Transformasi Pendidikan Menuju Generasi Unggul

Reformasi sudah berjalan 21 tahun. Namun wajah pendidikan kita sampai hari ini masih belum menghadirkan pendidikan yang berkualitas dan manusiawi. Kita bisa melihat kondisi pendidikan di setiap daerah masih belum tersentuh secara memadai dengan sarana dan prasarana yang menumbuhkan semangat dan meningkatkan proses belajar dan mengajar. Kultur pendidikan yang berbeda di setiap daerah membutuhkan pendekatan yang berbeda pula terhadap pengembangan sistem pendidikan yang diterapkan. Hal ini di antaranya selain karena kultur masyarakat yang berbeda, juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sarana dan prasarana yang masih minim. Keterbatasan sarana penunjang dalam belajar membuat tingkat prestasi dari siswa juga ikut menurun. Siswa menjadi sulit mengakses dunia luar yang dapat meningkatkan pengetahuan serta keterampilan.

Kebijakan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menerapkan sistem zonasi bagi sekolah-sekolah menimbulkan polemik yang meluas di kalangan masyarakat terutama sekolah. Dengan diterapkannya sistem zonasi, menurut pemerintah tidak ada lagi yang namanya sekolah favorit yang lazimnya terdapat di kalangan masyarakat. Selama ini masyarakat selalu menempatkan sekolah tertentu dengan label favorit, sehingga menimbulkan gap antara sekolah-sekolah yang ada. Yang kedua, dengan sistem zonasi memungkinkan masyarakat untuk mengakses pendidikan yang ada di daerah tersebut sehingga setiap siswa dapat menikmati pelajaran dan pengetahuan yang sama. Ketiga, adanya sistem zonasi memberi peluang bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah tersebut untuk meningkatkan prestasi akademik ataupun non-akademik. Selama ini masyarakat lebih suka mencari sekolah diluar dari tempat tinggalnya, sementara ada sekolah yang sudah disediakan di daerah. Hal ini mengakibatkan kekurangan murid di sekolah tersebut.

Tetapi bukan berarti kebijakan ini diterima begitu saja, pasalnya ada sebagian masyarakat yang menolak adanya kebijakan seperti ini dan ada yang menerim a kebijakan sistem zonasi. Sebagian menolak karena menganggap program ini kurang tepat untuk diterapkan mengingat para orang tua dan masyarakat berhak untuk menempatkan anaknya di sekolah manapun yang dianggap berkualitas. Para orang tua siswa melihat program semacam ini hanya akan ‘membatasi’ setiap individu mengenyam pendidikan di luar daerah. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dengan didukung kualitas. Di sisi lain, pengalaman serta interaksi setiap anak dengan dunia luar menjadi semakin berkembang karena memungkinkan mereka untuk mengenyam pendidikan diluar daerah. Mereka berpendapat, pemerintah seharusnya perlu meningkatkan sekolah yang sudah berkualitas (favorit) dan sekolah-sekolah yang belum, bukan menghilangkan sekolah-sekolah favorit tersebut. Kedua, pemerintah perlu meningkatkan sarana dan prasaran yang mendukung proses belajar dan mengajar sehingga para orang tua dan siswa tidak mencari sekolah diluar daerah.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, sebagian masyarakat menerima adanya kebijakan sistem zonasi dari pemerintah. Menurutnya, dengan adanya sistem zonasi memungkinkan para siswa untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang layak dan bermutu. Kedua, dengan adanya sistem zonasi berarti setiap siswa dapat mengenyam pendidikan yang sama sehingga tidak ada ketimpangan dalam memperoleh pendidikan. Selama ini yang sering terjadi ada gap di kalangan masyarakat terutama pendidikan, dimana sekolah yang dianggap favorit adalah sekolah yang hanya bisa diakses oleh orang-orang yang mempunyai modal. Sementara masyarakat dengan modal yang terbatas hanya bisa mengakses sekolah-sekolah yang belum berkualitas (tidak favorit). Sehingga tidak ada ruang pendidikan yang mencerdaskan karena ada ketimpangan yang menganga di dalam sistem pendidikan. Ketiga, sekolah-sekolah yang ada didaerah tersebut akan semakin berkembang karena mengakomodir semua siswa yang ada di daerah tersebut.

Masalah dalam pendidikan juga menyangkut tentang kurikulum. Tahun 2017, menteri pendidikan dan kebudayaan menggantikan KTSP 2006 menjadi Kurikulum 2013 (K13). Seperti diketahui, KTSP 2006 salah satu poinnya adalah menitikberatkan proses belajar dan mengajar di dalam ruang kelas hanya kepada guru. Artinya, guru harus bisa menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan menghadirkan pengetahuan-pengetahun baru yang bisa diberikan kepada siswa. Kurikulum ini memberikan kesempatan kepada para guru untuk lebih ‘aktif’ dalam mengajar serta menyediakan ide-ide yang dapat diberikan kepada siswa. Sementara siswa hanya ditempatkan sebagai objek dalam ruang kelas. Kurikulum ini bagi sebagian kalangan akan membuat daya kreatifitas siswa menjadi menurun bahkan sama sekali tidak tumbuh. Siswa seharusnya lebih aktif dan harus menyumbangkan ide-ide justeru dibatasi dengan model kurikulum ini. Sehingga akan berdampak dikemudian hari yang membuat siswa sulit untuk menemukan ide baru dan beradaptasi dengan lingkungan karena mereka sudah terbiasa dengan pola pembelajaran seperti ini.

Namun ada kalangan yang menolak adanya kurikulum 2006 diganti dengan K13. Menurutnya, kurikulum ini harus tetap diterapkan mengingat kultur pendidikan disetiap daerah sangat beragam. Corak pendidikan yang berbeda tidak serta-merta harus digantikan dengan sistem kurikulum yang baru. Meskipun di satu sisi pendidikan kita perlu ditingkatkan melalui percepatan ruang belajar, tetapi kemampuan siswa terutama di daerah dalam menerima model kurikulum ini masih belum bisa diterima secara terbuka. Di sini justeru pemerintah perlu mensiasati model-model lain yang bisa menyeragamkan pendidikan di setiap daerah dalam rangka percepatan pendidikan. Kurikulum 2013 harus bisa disesuaikan dengan sekolah-sekolah yang ada disetiap daerah, mengingat sarana penunjang seperti komputer dan buku-buku pelajaran harus dioptimalkan agar siswa lebih mudah menerima dan berinteraksi dengan kurikulum yang baru. 

Reformasi sistem pendidikan belum mampu menjawab masalah pendidikan itu sendiri. Di tengah semakin gencarnya pemerintah melakukan reformasi sistem pendidikan, di sisi lain justeru nasib guru belum sepenuhnya diakomodir oleh pemerintah. Nasib guru bahkan masih luntang-lantung dan upah yang mereka terima seringkali tidak sesuai dengan jam kerja. Terutama di daerah-daerah yang umumnya masih berstatus sekolah yang baru dibuka. Masalah kurangnya guru yang mengajar, seringkali harus mengajar mata pelajaran yang sebenarnya tidak sesuai dengan kompetensi dan keahliannya. Misalkan, guru bahasa Indonesia, dia bisa mengajar mata pelajaran ilmu pengetahuan alam karena kekurangan guru untuk mengajar. Sementara di satu sisi, sebagai siswa dia harus betul-betul menerima asupan materi yang dapat menumbuhkan pengetahuannya. Di sini pemerintah belum mampu menyediakan alternatif solusi yang dapat menjawab permasalahan ini. Kita melihat bagaimana kualitas guru disetiap sekolah yang ada didaerah belum terjamin sehingga membuat proses belajar dan mengajar mengalami kendala.

Pendidikan Harus Mencerdaskan

Meskipun kultur pendidikan di setiap daerah berbeda-beda, akan tetapi kualitas pendidikan harus terjamin. Persoalan dalam dunia pendidikan Indonesia hari ini tidak hanya dalam bentuk fasilitas, kurikulum tetapi meliputi aspek-aspek yang lebih penting lainnya. Misalkan mengoptimalkan kualitas guru melalui jaminan upah yang layak bagi guru-guru disetiap daerah. Pendidikan kita bisa menerapkan sistem zonasi dan pembelajaran K13 di semua daerah jika kita konsisten memajukan pendidikan. Mendorong pendidikan yang maju, terbuka dan dapat bersaing di dunia internasional harus dimulai dari sikap optimisme meningkatkan kualitas pendidikan dengan melakukan pengembangan pembelajaran. Fasilitas bukan masalah yang memberatkan pendidikan kita untuk maju jika kesiapan kita untuk melakukan transformasi pendidikan benar-benar dimulai dari kesadaran dan tanggung jawab memajukan pendidikan. Di sini sebetulnya tugas pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa menuju generasi unggul melalui transformasi yang lahir dari sikap optimis.  Pekerjaan ini tidak gampang, karena pendekatan yang digunakan harus betul-betul dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kultur daerah.

Nadiem Makarim harus melihat masalah pendidikan tidak hanya dari satu aspek tetapi menyeluruh. Dalam pidatonya, Nadiem menekankan bagaimana guru harus lebih di intensifkan melalui upah serta kualitas. Kedepan menurutnnya selain pemebenahan sistem pendidikan, juga akan dilakukan perbaikan hal-hal yang mengganggu guru-guru sulit berkreatif. Guru sekarang ini lebih dirumitkan dengan persoalan administrasi, sehingga ruang untuk mengajar bagi para siswa menjadi terganggu. Yang lain yang hendak dipikirkan ialah terus mengupayakan agar pendidikan disetiap daerah terus didorong melalui berbagai upaya peningkatan belajar dan mengajar. Menteri Nadiem mewacanakan suatu program yaitu akan memangkas (menghilangkan) mata pelajaran yang terlalu banyak di setiap jenjang pendidikan. Misalkan memangkas mata pelajaran bahasa Inggris di tingkat SMA dan SMP. Tetapi perlu dilakukan kajian sehingga ini nantinya dapat betul-betul diterapkan dengan baik. Pada akhirnya, pendidikan yang mencerdaskan generasi unggul harus dimulai dari sikap optimis.

Komunitas Payung Literasi (KOPALTER)

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI