Oleh: Firda Auliyah Anggraeni
Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi UIN Sunan Ampel Surabaya
Pandemik Covid-19 telah memberikan dampak yang sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan. Selain berdampak ekonomi, psikologis kita juga dihantui oleh ketakutan yang sebagian orang bahkan menimbulkan depresi. Di sisi lain kita dituntut untuk melakukan social distancing untuk mencegah penularan.
Kita dituntut untuk berdiam diri di rumah. Bahkan bagi yang terinfeksi diharuskan melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Karantina akan meningkatkan kecemasan, dan isolasi dapat menyebabkan depresi . Kondisi semakin tertekan karena budaya kita yang terbiasa menjalin relasi sosial dengan orang lain harus dibatasi. Padahal dalam situasi yang mencemaskan ini, kita membutuhkan orang lain untuk saling membantu. Kita tidak bisa sendirian. Kita membutuhkan dukungan orang lain untuk menghadapi wabah ini. Latar belakang sosial budaya, psikologis, ditambah dengan tuntutan mencari nafkah keluarga membuat aturan social distancing belum sepenuhnya diikuti oleh masyarakat.
Ini bisa kita dibuktikan melalui fakta bahwa masih banyak anggota masyarakat yang beraktifitas seperti biasa seperti sebelum terjadinya wabah. Kondisi ini hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Lemahnya penerapan social distancing di Indonesia disebabkan civic engagment yang lemah (Perkasa,2020). Menurut Perkasa Setetidaknya ada 6 faktor yang menyebabkannya, yakni;
- Masyarakat belum merasakan keseriusan wabah penyakit ini,
- Kebijakan antara pusat dan daerah yang belum sinkron,
- Adanya pembangkangan dari beberapa orang pejabat daerah,
- Relasi antara pemerintah dan non-pemerintah yang belum sinergi,
- Ketiadaan sanksi bagi yang melanggar,
- Tingkat trust masyarakat terhadap pemcrintah yang masih lemah.
Pendapat ini menggambarkan bahwa untuk menegakkan social distancing saja kita butuh untuk bersatu, bukan berpisah.
Lantas, Bagaimana Seharusnya Menghadapi Pandemik ini dalam Konteks Hubungan Sosial?
Pertama, social distancing harus dirubah dengan physical distancing (pembatasan fisik). Istilah yang disebutkan kedua mengandung makna bahwa hanya badan atau fisik kita yang terpisah dengan orang lain. Secara sosial masih memperbolehkan untuk berkomunikasi seperti menjaga jarak minimal 2 meter dengan orang lain. Jadi, kita masih bisa bertemu dengan orang lain untuk menanyakan keadaannya atau sekedar berbagi informasi dengan jarak tatap muka minimal 2 meter. Penggunaan istilah physical distancing juga bertujuan untuk membangun pemikiran dalam masyarakat kita bahwa hubungan sosial atau kerjasama tidak boleh dibatasi karena relasi sosial yang akan menguatkan masyarakat dalam membasmi wabah ini. Secara lebih luas mengartikan bahwa, meskipun negara-negara yang terdampak di seluruh dunia terpisah jarak, bukan berarti tidak melakukan kerjasama. Kunci dari penanganan wabah ini adalah kerjasama seluruh masyarakat global.
Kedua, mendekatkan jarak melalui pemanfaatan teknologi. Kita masih patut bersyukur, perkembangan teknologi komunikasi saat ini sudah sangat maju. Selain dapat berkomunikasi suara melalui jarak jauh dengan telepon, kita juga dimudahkan dengan bertatap muka secara langsung melalui video. Fasilitas ini akan menutupi hambatan berkomunikasi yang diakibatkan olch pemisahan jarak fisik. Dalam bidang ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan melalui penyediaan fasilitas yang terjangkau. Pemerintah misalnya dapat memberikan stimulus berupa subsidi layanan intemet dan listrik untuk menjaga masyarakat tetap terhubung dan berbagi informasi tentang Covid-19.
Ketiga, mengkampanyekan social engagment (keterlibatan secara sosial). Seperti dibahas sebelumnya bahwa masyarakat perlu bekerjasama dalam menghadapi wabah Covid-19. Masyarakat harus didorong untuk saling membantu dalam situasi ketidakpastian ini. Masyarakat misalnya tidak boleh membiarkan tetangganya kelaparan karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Masyarakat juga harus mengingatkan orang lain untuk selalu mematuhi himbauan pemerintah seperti menjaga kebersihan dan menggunakan masker saat keluar rumah. Begitu pula dengan pemerintah, harus lebih giat mengkampanyekan social engagment melalui pembatasan fisik kepada masyarakat.
Keempat, pemerintah harus mendapatkan kepercayaan yang tinggi. Banyak pihak yang memberikan kritik kepada pemerintah karena terlalu lamban dalam penanganan Covid-19. Kebijakan pemerintah juga terkadang tumpang tindih antara pusat dengan daerah, yang kemudian mereduksi kepercayaan terhadap pemerintah. Olch sebab itu, pemerintah, khususnya pemerintah pusat harus mengambil kembali perannya sebagai pihak, yang paling didengarkan masyarakat dalam melawan Covid-19. Pemerintah harus měnjadi “nabi” dalam penangangan Covid-19 terutama dalam penerapan pembatasan fisik.
Terakhir, kelima, interaksi sosial harus memunculkan optimisme. Setiap elemen masyarakat harus menguatkan optimisme pada diri sendiri maupun terhadap orang lain. Kita harus meyakini bahwa pandemik ini akan dapat dilalui. Sejarah membuktikan bahwa setiap pandemik wabah penyakit akan dapat diatasi oleh umat manusia. Meminjam konsep Amold van Gennep, pandemik Covid-19 ini harus dimaknai sebagai bagian pcralihan dari sebuah status menuju status yang lain. la membagi tahap peralihan tersebut menjadi tiga yakni; separation (pemisahan), transition (peralihan), incorperation (penggabungan) . Kondisi saat ini merupakan tahap separation yang membuat kita mulai berbeda dengan kebiasaan kita sebelumnya. Dalam pandangan Gennep, proses peralihan itu merubah seseorang menjadi lebih dewasa. Maka pandemik Covid- 19 harus dimaknai sebagai proses pendewasaan kita menjadi lebih baik lagi hubungan kita dengan alam. Bahkan menjaga jarak dengan orang lain terutama dengan orang yang kita cintai perlu dilakukan, agar kita dapat merasakan betapa pentingnya orang lain untuk kita.