Trend Barcode (Self-Harm) pada Remaja: Orang Tua Harus Mengetahuinya

Self-Harm
Ilustrasi Self-Harm (Sumber: Media Sosial)

Gejala trendbarcode tangan” atau upaya untuk menyakiti diri sendiri karena tekanan jiwa mulai banyak didiskusikan oleh para pakar, menimbulkan rasa kecemasan, kekhawatiran, hingga kegelisahan yang berpotensi membuat individu Ingin mengalirkan hasrat rasa sakitnya pada upaya perilaku barcode tersebut.

Trend barcode tentu sangat memprihatinkan, orang tua harus mengetahuinya agar anaknya tidak terjerumus ke perilaku tersebut. Orang tua perlu membaca atau update tentang berita seperti ini, agar tahu bahwa trend barcode atau self-harm ini sangat berbahaya.

Dampak barcode biasanya terjadi karena melihat konten-konten yang dapat mendorong individu untuk melakukan itu, contohnya mengiris tangan sehingga menyebabkan luka di tangan, infeksi hingga amputasi. Mereka menganggap tindakan ini adalah cara untuk meredakan perasaan negatif dan merasakan kenikmatan dari hasil barcode yang mereka alami.

Dampak psikologis dari trend barcode adalah ketika individu selesai menyakiti dirinya, individu tersebut menjadi cemas dan merasa bersalah sehingga memperburuk perasaan mereka. Self-harm atau barcode juga dapat membuat depresi jadi meningkat, karena kepuasannya hanya sementara dan membuat pikiran individu kosong serta membuat individu makin terisolasi.

Bacaan Lainnya

Data menjelaskan bahwa ada 36,9% masyarakat Indonesia sengaja melukai dirinya sendiri karena FOMO dengan konten TikTok, Instagram dan X. Hasil dari pengamatan, terdapat 45% kelompok usia muda antara 18 sampai 24 tahun yang terbesar, trend barcode ini menyebabkan stres pada individu.

Untuk jenis kelamin, data menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung melakukan self-harm dibandingkan pria. Sekitar 60-70% dari pelaku self-harm adalah wanita, dengan angka yang lebih tinggi pada remaja perempuan. Banyak pelaku self-harm yang memiliki riwayat trauma fisik, emosional, atau seksual.

Menurut data, sekitar 50-70% individu dengan riwayat pelecehan fisik atau seksual cenderung melakukan self-harm. Mengiris adalah metode yang paling umum, dengan sekitar 60-70% pelaku self-harm menggunakan pisau atau benda tajam untuk mengiris kulit mereka.

Baca juga:Aplikasi Psikologi Islam sebagai Pendekatan Holistik untuk Mengatasi Tantangan Kesehatan Mental di Era Modern

Dalam Teori Psikologi, penyebab stres seseorang terjadi karena tekanan dan tuntunan dari berbagai faktor yang dianggap sulit atau diluar kemampuan individu.

Frustrasi yang berkepanjangan atau perasaan tidak mampu mengatasi tekanan hidup dapat menyebabkan individu melepaskan kemarahan tersebut dengan melukai diri mereka sendiri. Ada 5 faktor penyebab stres yaitu faktor lingkungan, faktor sosial, faktor kognitif dan emosional, faktor genetik dan faktor pengalaman masa lalu.

Individu yang merasa kosong atau tidak memiliki identitas yang jelas cenderung menggunakan self-harm sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak ada yang nyata atau tidak berdaya. Individu yang mungkin merasa tidak berharga dan melihat self-harm sebagai cara untuk “menghukum” diri mereka atau membayar harga atas kesalahan yang mereka anggap telah mereka buat.

Pencegahannya dapat dilakukan dengan cara mengedukasi masyarakat khususnya anak muda tentang cara menggunakan media sosial dengan baik dan benar.

Membatasi aktivitas yang berlebihan sehingga mengakibatkan stres dan overthinking, berolahraga secara teratur juga dapat meminalisir ketegangan dan meningkatkan mood. Mendidik individu, terutama remaja, untuk mewaspadai konten yang mungkin berhubungan dan memengaruhi tindakan menyakiti diri sendiri.

Mengajarkan keterampilan ekspresi emosional yang sehat, mendorong individu untuk mengekspresikan perasaan mereka secara verbal atau melalui kegiatan kreatif seperti seni, musik, atau menulis, daripada melukai diri sendiri.

Menurut opini berdasarkan apa yang saya baca dan lihat, perilaku menyakiti diri sendiri merupakan fenomena tekanan sosial dan emosional hingga berpengaruh terhadap emosi individu. Menyakiti diri sendiri merupakan solusi sementara dan akan memperburuk keadaan jangka panjang tanpa mengatasi akar penyebabnya.

Self-harm adalah masalah yang serius dan kompleks, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam dan dukungan yang tepat, individu dapat belajar untuk mengatasi dan menghindari perilaku ini.

Pencegahan dan penanganan self-harm membutuhkan pendekatan yang bersifat empatik, holistik, dan berfokus pada pengelolaan emosi serta perubahan perilaku. Terapi profesional, dukungan sosial, serta penerimaan diri adalah kunci untuk pemulihan.

Mengatasi self-harm bukanlah proses yang mudah, namun dengan langkah-langkah yang tepat dan kesediaan untuk mencari bantuan, pemulihan dan hidup yang lebih sehat dapat dicapai. Lingkungan yang mendukung bisa mengurangi stigma terkait masalah kesehatan mental.

Jika anda merasa kesulitan dalam mengelola stress, konsultasikan ke Psikolog atau Psikiater. Terapi seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Dialectical Behavioral Therapy (DBT) terbukti efektif untuk membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang mendorong self-harm. Terapi ini dapat membantu individu belajar cara mengatasi perasaan tanpa melukai diri mereka sendiri.

 

Penulis: Dzikri Nur Idsam
Mahasiswa Psikologi, Universitas Muhamadiyah Malang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

2 Komentar

  1. Wah ini benar benar membantu saya dalam mengerti sifat sikap manusia yang trlalu idiot dalam merespon masalah