Spiritualitas Sufistik sebagai Fondasi Makna Hidup pada Generasi Z: Kajian Literatur Psikologi Tasawuf

Spiritualitas Sufistik sebagai Fondasi Makna Hidup pada Generasi Z: Kajian Literatur Psikologi Tasawuf
Sumber: freepik.com

Abstract

The meaning-of-life crisis in Generation Z has become increasingly prominent amidst rapid technological development and complex social pressures. Although this generation has extensive access to education and digital connectivity, many of them experience existential confusion, inner emptiness, and mild to severe psychological disorders. This research aims to examine the potential of Sufistic spirituality as the foundation of a deep meaning of life for Generation Z. Through a qualitative approach based on a literature study, the author integrates theories of meaning of life in psychology, such as Viktor Frankl’s logotherapy and Paul Wong’s PURE model, with key concepts of Sufism, including tazkiyatun nafs, ma’rifatullah, and muraqabah. The results of the analysis show that Sufistic values are in line with the psychological needs of Generation Z in the search for meaning, inner peace, and transcendent life orientation. This article makes a theoretical contribution to the development of a contemporary Islamic psychology approach that is more relevant to the challenges of the times.

Keywords: meaning of life, generation Z, Sufism, Islamic spirituality, Sufism psychology

Abstrak

Krisis makna hidup pada generasi Z semakin mencuat di tengah cepatnya perkembangan teknologi dan tekanan sosial yang kompleks. Meski generasi ini memiliki akses luas terhadap pendidikan dan konektivitas digital, banyak dari mereka mengalami kebingungan eksistensial, kekosongan batin, hingga gangguan psikologis ringan hingga berat. Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi spiritualitas sufistik sebagai fondasi makna hidup yang mendalam bagi generasi Z. Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi pustaka, penulis mengintegrasikan teori-teori makna hidup dalam psikologi, seperti logoterapi Viktor Frankl dan model PURE oleh Paul Wong, dengan konsep utama tasawuf, termasuk tazkiyatun nafs, ma’rifatullah, dan muraqabah. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai-nilai sufistik sejalan dengan kebutuhan psikologis generasi Z dalam pencarian makna, ketenangan batin, dan orientasi hidup yang transenden. Artikel ini memberikan kontribusi teoretis terhadap pengembangan pendekatan psikologi Islam kontemporer yang lebih relevan dengan tantangan zaman.

Kata kunci: makna hidup, generasi Z, tasawuf, spiritualitas Islam, psikologi tasawuf

Bacaan Lainnya

Latar Belakang

Generasi Z—kelompok usia yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—hidup dalam lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh teknologi, individualisme, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Meskipun mereka dikenal adaptif secara digital, berbagai studi menunjukkan bahwa generasi ini juga paling rentan terhadap tekanan psikologis, perasaan hampa, dan krisis makna (Twenge, 2017; Arnett, 2004). Mereka sering merasa kehilangan arah, mengalami quarter-life crisis, dan menunjukkan minat terhadap spiritualitas non-formal sebagai jalan pencarian batin (Steger et al., 2006).

Dalam psikologi, makna hidup terbukti memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan mental. Frankl (2006) dalam logoterapinya menyebut krisis psikologis sebagai bentuk kekosongan eksistensial ketika individu kehilangan nilai, tujuan, dan arah hidup. Model PURE oleh Wong (2010) menekankan bahwa makna hidup terdiri dari unsur purpose (tujuan), understanding (pemahaman), responsibility (tanggung jawab), dan enjoyment/evaluation (kenikmatan dan refleksi).

Sementara itu, dalam khazanah spiritualitas Islam, tasawuf hadir sebagai tradisi kontemplatif yang menawarkan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), kesadaran akan Tuhan (ma’rifatullah), dan penyerahan diri yang mendalam (tawakkal). Konsep-konsep ini sangat potensial untuk menjawab kegelisahan batin generasi Z yang haus akan makna dan keutuhan psikologis (Lubis, 2013; Nasr, 2006). Oleh karena itu, kajian ini penting untuk menggali bagaimana integrasi antara psikologi dan tasawuf dapat membuka jalur baru dalam membina kebermaknaan hidup bagi generasi Z.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research). Pendekatan ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu melakukan eksplorasi dan analisis konseptual terhadap makna hidup dari perspektif psikologi dan tasawuf, khususnya dalam konteks relevansinya terhadap generasi Z. Studi pustaka memungkinkan peneliti untuk menelaah secara mendalam berbagai literatur teoritis dan empiris yang relevan, tanpa melibatkan partisipan secara langsung.

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran sumber-sumber ilmiah, seperti buku, jurnal nasional dan internasional bereputasi, artikel ilmiah, serta karya klasik keislaman yang memuat konsep-konsep sentral dalam tasawuf, seperti tazkiyatun nafs, ma’rifatullah, muraqabah, dan tawakkal. Selain itu, teori-teori psikologi tentang makna hidup seperti logoterapi Viktor Frankl, Model PURE oleh Paul Wong, serta berbagai studi terkait kesejahteraan psikologis generasi Z juga menjadi fokus kajian.

Sumber-sumber tersebut dianalisis secara tematik dengan pendekatan analisis isi (content analysis), untuk mengidentifikasi keterkaitan antara nilai-nilai sufistik dan kebutuhan psikologis generasi Z dalam pencarian makna hidup. Proses analisis dilakukan secara interpretatif dan reflektif, dengan mengedepankan keterpaduan antara wacana psikologi kontemporer dan khazanah spiritual Islam.

Hasil dan Pembahasan

1. Makna Hidup dalam Perspektif Psikologi

Makna hidup adalah salah satu elemen fundamental dalam kesejahteraan psikologis manusia (Steger et al., 2006). Frankl (2006), dalam pendekatan logoterapinya, menyatakan bahwa pencarian makna merupakan motivasi utama dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang gagal menemukan makna, ia mengalami kekosongan eksistensial, yang dapat berdampak pada gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan perasaan hampa. Dalam konteks ini, logoterapi berfokus pada kemampuan individu untuk menemukan makna bahkan dalam penderitaan atau keterbatasan, yang kemudian menjadi dasar ketahanan psikologis.

Model lain yang relevan adalah PURE (Purpose, Understanding, Responsibility, Enjoyment) yang dikembangkan oleh Wong (2012). Model ini menyatakan bahwa makna hidup terdiri dari empat elemen utama: (1) purpose sebagai arah dan tujuan, (2) understanding sebagai kemampuan merefleksi dan memahami pengalaman hidup, (3) responsibility sebagai rasa tanggung jawab terhadap hidup dan nilai yang dipilih, dan (4) enjoyment/evaluation sebagai kepuasan emosional dan evaluasi terhadap kehidupan yang dijalani. Steger (2012) menambahkan bahwa mereka yang memiliki makna hidup tinggi cenderung memiliki kesehatan mental lebih baik, harapan hidup lebih tinggi, dan daya tahan terhadap stres yang lebih kuat.

2. Generasi Z dan Krisis Spiritualitas

Generasi Z tumbuh dalam dunia yang sangat digital, cepat berubah, dan sarat tekanan sosial. Studi oleh Twenge (2017) menemukan bahwa meningkatnya paparan media sosial, penurunan kualitas hubungan interpersonal, dan ekspektasi karier yang tinggi turut berkontribusi pada meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi pada generasi ini. Data dari World Health Organization (2021) juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental pada remaja dan dewasa muda terus meningkat secara global, terutama terkait krisis identitas dan kehilangan makna hidup.

Fenomena seperti quarter-life crisis (Robinson, 2019) menjadi bukti bahwa Generasi Z tengah mengalami tantangan psikologis unik. Mereka kerap merasa kehilangan arah, meragukan pilihan hidup, dan merindukan nilai-nilai yang lebih dalam dan transenden. Dalam banyak kasus, solusi duniawi seperti pencapaian akademik, kesuksesan finansial, atau popularitas digital terbukti tidak cukup untuk mengisi kekosongan makna. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan pendekatan yang tidak hanya psikologis, tetapi juga spiritual.

3. Tasawuf sebagai Fondasi Spiritualitas Makna

Tasawuf atau sufisme menawarkan struktur nilai dan praktik spiritual yang mendalam. Konsep seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah), dan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Tuhan) memberikan dasar kuat bagi individu dalam membangun makna hidup yang lebih dalam dan transenden (Haidar, 2015; Lubis, 2013).

Ma’rifatullah, misalnya, dapat diartikan sebagai pengenalan terhadap realitas tertinggi yang menjadi sumber dari segala keberadaan. Bagi seorang sufi, mengenal Tuhan bukan hanya aspek kognitif, tetapi juga afektif dan eksistensial, yang mampu menenangkan batin dan memberi arah pada kehidupan (Nasr, 2006). Generasi Z yang sering mengalami disconnection dari makna besar kehidupan dapat menemukan kembali arah dan jati diri melalui kesadaran spiritual yang dibentuk dari prinsip ini.

Konsep muraqabah—yaitu kesadaran bahwa Tuhan senantiasa hadir dan mengawasi—dapat menumbuhkan mindfulness dalam versi Islam, yang terbukti dalam banyak studi memiliki efek positif pada kesehatan mental, penurunan stres, dan peningkatan regulasi emosi (Al Zahrani, 2020; Kabat-Zinn, 2003). Muraqabah juga dapat memfasilitasi refleksi diri yang lebih dalam, membantu individu mengenali dorongan duniawi yang tidak membawa kepuasan hakiki, serta mengarahkan fokus batin ke dimensi spiritual yang lebih tinggi.

Selain itu, tazkiyatun nafs menjadi proses transformasi diri yang berkelanjutan. Dalam era yang penuh distraksi dan narsisisme digital, proses penyucian jiwa membantu individu menyadari keterbatasan ego dan mengembangkan nilai-nilai luhur seperti kesabaran, syukur, keikhlasan, dan cinta Ilahi (Azzam, 2014). Proses ini sejalan dengan pendekatan humanistik dalam psikologi yang menekankan aktualisasi diri sebagai jalan menuju kehidupan bermakna (Maslow, 1943; Rogers, 1961), namun dengan pendekatan sufistik yang lebih spiritual dan transenden.

4. Integrasi Psikologi Positif dan Tasawuf

Nilai-nilai tasawuf memiliki kesesuaian yang tinggi dengan prinsip-prinsip psikologi positif, seperti pencarian makna, ketahanan mental, dan kesejahteraan holistik (Syamsuddin, 2019). Tasawuf tidak hanya menenangkan jiwa, tetapi juga memberi struktur hidup yang terarah, mendalam, dan berorientasi pada cinta serta pengabdian kepada Tuhan. Penelitian oleh Hasanah dan Haris (2021) menunjukkan bahwa pendekatan sufistik mampu meningkatkan kualitas hidup mahasiswa yang mengalami kecemasan eksistensial.

Dengan demikian, spiritualitas sufistik dapat dipahami sebagai jembatan antara dimensi psikologis dan spiritual. Bagi Generasi Z, pendekatan ini dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kekosongan eksistensial yang tidak bisa diatasi dengan strategi coping konvensional. Integrasi psikologi tasawuf ke dalam praktik konseling atau pendidikan karakter dapat menjadi strategi jangka panjang dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan psikologis.

 

Penulis: Geanida Syakirina Velizia
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

Dosen Pengampu: Muhammad Abdul Halim Sani

 

Daftar Pustaka

Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.

Arnett, J. J. (2004). Emerging Adulthood: The Winding Road from the Late Teens Through the Twenties. Oxford University Press.

Hanif, S. I., & Widiasari, A. R. (2024). Peran Spiritualitas dalam Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Pada Generasi Z. Jurnal Psikologi Insight, 8(2), 139-146.

Steger, M. F., Frazier, P., Oishi, S., & Kaler, M. (2010). Meaning in life questionnaire. Journal of Applied Gerontology.

Wong, P. T. (2013). From logotherapy to meaning-centered counseling and therapy. In The human quest for meaning (pp. 619-647). Routledge.

Harahap, M. Y., & Ependi, R. (2023). Tazkiyatun Nafs Dalam Membentuk Akhlakul Karimah. PT. Green Pustaka Indonesia.

Nasr, S. (2012). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam Mystical Tradition.

Isgandarova, N. (2019). Muraqaba as a mindfulness-based therapy in Islamic psychotherapy. Journal of religion and health, 58(4), 1146-1160.

Muthoifin, M., & Lestari, P. D. (2022, July). The Concept of the Soul (Tazkiyatun Nafs) and Its Influence in the View of the Qur’an Surah al-Shams. In Prosiding University Research Colloquium (pp. 141-152).

Habibah, A. N. (2025). KOPING RELIGIUS SEBAGAI SOLUSI STRES AKADEMIK MAHASISWA TASAWUF DAN PSIKOTERAPI UINSA. Jurnal Pendidikan Integratif, 6(2).

Kabat-Zinn, J. (2003). Mindfulness-based interventions in context: past, present, and future.

Robinson, O. C. (2019). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging adulthood, 7(3), 167-179.

Wong, P. T. (2013). From logotherapy to meaning-centered counseling and therapy. In The human quest for meaning (pp. 619-647). Routledge.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses