Sebentar lagi rakyat Indonesia akan menentukan calon pemimpin baru mereka. Apakah 2019 ganti presiden atau tetap pada revolusi mental? Di setiap pemilihan presiden akan selalu diiringi dengan pemilihan calon legislatif dengan kata lain kita juga harus memilih ‘wakil rakyat’ yang baru.
Polemik tentang calon legislatif ini semakin memanas akhir-akhir ini. Pada waktu yang bersamaan, MA menyetujui gugatan peraturan bahwa eks koruptor boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sebagai masyarakat Indonesia yang sering dikecewakan oleh ulah para anggota legislatif, keputusan ini tidak masuk di akal. Di satu sisi kita ingin para koruptor dihukum dengan ganjaran yang setimpal karena telah merugikan negara dan banyak pihak. Namun, dengan munculnya keputusan ini memberikan jalan bagi mereka para eks koruptor untuk dapat kembali dipilih sebagai wakil rakyat dan tentu sangat memberikan ‘angin segar’ bagi mereka.
Di Indonesia, baik di mata hukum maupun di mata masyarakat mempercayai bahwa korupsi adalah hal yang sangat tidak beretika dan pantas untuk dihukum dengan ganjaran yang setimpal. Namun hukum di Indonesia sendiri gagal untuk mempertahankannya sebab tertulis di Pasal 43 ayat (1) UURI nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal ini disalahgunakan oleh para eks koruptor untuk mencari celah agar mereka tetap dapat dipilih kembali usai menjalani masa hukumannya.
Banyak dari para pengamat hukum yang berpendapat bahwa “Selama mereka (eks koruptor) telah menjalani masa hukumannya, kenapa tidak?”. Kita paham jika mereka sudah menjalani masa hukumannya dan di Indonesia hukumnya cukup jelas. Tapi apakah mereka para koruptor ini masih memiliki nalar dan pemikiran yang sehat? Punya harga diri? Saya tidak mempermasalahkan hak mereka untuk dipilih, namun dengan ‘track record’ sebagai mantan koruptor, hal apalagi yang mereka inginkan di kursi legislatif?
Kita sebagai masyarakat tidak berkata bahwa mereka akan melakukan perbuatannya lagi. Tapi ini lebih ke diri mereka masing-masing, apakah mereka ingin memberikan yang terbaik untuk bangsa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahannya di masa lalu? Atau ada maksud lain di dalam hal ini?
Kita semua orang Indonesia, kita semua memiliki hak yang sama dan mereka sudah memilih untuk melakukan korupsi, mereka telah memilih untuk merebut hak orang lain. Bagaimana bisa mereka yang telah merebut hak orang lain justru ingin mendapatkan hak khusus. Mereka yang telah memilih untuk melakukan korupsi, namun mereka jugalah yang meminta hak untuk diperlakukan seolah mereka khusus. Seharusnya mereka diadili sesuai dengan tuntutan hukum yang berlaku tanpa adanya perbedaan dan bukannya malah memberikan sebuah hak ‘istimewa’ bagi mereka.
Hukum di Indonesia
Keputusan oleh MA ini juga menimbulkan keraguan dan tanda tanya besar karena ‘track record’ hakim di Indonesia bisa dibilang tidak mencerminkan seharusnya bagaimana mereka bertindak. Mengizinkan segelintir koruptor yang sudah merugikan lebih dari 250 juta rakyat Indonesia
Namun juga di sisi lain hakim sebagai pengambil keputusan juga mengalami ethical dilemma, di mana jika mereka menolak gugatan tersebut berarti mereka tidak melaksanakan seperti undang-undang yang tertulis, namun di satu sisi jika mereka mengabulkan gugatan tersebut berarti mereka sudah mengizinkan kembali adanya koruptor.
Hukum di Indonesia juga sudah usang. Hukum zaman belanda ini sudah mulai bisa diputar-putar oleh oknum yang bisa melihat celah lemah hukum Indonesia. Termasuk hakim yang dianggap sebagai pengambil keputusan.
Hal yang mungkin agak melegakan adalah KPU tidak begitu saja memberikan keleluasaan kepada para eks koruptor. Pasalnya di UU 7/17 tentang pemilu para eks koruptor harus mengumumkan kepada publik bahwa mereka adalah mantan koruptor. Hal ini cukup melegakan bagi masyarakat yang menentang korupsi. Rakyat indonesia cukup paham bahwa mereka tidak akan memberikan kesempatan bagi para eks koruptor untuk menjadi penyalur aspirasi bagi mereka.
Tentang Budaya
Ini semua kembali lagi ke moral dan etika yang dimiliki oleh masing-masing koruptor. Di Indonesia budaya seorang koruptor bisa dengan tanpa berdosa melewati kamera dengan senyam-senyum sedangkan koruptor di negara lain akan sangat malu bahkan hingga bunuh diri. Apakah jika ada kesempatan dipilih lagi para koruptor di negeri China akan menerima? Tentu bisa saja. Tapi apakah mereka akan menerimanya? Tidak. Mereka punya budaya yang kuat tentang koruptor. Indonesia masih menganggap koruptor adalah hal yang ‘wajar’. Jadi ini bukan lagi ranah hukum, tapi lebih ke pribadi dan tabiat masing-masing
Tidak perlu membawa-bawa pasal atau mengajukan pasal permohonan dengan mengatakan bahwa “Di UUD 1945 tertulis bahwa………….” Percuma. Kalau mereka tetap bersikeras ingin dipilih, mereka akan melakukan cara apapun agar mereka tetap bisa dipilih. Yang terbaik untuk bangsa, atau yang sesuai dengan hukum?
uhamad Farel Dafa Mointang
Sampoerna University