Path dengan resmi menyatakan penutupan pelayanan dan pengoperasiannya. Hal ini disampaikan melalui laman path.com, pop-up pengumuman di aplikasinya, dan juga akun Twitternya dengan judul “The Last Goodbye”. “Kami dengan sangat menyesal harus menginformasikan kalau Path akan segera berhenti beroperasi. Silakan kunjungi situs ini untuk detail terkait restore atau refund,” tulis pihak Path. Path memberikan waktu kepada pengguna untuk mengambil salinan data yang pernah diunggah di Path, baik dalam bentuk teks, gambar, maupun video dengan jadwal, 17 September 2018 merupakan pemberitahuan kepada pengguna bahwa layanan Path akan ditutup. 1 Oktober 2018 pengguna tidak dapat mengunduh ataupun memperbarui aplikasi. 18 Oktober 2018, Path menghentikan akses ke Platform. Dan 11 November 2018 merupakan penutupan customer service Path.
Menanggapi hal itu, para pengguna Path ramai-ramai bernostalgia dengan mengunggah tangkapan layar mengenai momen yang ada di akun mereka di beberapa sosial media seperti Instagram dan Twitter. Path memang tidak seperti sosial media lainnya, Path terkesan lebih personal karena adanya kuota pertemanan yang dibatasi. Lalu apakah yang melatar belakangi penutupan Path?
Tidak adanya inovasi lain untuk menandingi eksistensi sosial media yang memiliki fitur-fitur unik dan menghibur menjadi salah satu penyebab menyusutnya jumlah pengguna Path. Telah kita ketahui bahwa yang membuat Path unik adalah dengan adanya pembatasan kuota pertemanan yang awalnya 50 menjadi 150 pengguna Path lain.
Hal ini didasarkan pada teori psikologi bahwa setiap individu hanya dapat berteman dekat dengan maksimal 150 orang saja. Hal ini ditujukan untuk menjaga privasi pengguna. Sehingga pengguna dapat mengunggah apapun tanpa khawatir diketahui orang yang tidak diinginkannya. Namun, Path memutuskan untuk menambah kuota pertemanan menjadi 500 pengguna. Keputusan ini dikarenakan desakan para pengguna Path dari Indonesia. Karena kita tahu, Indonesia menjadi negara dengan pengguna Path terbesar di dunia yaitu 80% dari 4 juta pengguna aktif di dunia terhitung pada Februari 2015. Karena itu, Path sempat membuka kantor perwakilan di Indonesia. Sehingga umpan balik masyarakat Indonesia akan lebih didengarkan dan direspon oleh Path tentunya. Nah, hal inilah yang menjadi aspek lain yang melatarbelakangi ditutupnya aplikasi yang bisa dibilang hanya digandrungi di Asia Tenggara ini. Sebagian orang mungkin menanggapi hal ini sebuah keuntungan karena dapat menambah lebih banyak pertemanan. Namun, hal ini menghilangkan keautentikan Path sebagai sosial media yang personal. Pengingkaran konsep awal ini juga dibahas oleh pengamat media sosial, Nukman Luthfi. Beliau berasumsi bahwa diferensiasi inilah yang membuat Path memiliki banyak pengguna. Namun setelah ditambahkannya kuota pertemanan, seakan tidak ada lagi keunikan yang ada dalam jejaring sosial ini.
Dengan boomingnya berita ditutupnya Path, tidak hanya pengguna lama yang bernostalgia, warganet yang tadinya tidak memiliki aplikasi ini pun ikut menginstal Path untuk mengetahui bagaimana aplikasi ini bekerja. Dengan hal ini, menjelang ditutupnya Path, sosial media yang telah beroperasi selama 8 tahun ini menjadi “#6 Top Free Social” jika dilihat di Playstore. Path yang eksistensinya tergerus sosial media seperti instagram dan snapchat pun kini terlihat megimbanginya.
Ya, dalam persaingan bisnis, akan selalu ada yang sukses dan yang gagal. Yang dimaksud gagal disini adalah tidak mampunya mengikuti perkembangan fitur untuk memuaskan pengguna. Yang namanya sosial media haruslah mengikuti dinamika kebutuhan dan keinginan warganet agar tidak termakan usia. Path disini terlihat tidak menyinkronkan fitur yang ada dengan perkembangan kekreatifan sosial media lainnya. Tidak dapat dipungkiri, Path pun akan tutup usia.
Dengan ditutupnya layanan Path ini, baik langsung maupun tidak akan memberikan dampak buruk pada perekonomian para pekerja Path. Tentu saja hal ini sama dengan menutup ladang rezeki sekumpulan orang. Apalagi, di Indonesia sendiri terdapat kantor cabang Path yang didirikan karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna Path terbesar di dunia. Dengan hilangnya lapangan pekerjaan, jumlah pengangguran pun akan bertambah di Indonesia. Belum ada kabar lebih lanjut dari pihak Path bagaimana nasib perusahaan ini. Antara tutup total atau akan ada inovasi dalam bentuk aplikasi baru. Lebih baik, perusahaan yang cukup lama berdiri ini tetap dilanjutkan dengan hal baru yang dapat lebih menarik minat masyarakat luas dan tetap memberikan ladang rezeki kepada para pekerjanya.
Lulu Damayanti
Mahasiswa Sampoerna University