Sekolah Sudah Banyak, Tetapi Mengapa Kualitas Pendidikan Masih Memprihatinkan?

Kualitas Pendidikan
Sumber foto: istockphoto, Karya: Rani Nurlaela Desandi.

“Pendidikan bukan hanya soal angka dan infrastruktur, tapi tentang menyiapkan manusia yang merdeka berpikir dan bertindak…” (Ki Hajar Dewantara, 2 Mei 1932, dalam pidatonya di Taman Siswa).

Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depan individu dan masyarakat. Delapan dekade telah berlalu sejak gagasan besar itu dikumandangkan, namun wajah pendidikan Indonesia hari ini masih menyisakan tanda tanya besar.

Sekolah memang semakin menjamur di berbagai penjuru negeri. Gedung-gedung dibangun, kurikulum diperbarui, teknologi diperkenalkan.

Tapi benarkah itu semua menjawab persoalan utama pendidikan kita? Mengapa masih banyak siswa yang tertinggal dalam pemahaman dasar, guru yang belum mendapat pelatihan memadai, dan daerah-daerah yang luput dari perhatian? Jika kualitas adalah tujuan utama, maka jumlah semata tak bisa jadi jaminan.

Bacaan Lainnya

Lantas, di mana letak benang kusutnya? Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, pendidikan berkualitas menjadi kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu merenungkan berbagai aspek yang memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia.

Pendidikan berkualitas adalah kunci utama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Dengan pendidikan yang baik, kita bisa membentuk generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, etika yang baik, dan daya saing tinggi.

Sampai hari ini, ketimpangan dalam dunia pendidikan di Indonesia masih menjadi persoalan besar yang belum terselesaikan. Meskipun pendidikan merupakan hak setiap warga negara, kenyataannya belum semua orang mendapat akses yang sama terhadap layanan pendidikan yang layak.

Banyak anak di daerah tertinggal, terluar, dan termiskin yang masih berjuang keras untuk sekadar bersekolah. Bagi mereka, pendidikan bukan hanya soal cita-cita, tapi soal perjuangan untuk mengubah takdir.

Sementara sebagian dari kita mungkin bersekolah dengan mudah, di luar sana masih ada yang harus berjalan kaki berjam-jam menyeberangi sungai, bahkan bertaruh nyawa hanya untuk menuntut ilmu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia baru mencapai 8,69 tahun. Ini artinya, sebagian besar penduduk Indonesia hanya mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP. Angka ini memperlihatkan jurang besar yang masih menganga antara harapan dan kenyataan.

Ketimpangan pendidikan tidak hanya terjadi antara kota dan desa, tetapi juga antara kelompok ekonomi atas dan bawah. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung memiliki akses terbatas terhadap fasilitas pendidikan yang berkualitas, belum lagi beban biaya yang masih menjadi momok menakutkan.

Baca Juga: Integrasi Penelitian dan Pengembangan untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan

Tak sedikit yang harus putus sekolah karena harus membantu orang tua mencari nafkah. Di sisi lain, mereka yang tinggal di kota besar dan berasal dari keluarga berada, memiliki segala kemudahan untuk mengakses pendidikan berkualitas dari sekolah bertaraf internasional hingga bimbingan belajar eksklusif.

Hal ini semakin memperkuat jurang antara yang mampu dan tidak mampu, antara yang mendapatkan pendidikan berkualitas dan yang tidak mendapat kesempatan sama sekali.

Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk mengangkat derajat, bukan memperlebar jurang sosial. Namun sistem pendidikan kita masih banyak dipengaruhi oleh ketimpangan struktural dan ketidakmerataan pembangunan. Sekolah-sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru, fasilitas, bahkan akses transportasi yang memadai.

Di tengah arus digitalisasi, masih banyak anak-anak yang belum tersentuh internet, apalagi memiliki perangkat belajar daring. Kualitas pengajar pun masih menjadi tantangan tersendiri.

Menurut data Kemendikbudristek, masih banyak guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang belum memenuhi kualifikasi akademik minimal atau belum mendapat pelatihan yang memadai. Hal ini tentu berpengaruh besar terhadap kualitas pembelajaran dan capaian belajar siswa.

Pendidikan yang tidak merata ini menyebabkan anak-anak yang tinggal di daerah tertinggal kesulitan bersaing dengan anak-anak dari kota besar.

Bayangkan, bagaimana mereka bisa bersaing dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri atau bersaing di dunia kerja jika sejak awal akses dan kualitas pendidikan mereka sudah sangat timpang?

Baca Juga: Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

Namun, ketimpangan pendidikan tidak hanya soal infrastruktur atau ekonomi. Ada juga masalah ketimpangan kesempatan dan keadilan sosial yang lebih halus namun mendalam. Anak-anak dari kelompok minoritas, penyandang disabilitas, atau yang tinggal di daerah konflik sering kali luput dari perhatian kebijakan pendidikan.

Mereka terpinggirkan dari sistem yang seharusnya melayani semua. Padahal, pendidikan yang berkualitas dan adil seharusnya menjangkau setiap anak, tanpa memandang latar belakang, tempat tinggal, kondisi fisik, atau status sosial.

Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah usaha untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa sistem zonasi yang diterapkan beberapa tahun terakhir justru memperlihatkan kelemahan mendasar dalam infrastruktur dan persebaran mutu sekolah.

Zonasi seharusnya membuat semua sekolah menjadi berkualitas dan merata, namun kenyataannya, siswa yang berada di zona sekolah unggulan tetap lebih diuntungkan. Sementara itu, anak-anak yang berada di zona sekolah yang masih minim kualitas justru tidak punya pilihan lain.

Sistem ini akhirnya justru memerangkap siswa-siswa dari kalangan bawah untuk terus berada dalam lingkaran ketimpangan yang sama. Kebijakan ini mungkin dimaksudkan baik, namun implementasinya masih jauh dari adil karena belum dibarengi dengan pemerataan kualitas antar sekolah.

Baca Juga: Peran Teknologi dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Sebagai generasi muda, kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan ketimpangan ini terus berlangsung. Kita perlu menjadi bagian dari solusi. Mendorong pemerataan pendidikan, baik melalui kebijakan, gerakan sosial, maupun aksi nyata di komunitas masing-masing.

Kita bisa memulai dari hal sederhana: berbagi buku, mengajar adik-adik di sekitar kita, atau sekadar menyuarakan isu ini agar tidak luput dari perhatian publik. Pemerintah juga perlu meninjau kembali kebijakan anggaran pendidikan agar benar-benar berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.

Alokasi dana harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah, bukan berdasarkan pendekatan seragam yang kerap kali mengabaikan konteks lokal.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil harus lebih ditingkatkan agar solusi yang diambil tidak bersifat parsial, melainkan menyeluruh dan berkelanjutan.

Pendidikan adalah kunci perubahan. Namun kunci itu hanya akan berfungsi jika pintunya benar-benar bisa dibuka oleh semua orang. Ketimpangan dalam pendidikan bukan hanya masalah statistik, melainkan tentang masa depan jutaan anak bangsa yang layak mendapat kesempatan yang sama untuk bermimpi dan mewujudkannya.

Jika kita terus membiarkan jurang ini menganga, maka kita sedang membiarkan masa depan bangsa terpecah menjadi dua: mereka yang mendapatkan kesempatan, dan mereka yang tidak pernah diberi pilihan.

Di sinilah kita harus sadar bahwa pendidikan yang merata dan adil bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga fondasi bagi keberlanjutan bangsa.

Penulis: Kelompok Health Force 1
1. Feren Hallatu-2451240
2. Leo syaputra -2412047
3. Syauqi maulana yusuf sunjaya – 2451164
4. Tri Wahyudi,2446041
5. Natsariya Homchan 2446039
6. Noodnida Dechsathian 2446035
7. Rumondang Enjelita Marbun _ 2442181
8. ⁠Naila Nasywa – 2441364
9. Nurul Rohmah – 2411065
10. Linda lestari Tampubolon – 2442185
11. ⁠Reyhansyah Gozanno Bintana – 2451159
12. ⁠Maudyna Alya Nazalla – 2411061
13. ⁠Muhammad Dhani – 2411060
14. Ridho Afrinaldi – 2411069
15. Robby Cahyo Nugroho-2441401
16. ⁠Santina Betania Kesaulya – 2451145
17. Farel Haical Fais Simatupang – 2446030
18. muliyana sari dewi-2411077-
19. Eluzi Samuel Untung Simanungkalit -2446026-
20. Lam Jeen Sin Anthony – 2432070
21. Edric Heri Abdiwijoyo -2451163-
22. M Fahrur Risqan Hadinata – 2431208
23. ⁠Dayang amanina nalingga – 2432071
24. Handen Andyson – 2432073
Mahasiswa Universitas Internasional Batam

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses