Hak asasi manusia merupakan hak yang sudah secara kodrati melekat pada diri manusia dan bersifat universal.
Seiring berkembangnya waktu, pemenuhan hak asasi manusia bergantung atau setidaknya ditunjang oleh penggunaan teknologi dan internet.
Pada tahun 2011, La Rue, pelapor khusus untuk Dewan HAM PBB, mengatakan bahwa internet merupakan alat yang tak dapat dipisahkan untuk mewujudukan hak asasi manusia.
Hak yang dimaksud meliputi hak untuk mengutarakan pendapat dan berekspresi, mendapatkan pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan saat ini harus ditunjang oleh internet.
Masyarakat internasional sudah mengakui betapa krusialnya internet dalam kehidupan sehari-hari.
Di beberapa negara seperti Portugal, Ekuador dan Meksiko, internet sudah terintegrasi dengan Konstitusi sebagai hak yang fundamental bagi warga negaranya.
Baca juga: Menuju Indonesia Bijak Penggunaan Internet
Statistik Penggunaan Internet di Indonesia
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia per 2023 adalah sebesar 215.626.156 jiwa atau sekitar 78,19 persen.
Penggunaan internet meningkat ketika pandemi COVID-19 dan statistik tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 1,17 persen dari tahun 2022. Kendati demikian, penetrasi internet di tiap Provinsi di Indonesia masih belum merata.
Tingkat akses internet tertinggi dipegang oleh Provinsi DKI Jakarta diangka 84.65% yang diikuti oleh Kepulauan Riau 82.4% dan Kalimantan Timur 80.56%.
Persentase akses internet di Provinsi wilayah timur Indonesia masih sangat rendah yaitu Maluku Utara 50.2%, Nusa Tenggara Timur 47.39% dan Papua hanya mencapai 26.32%.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental di Era Digital: Pentingnya Penggunaan Internet yang Bijak
Tantangan di Indonesia
Kebebasan mengutarakan pendapat di satu sisi, dan akses serta penggunaan internet di sisi lain, merupakan kombinasi hak asasi manusia yang solid dan saling melengkapi. Artinya, pemenuhan salah satu hak tersebut bergantung pada hak yang lainnya.
Namun, pelaksanaan di Indonesia masih mengalami tantangan serius, salah satunya karena keberadaan ‘pasal karet’ di dalam UU ITE.
Selain kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk mengakses pendidikan, terutama ketika pandemi COVID-19 menyerang, merupakan sektor yang sangat perlu ditunjang oleh internet.
Contoh yang relatif baru berkenaan dengan tantangan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia adalah kasus TikToker Bima yang mengkritisi pemerintah Lampung.
Tak lama setelah videonya viral, Bima dilaporkan oleh seorang Advokat lokal karena diduga telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (2) dan 45 ayat (2).
Walaupun akhirnya laporan tersebut tidak ditindaklanjuti karena menurut Polda Lampung, tindakan Bima bukan merupakan suatu tindak pidana dalam ranah UU ITE, namun kasus Bima ini menjadi contoh yang sangat relevan ketika berbicara mengenai tantangan di Indonesia.
Selain kasus Bima, menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), pada tahun 2021 terdapat sekitar 38 orang terjerat pasal UU ITE dimana sepuluh diantaranya adalah aktivis dan 5 jurnalis.
Statistik tersebut menguatkan bahwa praktik kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Pasal karet di dalam UU ITE memang sangat meresahkan dan berdampak tidak adil bagi masyarakat.
Disamping kebebasan berpendapat, pemenuhan akses terhadap internet di sektor pendidikan ketika pandemi COVID-19 juga menjadi perhatian.
Dalam forum Universal Periodic Review siklus ke-4, masyarakat internasional menaruh keprihatinannya kepada pemerintah Indonesia yang kurang memfasilitasi internet gratis secara merata bagi warga kurang mampu untuk menunjang proses belajar di rumah selama pandemi.
Dalam forum tersebut pemerintah Indonesia juga disoroti karena sempat memblokir jaringan internet di Papua ketika terjadi kerusuhan sipil.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Digital: Mengapa Penggunaan Internet yang Sehat itu Penting
Apa yang dapat diperbaiki
Internet memegang peranan penting dalam pemenuhan berbagai sektor hak asasi manusia seperti kebebasan berpendapat dan bereskpresi serta mengakses pendidikan.
Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah memiliki landasan-landasan pengaturan hak asasi manusia yang beragam.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, ICESCR) merupakan sekian dari beberapa instrumen hukum yang mengikat Indonesia.
Jika melihat UUD 1945, ICCPR dan ICESCR, pemerintah Indonesia tidak perlu sampai memasukkan akses dan penggunaan internet sebagai hak asasi manusia ke dalam Konstitusi sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara.
Namun, pemerintah (baca: para pembuat kebijakan) harus dapat memfasilitasi pemenuhan hak-hak dasar yang ditunjang oleh internet, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi dan akses pendidikan.
Pembahasan revisi UU ITE yang sedang berlangsung di DPR diharapkan menghasilkan hasil yang baik sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terjerat UU ITE hanya karena mengutarakan pendapatnya.
Selain itu, pemerintah harus menambah dan memperbaiki fasilitas internet, seperti penguatan sinyal atau penyediaan wifi gratis di daerah-daerah pelosok dan di Provinsi-provinsi bagian timur Indonesia.
Tidak hanya pemerintah, kita sebagai warga negara juga harus lebih bijak dalam menggunakan internet sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Dalam konteks berpendapat misalnya, hak kita memang dibatasi oleh hukum dan kepentingan khalayak banyak.
Sebisa mungkin ketika berselancar di internet, kita tidak mengganggu ketertiban umum dan menyebabkan kekacauan. Kemudian di sektor lain (pendidikan), pergunakan internet semaksimal mungkin untuk menunjang proses belajar mengajar.
Penulis: Rafi Nasrulloh Muhammad Romdoni
Mahasiswa Hukum, Universitas Gadjah Mada
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
United Nations Human Rights Council, Compilation of information prepared by the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, A/HRC/WG.6/41/IDN/2, 2022.
United Nations Human Rights Council, Summary of stakeholders’ submissions on Indonesia, A/HRC/WG.6/41/IDN/3, 2022.
Frank La Rue (Special Rapporteur), Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression, U.N. Doc. A/HRC/1 7 /2 7, GENERAL ASSEMBLY UNITED NATIONS HUMAN RIGHTS COUNCIL (May 16, 2011).