Silenced Sisters: Represi Perempuan di Korea Utara

Silenced Sisters
Ilustrasi Silenced Sisters (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran saat mendengar kata Korea Utara?

Komunisme. Rezim diktator. Sosialis. Nuklir. Upaya denuklirisasi. Tapi, apakah ada kata lain yang terbersit? Pernahkah terlintas dalam pikiran kalian mengenai nasib para perempuan di Korea Utara?

Terlepas dari isu denuklirisasi, pernahkah terlintas di pikiran kalian mengenai kesetaraan gender di Korea Utara yang “katanya” sudah tercapai sepenuhnya?

Bacaan Lainnya
DONASI

Saat ini, dunia sedang sibuk dan lebih fokus pada upaya denuklirisasi Korea Utara hingga isu hak asasi manusia seringkali dilupakan.

Para pejabat Demokratik Republik Korea Utara (DPRK) mengklaim bahwa negaranya sudah mencapai kesetaraan gender.

Namun faktanya, hak asasi perempuan dan anak di Korea Utara seringkali dilanggar, mulai dari kekerasan seksual, diskriminasi hingga mengakarnya stereotip atas gender.

Korea Utara adalah sebuah negara dengan nilai tradisional konfusius yang erat dengan budaya patriarki.

Budaya ini melihat bahwa perempuan sebagai klaster gender kedua dan laki-laki yang pertama, perempuan yang baik dilihat berdasarkan kesucian dirinya secara seksual dan bagaimana patuhnya terhadap kedudukan laki-laki baik dalam masyarakat dan rumah tangga.

Hal ini menyebabkan diskriminasi dan kekerasan baik dalam rumah dan lingkungan ini sebagai sesuatu yang normal dan wajar.

Perempuan dianggap sebagai “caregiver”, dibuktikan dengan dominasi perempuan sebagai guru di sekolah-sekolah. Meski posisi guru didominasi perempuan, keputusan tetap berada di tangan guru laki-laki.

Hal ini seringkali terjadi dalam ruang kelas, murid laki-laki akan selalu dipilih menjadi pemimpin kelas dibandingkan murid perempuan meskipun jumlah murid perempuan lebih banyak dari murid laki-laki.

Perbuatan-perbuatan kecil inilah yang menunjukkan betapa diskriminasi gender dan stereotip gender dinormalisasi, sehingga akan sulit bagi perempuan di Korea Utara untuk keluar dari jerat represi yang ada secara struktural.

Normalisasi kekerasan dan diskriminasi ini menyebabkan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT seringkali tidak diindahkan di Korea Utara dengan dalih bahwa urusan rumah tangga adalah ranah privat yang tidak dapat dicampuri oleh negara.

Tidak hanya dalam ranah privat, berdasarkan data yang didapat dari Special Rapporteur PBB pada awal tahun 2023, para tahanan perempuan juga mendapatkan tindak kekerasan dari aparat.

Tindakan kekerasan bervariasi dari kekerasan seksual, penyiksaan hingga perampasan makanan yang seharusnya menjadi hak setiap orang.

Data yang dikeluarkan oleh Elizabeth Salmon, special rapporteur PBB, menyatakan bahwa pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi penyebab meningkatnya angka KDRT di Korea Utara, namun juga memberikan dampak yang tidak proporsional bagi perempuan hingga mengancam akses mereka terhadap makanan, obat-obatan, dan layanan kesehatan.

Seperti yang kita ketahui, Korea Utara terkenal dengan militernya dan banyak pula perempuan yang masuk dalam ranah militer ini dengan harapan untuk memperbaiki kehidupannya.

Masyarakat Korea Utara percaya bahwa bergabung dengan Partai Pekerja Korea (Worker’s Party of Korea) adalah salah satu jalan untuk memperbaiki kehidupan dan mencapai kesuksesan. Namun, kekerasan ternyata juga banyak terjadi dalam ranah latihan militer ini.

Seringkali para perempuan muda yang baru bergabung dimanipulasi, dilecehkan, dan diancam bahwa jika mereka melaporkan pelecehan yang terjadi, berarti mereka harus mengucapkan selamat tinggal pada peluang untuk memperbaiki kehidupan.

Sehingga, para perempuan ini memutuskan untuk bungkam demi masa depan yang lebih baik.

Tidak sampai situ saja, hak perempuan untuk mendapatkan akses pada sanitasi yang memadai juga tidak diberikan. Pada saat menstruasi, para tentara perempuan diberikan pembalut luka sebagai pengganti pembalut.

Sedangkan, rakyat sipil perempuan bahkan tidak mendapat akses pada pembalut, mereka harus menggunakan bekas kaus kaki atau potongan baju laki-laki sebagai ganti pembalut.

Akses perempuan terhadap pembalut dibatasi, belum lagi kontrasepsi. Jika seorang perempuan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), mereka akan disalahkan, apapun alasannya.

Stigma masyarakat yang buruk terhadap KTD membuat para perempuan ini melakukan berbagai upaya aborsi, meski berbahaya, seperti mengencangkan ikat pinggang tentaranya untuk menyembunyikan perut hamilnya, melompat atau berguling dari perbukitan tinggi dan lainnya. Seringkali ditemukan bayi hasil KTD yang dibuang dalam toilet kamp militer.

Permasalahan gender di Korea Utara ini begitu banyak. Pada tahun 2016, saat komite CEDAW meninjau Korea Utara, pejabat Korea Utara bahkan tidak paham dengan istilah “marital rape” dan beliau juga berpendapat bahwa hukuman bagi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh atasan seharusnya lebih ringan daripada hukuman bagi kasus pemerkosaan yang melibatkan kekerasan fisik.

Hal ini dikatakan dengan dalih bahwa kasus pemerkosaan oleh atasan dampaknya lebih kecil bagi korban. Permasalahan gender ini begitu dalam dan bahkan Korea Utara sendiri tidak mengenal istilah kekerasan seksual sehingga perempuan selalu disalahkan jika ada kasus-kasus serupa.

Meskipun Korea Utara namanya menjadi besar setelah upaya denuklirisasi dan persahabatannya dengan Amerika Serikat dalam upaya militer dan lainnya, banyak kasus menyedihkan lainnya yang bertengger di balik bayang-bayang militer.

Denuklirisasi adalah sebuah langkah maju bagi Korea Utara, tapi jangan lupakan hak asasi manusia yang paling penting dalam mendorong upaya pemajuan suatu bangsa.

Penulis: Janice Elysia
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Udayana

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI