat tak hanya melanggar HAM, tetapi juga menjadi penyebab utama turunnya kepercayaan publik.
Lain daripada itu, pelanggaran hak asasi bisa menimbulkan kekacauan dalam kehidupan bernegara khususnya yang dirasakan masyarakat sipil. Timbulnya kekejaman oleh aparat juga menyebabkan hierarki di Indonesia menjadi tidak teratur sehingga tatanan sosial dan peraturan yang ada hanya menjadi sebuah teks tertulis saja, bukan menjadi sebuah pedoman.
Kasus Kekerasan oleh Aparat Beberapa Tahun Belakangan
Data dari Amnesty menunjukkan dalam 100 hari kepemimpinan Prabowo terdapat 17 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh TNI maupun Polri. Data yang lain juga menunjukkan hal serupa, menurut data Imparsial dalam Goodstats, telah terjadi 24 kasus kekerasan oleh pihak militer kepada masyarakat pada Januari hingga Oktober tahun 2024.
Dalam BBC News juga disebutkan bahwa selama tiga tahun terakhir sejak 2025, sedikitnya 100 lebih nyawa juga melayang di tangan polisi. Selain itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan 622 kasus kekerasan oleh polisi pada tahun 2022-2023.
Beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat, di antaranya adalah tragedi Kanjuruhan Kabupaten Malang yang terjadi pada tahun 2022, menyebabkan korban meninggal sejumlah 135 jiwa. Ada pula kasus yang terjadi pada tahun 2025, yaitu pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI AL kepada seorang jurnalis.
Serta kasus penembakan yang dilakukan tiga anggota TNI AL kepada bos rental mobil yang terjadi pada 2 Januari 2025. Selain dari ketiga contoh kasus di atas, masih banyak peristiwa kekerasan oleh aparat di berbagai daerah di Indonesia.
Dari beberapa kasus kekerasan yang dilakukan aparat sangat berdampak bagi kepercayaan masyarakat sipil kepada aparat keamanan. Kepercayaan masyarakat yang semakin menurun menyebabkan hilangnya legitimasi untuk aparat keamanan.
Saking banyaknya kasus kekerasan oleh aparat di Indonesia, masyarakat sipil sampai merasa terbiasa karena sering tidak ada konsekuensi yang setimpal dan cenderung tidak ada tindak lanjut, bahkan Aparat TNI/Polri yang melakukan tindakan kekerasan dilindungi oleh sesama aparat dengan melakukan penghilangan barang bukti hingga membuat kronologi palsu dan balik menyalahkan korban. Ini semakin memperbesar ketidakpercayaan publik akibat dari tidak kooperatifnya aparat penegak hukum.
Tindakan Angkuh dan Anti Kritik Aparat
Tindakan anti kritik yang dilakukan oleh aparat terlihat dari beberapa kasus, seperti tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Band Sukatani. Dalam majalah Tempo.co, menyebutkan bahwa Band Sukatani mendapat tindakan intimidasi sejak Agustus hingga akhir tahun 2024, lalu kembali muncul di awal tahun 2025. Sikap intimidasi yang didapat mulai dari pengintaian dan pencarian informasi melalui orang disekitar mereka.
Menurut Tempo, Band Sukatani menarik lagunya yang berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ dan mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Institusi Polri karena perintah dari Siber Polda Jateng.
Baca Juga: Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia
Tindakan tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat menurun, karena aparat kepolisian yang tidak dapat menerima kritikan serta masukan dari masyarakat mengenai kinerjanya yang kerap dianggap tidak sesuai dengan norma dan aturan yang sudah dibuat.
Banyak ditemui di media sosial, seperti Twitter dan TikTok, konten yang berisi tindakan angkuh aparat kepolisian dan TNI yang menyeleweng dari kewenangan yang seharusnya. Beredar banyak video di media sosial menunjukkan ketidakterimaan aparat atas viralnya tagar “Kembalikan TNI ke barak”, tidak sedikit dari mereka menunjukan sifat anti kritik dalam menanggapi satir tersebut.
Mulai dari menyuruh mahasiswa kembali ke kampus hingga melabeli mahasiswa dengan kata ‘mahasewa’. Ini menunjukkan ketidakmampuan aparat dalam memahami maksud kritikan satir tersebut, mereka malah balik menyerang mahasiswa dengan label-label buruk.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Aparat TNI/Polri
Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi persoalan serius yang menggerogoti fondasi keadilan di Indonesia. Berbagai kasus melibatkan oknum aparat, mulai dari praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga tindakan kekerasan yang berlebihan telah melunturkan keyakinan publik akan integritas dan profesionalisme penegak hukum. Dalam laporan Ipsos Global Trustworthines Index 2024 yang mengukur tingkat kepercayaan 32 profesi menunjukkan tingkat ketidakpercayaan terhadap kepolisian di Indonesia mencapai 41%.
Ada pula data dari Survei Posko Presisi Yang diungkapkan oleh Irjen Dadang Hartanto, sebanyak 47,4% masyarakat enggan melaporkan permasalahan kepada Polri. Ini disebabkan banyaknya masyarakat yang laporannya kerap ditolak tanpa alasan oleh Polisi setempat, dilihat dari kasus wanita berinisial S yang melapor kepada damkar setelah laporannya tentang penipuan tenaga kerja ditolak oleh Polsek Cikarang Barat.
Baca Juga: Internet sebagai Hak Asasi Manusia dan Tantangannya di Indonesia
Kasus serupa juga menimpa anak bos rental mobil pada 2 Januari 2025, laporannya untuk meminta pendampingan polisi dalam mengamankan mobil rental yang dibawa kabur oleh pelanggannya, ditolak oleh polsek setempat yang pada akhirnya menyebabkan terbunuhnya sang ayah oleh aparat TNI.
Kasus ini mencerminkan tindakan buruk aparat TNI dan Polri yang menyebabkan hilangnya nyawa dan memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum. Ketidakpercayaan ini terlihat dalam video di akun Instagram mostionpedia, yang menunjukkan generasi muda mendaftar polisi tanpa jiwa nasionalisme dan hanya demi kepentingan pribadi, memicu respons negatif di kolom komentar.
Tercermin dalam RUU TNI yang disahkan akhir-akhir ini juga mendapat banyak kecaman dari masyarakat karena khawatir perluasan wewenang TNI di ranah sipil mengaktifkan dwifungsi ABRI.
Kekhawatiran masyarakat juga didasarkan pada tindakan yang dipertontonkan oleh aparat TNI beberapa waktu lalu. Wewenang TNI di ranah sipil akan membuka kekhawatiran baru masyarakat karena semakin besar wewenang yang diberikan, maka akan semakin besar kesempatan aparat untuk melakukan abuse of power.
Penulis:
1. Adinda Huwaidah A. P.
2. Ahmad Farhan
3. Ayyash Musyari Prawira
4. Damba Adetya Mumpuni
5. Kariana Ratri
Mahasiswa Universitas Brawijaya
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News