Tranformasi Pendidikan Indonesia: Merdeka Belajar di Kampus Merdeka

Merdeka Belajar di Kampus Merdeka
(Sumber: Dokumentasi Penulis)

Usai pelantikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan kemudian berganti portofolio menjadi Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, program utama yang dilakanakan bertahap Merdeka Belajar di Kampus Merdeka (MBKM).

Sebuah program yang patut diapresiasi. Di mana dalam implementasinya menggunakan tahapan. Sehingga bisa dicerna, dan kemudian dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dan kemampuan masing-masing perguruan tinggi.

Maka, kita dapat menyaksikan kampus-kampus Indonesia dalam pelbagai kesempatan, menampilkan logo tersebut dalam pelbagai platform, termasuk di media sosial.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam program MBKM ini, dalam kondisi mencari bentuk dan juga mengadaptasi pelbagai praktik baik yang sudah ada. Termasuk dalam kaitan MBKM adalah pilihan untuk menempuh mata kuliah di luar program studi, dan kemudahan untuk konversi aktivitas yang termasuk dalam senarai MBKM sebanyak 20 SKS dengan ketentuan maksimal 3 semester.

Pelaksanaan MBKM menjadi sebuah kesempatan untuk melihat peluang untuk memperkaya pengalaman belajar mahasiswa. Dengan catatan bahwa peluang ini tidak boleh dimaknai sebebas-bebasnya.

Tetap diperlukan panduan dan rambu-rambu sehingga pelaksanaan MBKM tetap produktif sebagaimana semangat pelaksanaannya. Seperti dalam kasus magang di Jerman.

Setidaknya 33 kampus dengan seribuan mahasiswa yang ikut serta. Ini terperangkap pada tindak pidana perdagangan orang. Mempekerjakan mahasiswa dengan tawaran konversi 20 SKS, tetapi justru terlaksana sebagai tindakan pidana.

***

Hanya saja, MBKM itu sepenuhnya merupakan prakarsa kementrian pendidikan saat kepemimpinan Mas Nadiem sebagai menteri. Pertanyaannya, jika saja pejabat yang dilantik pada kabinet mendatang bukanlah Mas Nadiem “apakah program ini diteruskan?”. Bolehjadi tidak, sebab ini sepenuhnya program Mas Nadiem.

Sekalipun tidak lagi menjadi program utama, tetapi paling tidak dengan best practice yang ada selama lima tahun terakhir dapat menjadi formulasi bagi setiap kampus. Tidak lagi seragam, dan pada kesempatan tertentu akan mewujud menjadi kemerdekaan belajar yang merupakan akumulasi dari pengalaman sebelumnya.

Melangkah lebih jauh, dengan adanya pengalaman MBKM ini akan menjadi future direction. Sebuah peluang untuk mengimplementasikan arah masa depan sesuai dengan semangat MBKM.

Sekalipun itu tidak dengan nama yang persis sama, tetapi kampus telah memiliki wawasan untuk melihat bahwa belajar sejatinya bukanlah dalam arti ruangan semata. Ini juga dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan pelbagai aktivitas termasuk di dalamnya adalah kepedulian sosial.

Tantangan lainnya adalah soal keberlanjutan. Jikalau ini dapat diatasi, maka tidak soal siapapun yang akan menjadi mentri. Dengan adanya pondasi pemahaman yang sudah terbentuk lima tahun terakhir, ini akan menjadi “bangunan” dalam meletakkan program masa depan.

“Sentimen” kementerian, akan hilang begitu saja. Sebagaimana kita menyaksikan program pendaftaran zonasi di sekolah. Sekalipun awalnya ini dikritik, tetapi tetap saja dilaksanakan. Kini, masyarakat menikmati hasilnya. Sehingga tugas kementerian sejatinya sangat sederhana. Memutuskan sebuah kebijakan yang dilandasi kebutuhan masyarakat, maka pergantian mentri tidak akan menjadi masalah.

***

Terakhir, pendidikan Indonesia sejatinya adalah sebuah proses. Sehingga kita memerlukan eksperimentasi pelbagai peluang untuk diekplorasi. Termasuk tidak memungkinkan untuk mengadopsi praktik yang dilaksanakan negara lain.

Dengan karakter Indonesia sendiri, perlu ditemukenali apa yang menjadi kekhasan dan menguraikannya dalam sistem yang berkpribadian Indonesia. Sekaligus pada saat yang sama menekankan perlunya daya sanding di peserta didik.

Peluang ini senantiasa terbuka lebar. Kita memiliki modal sosial dan juga kondisi geografis yang bertuah. Begitu pula dengan menghadapi bonus demografi yang bolehjadi hanya sekali saja. Sekedar menengok negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan. Justru, angka kelahiran yang semakin menurun dari tahun ke tahun.

Sehingga modal utama bangsa kita terletak pada penduduknya. Jikalau ini gagal kita jadikan sebagai sebagai kekuatan, maka bonus demografi hanyalah impian belaka. Justru itu akan menjadi bencana demografi.  

Penulis: Ismail Suardi Wekke
Dosen Pacasarjana IAIN Sorong, Papua Barat Daya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI