Sejak lama, Laut China Selatan menjadi sumber ketegangan dan konflik antara Filipina dengan negara-negara lain di kawasan tersebut seperti Tiongkok, Vietnam, dan Malaysia.
Konflik ini telah berlangsung lebih dari 30 tahun, dimulai dari ketegangan Laut China Selatan pasca perang dunia II saat China mengumumkan peta wilayah kedaulatannya dan menaruh klaim atas wilayah kepulauan Spartly, Paracels, dan Pratas.
Laut China Selatan sendiri memiliki arti dan peran geopolitik yang cukup besar karena posisnya sebagai wilayah pertemuan antara China dengan negara-negara yang berbatasan lainnya.
Sengketa Laut China Selatan dianggap sebagai konflik antar regional karena China yang masuk ke dalam regional Asia Timur juga masuk ke dalam wilayah yang disengketakan oleh negara-negara di regional Asia Tenggara, sehingga membuat keadaan keamana kedua regional ini memanas.
Konflik dengan skala kecil terjadi akibat dari memanasnya situasi Laut China Selatan, dimulai dari konflik militer yang terjadi antara China dan Vietnam, hingga Taiwan dan empat negara ASEAN lainnya, yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia sebagai pihak-pihak yang bersengketa.
Persengketaan ini membawa respon negara-negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, yang dalam konflik sengketa Laut China Selatan ini secara tegas mengritik China akan klaim sepihak atas wilayah teritorialnya.
AS menganggap bahwa Tindakan China telah melangkahi aturan Internasional. Keterlibatan AS dalam konflik Laut China Selatan semakin besar hingga akhirnya Angkatan Laut Amerika Serikat mengirim kapal perusak yang disertai pesawat pengintai ke wilayah pulau buatan China di Laut China Selatan, hal ini membuat China menganggap sikap yang dilakukan oleh AS sebagai tindakan illegal yang memprovokasi.
Penyelesaian konflik sengketa Laut China Selatan secara damai telah sering dilakukan melalui pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF), meski dalam forum ini berhasil membuat China untuk berdiskusi namun tidak berhasil membuat China berhenti melakukan klaim atas wilayahnya di Laut China Selatan.
Klaim China atas kepemilikan wilayah Laut China Selatan sejak 1970-an sendiri didasarkan pada tiga aspek, yaitu ekonomi, politik, serta pertahanan dan keamanan.
Kebutuhan China akan energi terutama minyak membuatnya memanfaatkan Laut China Selatan sebagai tempat memperoleh sumber minyak yang baru sekaligus jalur lalu lintas perdagangan.
Meski jumlahnya belum pasti namun China tetap membutuhkan Laut China Selatan untuk menopang kebutuhan dalam negerinya.
Dalam politik, klaim China berkaitan dengan strategi politik luar negerinya terhadap negara-negara di Asia Tenggara.
Laut China Selatan sebagai teritorial China untuk memproyeksikan peranan strategisnya secara nyata. Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan China untuk mempertegas kembali perannya sebagai negara besar dalam skala regional.
Klaim China dalam bidang pertahanan dan keamanan tidak jauh kaitannya dengan kesalahan pengalaman masa lalu atas kurangnya perhatian pada potensial laut.
Dalam hal ini, lemahnya kekuatan laut China menjadi peluang yang dapat mengakibatkan pembagian wilayah China ke dalam penguasaan asing.
Lebih dari itu, klaim China atas Laut China Selatan juga erat kaitannya dengan niat China memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang kuat tidak hanya dalam skala regional tetapi juga internasional.
Filipina, dalam konflik persengketaan ini sebagai negara yang memiliki kepentingan signifikan dalam Laut China Selatan karena wilayah teritorial dan perairannya yang berbatasan dengan wilayah Laut China Selatan, termasuk di antaranya Kepulauan Spratly secara aktif melakukan upaya pertahanan wilayahnya atas Laut China Selatan.
Kekhawatiran kuat Filipina akan klaim kedaulatan membuat negara ini secara aktif mengadopsi berbagai strategi diplomasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Pada tahun 2013, Filipina membawa sengketa perairan ke Mahkamah Arbitrase Internasional di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) sebagai hukum internasional.
Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional kemudian memutuskan bahwa China tidak memiliki klaim kedaulatan historis atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan dan bahwa klaim China atas wilayah tersebut bertentangan dengan UNCLOS.
Meskipun Tiongkok menolak keputusan tersebut, upaya Filipina dianggap sebagai tindakan diplomatik penting dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan.
Pengajuan sengketa perairan ke Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2013 menunjukkan komitmen Filipina untuk menyelesaikan sengketa tersebut dengan cara yang adil dan berdasarkan hukum internasional.
Keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang menguntungkan Filipina juga menunjukkan bahwa pendekatan hukum dapat menjadi cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa perairan.
Filipina telah bekerja sama dengan negara-negara lain di kawasan, serta Amerika Serikat untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menangani sengketa Laut China Selatan dan mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.
Filipina memanfaatkan hubungan ini untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dalam mengatasi konflik di Laut China Selatan.
Filipina juga telah mendorong negosiasi dan dialog untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mekanisme regional seperti KTT ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dan East Asia Summit, serta Prosedur Kode Etik di Laut China Selatan (COC).
Melalui diplomasi ini Filipina dapat memperkuat posisinya sebagai negara di wilayah ASEAN dan memperkuat solidaritas ASEAN dalam mengatasi permasalahan regional.
Keterlibatan Filipina dalam mengajukan negosiasi diatas, menunjukan komitmen mereka untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Filipina memiliki posisi yang tegas dalam sengketa Laut China Selatan dan berusaha untuk mempertahankan hak-haknya di wilayah tersebut sesuai dengan hukum internasional.
Namun, meski Filipina telah mengambil tindakan diplomasi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan, sengketa tersebut masih belum terselesaikan dan ada kekhawatiran bahwa China masih berupaya untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, Filipina harus terus mempertahankan posisinya dan bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan dengan cara yang adil dan berdasarkan hukum internasional.
Penulis: Kayla Ariyanti Nandini
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi