Sejarah Musik Rock di Indonesia

Sejarah Musik Rock di Indonesia
Sejarah Musik Rock di Indonesia (Sumber: Penulis)

Musik rock adalah salah satu musik yang terkenal di dunia. Musik rock mencakup berbagai subgenre yang berkembang seiring waktu, seperti punk, glam rock, ska, reggae, grunge rock, dan alternatif.

Rock dibangun dari berbagai akar, dihibrid akan menjadi suatu campuran yang secara bertahap mengambil identitas yang bisa disebut sebagai genre baru.

Akar terdalam rock ada dalam blues, seperti lagu asli “Hound Dog” dari Big Mama Thornton (yang kemudian dibawakan ulang oleh Elvis), tetapi country, western swing, dan rockabilly juga turut berkontribusi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Genre musik rock adalah bentuk hiburan yang awalnya dianggap ringan, namun seiring perkembangan waktu, masyarakat mulai mengambilnya secara serius. Dimulai pada dasawarsa 1950-an, musik rock tumbuh dari pola boogie woogie yang muncul sebagai kelanjutan blues dan akar country.

Dalam konteks musik populer global, rock didominasi oleh vokal, gitar, drum, dan bass, seringkali dengan tambahan instrumen seperti keyboard, piano, atau synthesizer. Ciri khasnya melibatkan ritme kuat dan dominasi gitar, baik elektrik maupun akustik.

Menurut Robert Palmer, dalam tulisannya “Rock Begins” di buku The Rolling Stones Illustrated History of Rock and Roll, menyatakan bahwa musik rock berasal dari perpaduan musik Afrika dan Amerika. Pandangan ini didasarkan pada penelitian Alan Lamox dan John Lamox tentang musik spiritual Afro-Amerika di Mississippi pada tahun 1934.

Piero Scaruffi dalam bukunya A History of Rock Music menjelaskan bahwa musik rock berakar pada rock ‘n roll yang muncul pada pertengahan abad ke-20. Rock ‘n roll sendiri merupakan kombinasi rhythm & blues dan musik country. Rhythm & blues adalah musik orang kulit hitam, sementara country adalah musik orang kulit putih di AS pada tahun 1950-an, berkembang menjadi berbagai gaya pada 1960-an terutama di Inggris dan Amerika.

Musik Rock mulai merambah Indonesia pada dekade 1950-an, dimunculkan melalui film “Rock Around the Clock” dan karya-karya musik Elvis Presley. Pada awalnya, genre musik rock diterima dengan positif dan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda.

Namun, situasinya berubah selama periode Demokrasi Terpimpin. Musik rock dianggap sebagai elemen dari Imperialisme Kebudayaan, suatu pandangan yang diungkapkan oleh Bung Karno dalam pidato “Manipol Usdek” pada tanggal 17 Agustus 1959.

Pernyataan ini kemudian diakui oleh Dewan Pertimbangan Agung pada bulan September 1959 sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Keputusan ini diambil oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh asing.

Musik rock telah menjadi bagian penting dari industri musik di Indonesia sejak tahun 60-an. Namun, perkembangan musik rock di Indonesia mengalami banyak hambatan, terutama dari kaum tua dan pemerintahan, khususnya Presiden Soekarno.

Pada pidatonya tahun 17 Agustus 1959, Soekarno menyebut musik rock sebagai “ngak-ngik-ngok,” dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa. Beliau khawatir perkembangan musik rock akan mengancam keberlanjutan budaya Indonesia, diserap oleh pengaruh Barat yang cemerlang.

Keberatan terhadap rock juga dilihat secara politis, dipandang sebagai imperialisme kebudayaan oleh pejabat-pejabat berhaluan PKI. Pada 17 Agustus 1959, manifesto Manipol USDEK/Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan untuk melindungi kebudayaan bangsa, dengan larangan siaran lagu rock and roll, cha-cha, tango, hingga mambo.

Upaya ini di dukung oleh Lekra, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Lekra berpendapat bahwa musik rock dapat merugikan perkembangan moral dan mental, sehingga Pimpinan Pusat Lekra turut serta dalam menggalakkan langkah-langkah kultural, politis, dan administratif untuk mencegah penyebaran musik yang dianggap ngak-ngik-ngok dan rock ‘n’ roll.

Langkah-langkah ini mencakup beberapa hal seperti:

  1. Larangan penjualan, reproduksi rekaman, dan penjiplakan musik dekaden.
  2. Melarang praktik jual-beli, reproduksi, dan distribusi rekaman-rekaman musik-musik dekaden tersebut. Mendorong toko-toko penjualan piringan dan pita rekaman untuk secara sukarela dan sadar berkontribusi dalam menghentikan penyebaran musik-musik dekaden tersebut.
  3. Memberikan dorongan kepada pemimpin-pemimpin dan anggota band yang biasanya memainkan musik sejenis ngak-ngik-ngok, Beatles, dan twist, agar secara bersama-sama meninggalkan genre musik tersebut dan mengarahkan minat mereka kepada musik yang memiliki sifat nasional dan kultural.
  4. Menyuarakan pentingnya untuk meninggalkan praktik menjiplak musik imperialis yang bersifat dekaden, termasuk menjiplak musik dan lagu-lagu India yang dianggap kurang berdaya dan cenderung romantis.

Akan tetapi semua larangan tersebut justru membuat anak mudah semakin terobsesi dengan musik rock hal ini dibuktikan pada awal tahun 1960-an maraknya musik rock yang merupakan fenomena unik yang melibatkan masyarakat dari seluruh penjuru kota membeli alat musik, membentuk band, dan membawakan lagu-lagu hard rock seperti yang dibawakan oleh Everly Brothers dan The Beatles.

Bahkan dengan pelangan ini, anak-anak Indonesia masih cenderung memakai pakaian berwarna putih dan membeli musik serta lirik berwarna putih. Oleh karena itu, hal ini pada dasarnya merupakan pesan langsung kepada pemerintah mengenai perayaan lokal yang sedang berlangsung. Apalagi masih banyak musisi lokal yang memainkan musik rock, seperti Kus Bersaudara.

Era Orde Baru di bawah Soeharto membawa perubahan, memungkinkan musik rock berkembang sejak akhir 60-an. Meskipun menghadapi hambatan pada awalnya, terutama dari pemerintah dan bahkan Presiden Soekarno yang menggambarkannya sebagai musik ngak-ngik-ngok yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia, semangat untuk memajukan musik rock tetap berkobar.

Musisi rock Indonesia berupaya memasukkan unsur kebudayaan lokal seperti gamelan dan rebana, bahkan mengadaptasi lirik sesuai dengan budaya Indonesia.

Tahun 1967-1970 menciptakan embrio musik rock di Indonesia, dipengaruhi oleh pop culture dari Amerika dan Inggris, serta gerakan generasi bunga. Rocker-rocker pionir seperti God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Super Kid, Terncem, Bentoel, dan Rawe Rontek memainkan peran kunci dalam evolusi musik rock di Indonesia.

Pada tahun 1970, musik rock di Indonesia mulai ditampilkan secara panggung, memenuhi tuntutan penonton akan aksi panggung yang otentik, dan menjadi masa kejayaan musik panggung, dengan konser-konser besar seperti Summer 28 pada 1973, menghadirkan pergelaran musik selama hampir 12 jam.

Akan tetapi konser yang awalnya dimulai pukul 17.00 dan dihentikan sekitar pukul 03.00 karena kerusuhan terjadi setelah pengumuman pembatalan kehadiran AKA. Meskipun pihak keamanan dengan 120 personil dapat mengatasi kerusuhan, konser harus dihentikan.

Penyelenggara, Wim Umboh, menghitung kerugian sekitar 6 juta rupiah, dengan selisih pengeluaran 16 juta dan pemasukan 8 juta. Kerugian utamanya terjadi pada sektor penjualan tiket, di mana meskipun hadir sekitar 15.000 penonton, hanya terjual 6000 tiket.

Meskipun mengalami kerugian, Summer ’28 dianggap sebagai pesta euphoria kebebasan bermusik bagi kaum remaja Indonesia yang sebelumnya terbatas oleh aturan pemerintah pada masa Orde Lama, dan kini diberikan kebebasan pada masa Orde Baru dengan inspirasi dari gerakan generasi bunga Summer of Love.

Pada dasarnya pada tahun 1970-an, grup-grup musik rock tersebut lebih banyak melakukan peniruan terhadap band-band rock dan musisi asal Amerika dan Inggris, seperti Kansas, Deep Purple, Black Sabbath, GranFunk RailRoad, Jim Hendrix, Genesis, Queen, Mick Jaggger, Elton Jhon, Phil Colins dan RodStewart.

Mereka meniru dalam artian menyanyikan lagu-lagunya dan meniru gaya panggung, terkadang unsur barat itu ditiru hanya sebagian saja, namun bisa juga ditiru sepenuhnya. Namun berdasarkan sebuah artikel dalam majalah aktuil, mereka tidak memainkan musik rock, melainkan hanya memainkan musik keras dan ekstrem pada masa itu.

Hal ini dibuktikan pada Pada tahun 1976, terjadi suatu peristiwa penting di kalangan penggemar musik rock di Indonesia. Guruh Soekarno Putra dan band Gipsy menemukan inovasi dalam bentuk musik rock yang baru, menggabungkan unsur musik klasik, rock progresif, dan musik etnik Bali.

Hasil dari perpaduan ini muncul dalam sebuah album baru yang diberi nama Guruh Gipsy, yang mendapatkan sorotan karena keberaniannya dalam mengintegrasikan elemen musik tradisional dengan musik modern. Gombloh & Lemon Trees Anno ’69 juga mengambil langkah serupa dengan memasukkan elemen musik etnik Jawa Timur ke dalam konteks musik Barat.

Beberapa karya Gombloh memiliki genre rock progresif, termasuk lagu seperti Merah Putih Bersilang di Maluku, Nadia & Atmosphere, Tetralogi Fallot, Shillouette Kuda Jantan, dan Hong Wilaheng Sakareng Bawono Langgeng, yang sering disebut sebagai “Rock Jawa” karena penggunaan lirik dalam bahasa Jawa.

Masuk dasawarsa 1980-an, musik Indonesia semakin berkembang dengan pertumbuhan perusahaan rekaman dan maraknya kompetisi band. Festival rock se-Indonesia yang digelar oleh Log Zhelebour Productions menjadi ajang bagi band-band seperti El Pamas dan LCC untuk memperlihatkan kualitasnya.

Masuk era 90-an, industri musik Indonesia lebih condong ke arah musik yang populer di pasar, terutama musik pop melayu yang sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, para produser musik lebih tertarik pada musisi dan grup band yang mengusung aliran pop melayu karena memiliki daya tarik besar di kalangan pendengar dan juga dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan.

Sebaliknya, musisi dan grup musik rock di Indonesia memilih jalur independen atau musik indie, yang ditandai oleh gerakan D.I.Y. yang menghasilkan band-band seperti PAS Band dari Bandung pada tahun 1990.

Mereka mengelola segala aspek secara mandiri, mulai dari produksi hingga distribusi, dengan tujuan untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam dunia musik Indonesia.

Dengan strategi ini, mereka dapat menjaga integritas karya-karya mereka tanpa terpengaruh oleh pertimbangan bisnis semata dan tetap diminati karena memberikan kebebasan eksplorasi dan ekspresi bagi para artis. (Sakrie 2015:151).

 

Penulis:

  1. Berdinus Xanana D. Jogo
  2. Dito Ananda Rizki Zakaria
  3. Kornelius Erwin Banggo
  4. Fizhilalil Al Haq

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI