Tanggapan Ulama tentang Hadis Mayyit Disiksa karena Tangisan Keluarganya

Islam
Ilustrasi: istockphoto

Kebanyakan orang ketika ditimpa musibah berupa kematian, karena rasa simpati, mereka yang ditinggalkan menangisi mayyit secara berlebihan. Menangisi mayyit secara berlebihan disebut juga dengan istilah niyahah. Perilaku tersebut membuat mayyit yang ditangisi disiksa dalam kubur. Dalam hadis riwayat Tirmizi No. 923.

قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْه

Umar bin Khattaab berkata: Rasulullah SAW bersabdah: “Mayyit itu disiksa karena tangisan keluarganya kepadanya.”

Bacaan Lainnya
DONASI

Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud tangisan pada hadis tersebut adalah tangisan yang tidak diperbolehkan oleh syariat seperi meraung-raung, mengeraskan suara, mencakar wajah, dan berdoa kemalangan. Tangisan medel seperti ini disebut dengan istilah niyahah.

Ibnu Hajaral-Asqalānī dalam kitabnya Fatḥul-Bāri Syarḥ Ṣaḥīḥal-Bukhāriy menjelaskan bahwa Imam Bukhari membatasi kemutlakan hadis riwayat Umar menggunakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abās yaitu:   قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْه artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya mayyit itu disiksa karena sebagian tangisan keluarganya kepadanya.” Pembatasan tersebut dalam bentuk al-ba’ḍiyyah (sebagian tangisan) atas hadis riwayat Ibnu‘ Umar yang mutlak.

Tafsir dari sebagian tangis yang masih mubham (samar) itu dijelaskan dalam riwayat Ibnu ‘Abas bahwa tangis dimaksud adalah ratapan, ini menguatkan bahwa tangisan yang dilarang bukan semua tangisan, tetapi ratapan yang menjadi sunnah atau memuji-muji mayyit dalam tangisannya seperti pujian-pujian yang dilakukan orang masa jahiliah setelah peperangan, penyerangan, dan lain-lain yang dipandang dosa di sisi Allah, tangisan seperti ini menjadikan mayyit disiksa.

Ada beberapa pandangan ulama mengenai hadis tersebut di antaranya:

Dalam kitab Syarh Subulussalam karya Muhammad bin Ismail al-Amiri al-Kahlani al-Shona’ani, Muhammad bin Ismail al-Amiri menuliskan terlebih dahulu pendapat Aisya yang menyangkal akan adanya hadis tersebut dengan menyatakan bahwa hadis tersebut dari Umar dan puterahnya tidaklah benar.

Penjelasan Aisyah seperti tercantum pada hadis riwayat Muslim No. 1547 menggambarkan kritik Aisyah terhadap Ibnu Umar yang disebut oleh Aisyah sebagai kekeliruan dalam memahami suatu hadis. Aisyah menganggap bahwa pemahaman Ibnu Umar terhadap hadis itu menyelisihi ayat Al-Qur’an, dengan mengutip ayat: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.”, “Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”

Juga ayat yang disebut Aisyah dalam hadis riwayat Bukhari (hadis Bukhari No. 1206) dan Muslim (hadis No. 1544) yang berbunyi, “Dan tidaklah seseorang memikul dosa orang lain.”

Mengimani mepndapat Aisya Muhammad al-Ghazali juga berpendapat bahwa meskipun hadis tersebut sanad-nya berpredikat shahih, tetap hadis tersebut tetap tidak dapat dijadikan hujjah karena matan-nya dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an, misalnya pada surah al-Zumar ayat 7, “Dan tidaklah seseorang menanggung dosa yang dilakukan orang lain”.

Menurut beliau untuk menilai hadis itu berpredikat shahih atau tidak, harus dipastikan matan hadisnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Imam Bukhari berpendapat bahwa alasan mayyit diazab karena ratapan keluarganya adalah jika tradisi ratapan tersebut merupakan tradisi dan kebiasaan si mayyit yang kemudian diikuti oleh keluarganya. Karena sebab itulah mayyit diazab dalam kuburnya.

Namun jika perbuatan tersebut bukan kebiasaan si mayyit dan juga meyakini bahwa perbuatan itu adalah tercela maka tangisan keluarganya tidak berpengaruh kepada si mayyit.

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa meskipun si mayyit tidak pernah melakukan ratapan kepada orang meninggal akan tetapi si mayyit mengetahui watak keluarganya adalah meratap atas orang meniggal dan tidak ada upaya untuk mencegahnya maka seakan-akan ia rida terhadap perilaku tersebut.

Maksudnya adalah seseorang yang diam terhadap kemungkaran dan tidak ada upaya untuk mencegahnya maka sama saja dia ikut serta dalam kemungkaran tersebut. Sebagaimana dikatakan orang yang mendengar celaan orang lain (ghibah) meskipun dia mendiamkannya maka orang tersebut ikut serta dalam mencela.

Ulama lain memberikan penakwilan mengenai hadis tersebut bahwa adapun maksud hadis “mayyit diadzab karena tangisan keluarganya” adalah apabila mayyit sebelum dia meninggal berpesan kepada keluarganya untuk menangisinya.

Jika pesan tersebut ditaati oleh keluarganya maka mayyit tersebut akan diazab, tetapi jika pesan tersebut tidak ditaati maka si mayyit tidak pula mendapatkan adzab.

Jumhur ulama berkata, “Tradisi seperti itu memang terkenal pada masa jahilyah seperti yang dikatakan oleh Tharfah bin ‘Abd kepada keluarganya yaitu Mu’bad: “Ketika aku mati tangisilah aku karena aku adalah keluargamu dan robeklah bajumu wahai Mu’bad.”

Dengan pemahaman seperti ini maka hadis tersebut  tidak dapat dikatakan berentangan dengan Al-Qur’an seperti yang dipahami oleh Muhammad al-Ghazali.

Penulis: Samaruddin
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI