Uang Kuliah Tinggi Menjadi Problematik Bagi Mahasiswa

Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) menjadi hal yang banyak diperbincangkan bagi para aktivis mahasiswa. Sempat mencuat di permukaan media massa tentang berbagai protes yang digelar oleh segenap mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 4 Juni 2018 (suaramerdeka.com) serta aksi yang digelar oleh mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada 12 Juli 2018 (mahasiswa.co.id).

Kebijakan tersebut diprotes lantara UKT sudah tidak lagi tunggal. Ada pungutan lain selain UKT. Kebijakan UKT sering diplesetkan menjadi Uang Kuliah Tinggi yang mana hal tersebut sebagai bentuk protes terhadap pemerintah terkhusus bagi Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti).

Berbicara UKT
UKT bermuara pada Undang-undang (UU) Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT) yang mengamanahkan kepada setiap pelaksanaan pendidikan tinggi perlu adanya standar biaya pendidikan yang terjangkau bagi mahasiswa dan orang tua sebagai donatur/pembiaya kuliah, hal ini tertuang pada pasal 88 ayat (4) “Biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”.

Kemudian muncul Peraturan Menteri Nomor 55 tahun 2013 tentang UKT dan BKT pada seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Sistem UKT merupakan suatu kebijakan yang berupaya mewujudkan biaya kuliah yang terjangkau pada PTN di Indonesia. Dengan UKT, mahasiswa tidak akan dikenakan biaya gedung, praktikum, uang SKS, uang wisuda atau biaya tambahan lainnya.

Bacaan Lainnya

Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh pada 23 Mei 2013 telah mengeluarkan ketetapan mengenai besarnya BKT dan UKT pada PTN di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Peraturan tersebut menjadi produk hukum pertama dari Kemendikbud yang mengatur permasalahan UKT. Namun pada masa Kabinet Kerja (Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla), kebijakan UKT dan BKT diatur di dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 22 Tahun 2015. Dengan adanya hal tersebut maka sampai sekarang, UKT dan BKT mengacu pada Permenristekdikti Nomor 22 Tahun 2015.

UKT Ladang Komersialisasi
Konsep UKT belum menjadi tawaran yang solutif serta implementatif bagi mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa merasa keberatan dengan besaran UKT yang dibayarkan, karena ketidaksesuaian antara keadaan ekonomi dengan besaran UKT yang harus dibayarkan. UKT menjadi beban yang harus mahasiswa bayarkan setiap semester, namun masih ada biaya lain yang harus mereka bayar ketika mereka masuk melalui jalur Seleksi Mandiri (SM).

Ironi ketika mahasiswa dibebankan dengan besaran UKT yang tidak relevan dengan kondisi sebenarnya namun muncul kebijakan baru yang mencederai asas ketunggalan UKT. Kebijakan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) atau yang lebih dikenal dengan Uang Pangkal (UP) diberlakukan di jalur SM-PTN. Hal tersebut banyak menuai pro dan kontra, karena konsep SPI atau UP ini sangat bertolak belakang dengan konsep UKT. Pasalnya sistem UKT bertujuan meringankan mahasiswa agar mampu membayar biaya kuliah sesuai dengan keadaan ekonomi. Dengan adanya kebijakan SPI, maka gerbang komersialisasi dalam pendidikan tinggi akan tumbuh subur.

Adanya SPI atau UP didasarkan pada Permenristekdikti Nomor 39 tahun 2017 yang menyatakan bahwa “PTN dapat memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT, dari mahasiswa baru program sarjana dan program diploma…”.

SPI atau UP ditujukan untuk mahasiswa jalur SM-PTN. Entah apa yang menjadi alasan pemerintah memberlakukan SPI atau UP bagi mahasiswa jalur SM-PTN. Kebijakan SPI atau UP diberlakukan di jalur SM-PTN menjadi rawan terjadinya bentuk komersialisasi berupa jual beli kursi masuk PTN. Jika hal tersebut terjadi maka bisa berpeluang untuk memangkas kuota masuk di jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) guna menambah kuota di jalur SM-PTN.

Mahasiswa yang masuk melalui jalur SM-PTN mendapatkan besaran UKT yang berbeda dengan mahasiswa yang masuk melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN. Besarannya cukup besar dari semestinya, yaitu masuk pada minimal golongan III ke atas tergantung PTN. Lalu, dengan diberlakukannya SPI dan UP, bagaimanakah nasib masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjoba peruntungan melalui jalur SM-PTN.

Perbaiki Pelaksanaan Subsidi Silang
Masiswa kurang mampu mendapatkan besaran UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi dan masih menanggung SPI atau UP bagi mahasiswa jalur SM-PTN. Hal tersebut menjadi ladang komersialisasi di PTN, maka konsep subsidi silang dalam pengalokasian UKT menjadi solusi yang perlu diperbaiki dan kembangkan oleh PTN.

Subsidi silang merupakan sistem yang menggunakan paradigma dimana keluarga mahasiswa yang mampu membantu keluarga mahasiswa yang kurang mampu pada setiap besaran UKT yang diterima. Sistem subsidi silang ini telah dilakukan di pelbagai PTN di Indonesia, namun perlu adanya pengawalan lebih lanjut terkait penentuan besaran UKT bagi mahasiswa. Jangan sampai subsidi silang yang bertujuan menjadi solusi dari permasalahan UKT malah menambah beban bagi mahasiswa.

Pengawalan yang dimaksud dalam subsidi silang adalah dengan memberikan kejelasan informasi serta pengarahan dari pengelola kampus terkait penetapan besaran UKT. Dimana besaran UKT yang didapatkan oleh mahasiswa sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Subsidi silang menjadi hal sangat solutif jika PTN dapat terbuka dalam hal penentuan besaran UKT yang dikeluarkan setiap mahasiswa.

Seringkali mahasiswa melakukan tindakan ke tidak jujuran dalam mengisi data penentuan UKT sehingga berdampak pada ketidak sesuaian antara keadaan ekonomi dengan besaran UKT yang harus mahasiswa bayarkan. Atau bahkan terjadinya permasalahan saat mengisi data melalui sistem online, hal ini sangat berdampak ketika akses terhambat kemudian sistem membacanya dengan pilihan kategori maksimal.

Kemudian pengalokasian dana subsidi silang haruslah dikelola secara tepat dan transparan. Hal tersebut menjadi permasalahan ketika tidak dapat dijalankan dengan prinsip kehati-hatian.
Permasalahan UKT dan SPI berdampak pada mahasiswa, maka setiap kebijakan yang bersentuhan dengan mahasiswa haruslah melibatkan mahasiswa. Hal tersebut ditujukan agar terjadinya keselarasan tujuan mahasiswa dan orientasi pengelola PTN. Keselarasan tujuan perlu dibangun agar tercipta pemerataan pendidikan terkhusus di PTN seluruh Indonesia.

Dimas Sakti Maulana
Menteri Kajian dan Strategis BEM KM Unnes 2018

Baca juga:
Kuliah Perdana Selesai, Penerima Beasiswa S2 Kemenpora Siap Berkontribusi untuk Bangsa!
Uang Pangkal Rasa Japrem
Dinamika Dibalik Penerapan Uang Pangkal

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses