Jumlah lulusan kedokteran setiap tahunnya berdasarkan Ristekdikti yakni 8000 orang. Hal ini berbanding terbalik dengan Indeks Kesehatan Masyarakat Indonesia berdasarkan survey WHO, Prosperity dan World Bank. Faktanya, nilai Indeks Kesehatan Masyarakat Indonesia hanya mampu menempati urutan ke 101 dari 149 negara. Sudah saatnya berbenah dan evaluasi besar-besaran harus dilakukan oleh pemerintah menindaklanjuti perkara tersebut.
Dokter merupakan sosok yang sangat berpengaruh di tengah masyarakat terhadap aspek kesehatan. Tujuan utamanya adalah menjaga dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Namun ironi yang nyata ketika jumlah lulusan kedokteran berbanding terbalik dengan nilai indeks kesehatan masyarakat. Di samping itu, banyak faktor-faktor lain yang juga menjadi persoalan utama kesehatan masyarakat.
Hal pertama yang harus dievaluasi adalah kualitas lulusan kedokteran setiap tahunnya. Berdasarkan Kepala Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Mansyur Ramli, mutu lulusan perguruan tinggi dengan akreditasi A, B, atau C akan berbanding lurus dengan mutu lulusannya. Maka dari itu, perlu ada evaluasi dalam meningkatkan kualitas lulusan kedokteran melalui mutu pendidikan dan standar minimalnya.
Selain mutu yang harus ditingkatkan, pendistribusian tenaga kesehatan dan medis harus merata. Layanan kesehatan sudah mengalami banyak peningkatan dalam beberapa tahun terakhir di kota-kota besar. Melalui media massa, masyarakat mengalami pencerdasan sehingga dapat mengawasi kinerja-kinerja dokter untuk berkerja secara profesional dalam upaya peningkatan taraf kesehatan masyarakat.
Lain halnya dengan daerah-daerah pelosok, tingkat kesehatan masyarakat di daerah pelosok masih sangat minim yang mengindikasikan bahwa tenaga medis masih kurang. Dampaknya adalah penanganan penyakit-penyakit menjadi lamban bahkan terlambat untuk ditangani. Sosok dokter yang benar-benar mengabdi untuk bangsa dan negara masih sangat kurang, apalagi mengabdi di daerah pelosok. Hal ini harus segera dievaluasi secepatnya mengingat pelayan kesehatan untuk masyarakat harus ditegakkan.
Problematika yang lebih rumit lagi muncul ketika di suatu daerah pelosok sudah terdapat tenaga medis, yaitu biaya yang mahal. Daerah pelosok dengan tingkat ekonomi yang rendah jika dibandingkan dengan kota besar, akan kesulitan dalam membayar pelayanan kesehatan. Ada suatu ungkapan klasik dalam dunia kesehatan yakni, jangan mengambil banyak uang orang miskin, mereka akan membayar, tapi di rumah mereka akan menangis karena tidak bisa membeli beras.
Kalimat di atas menjadi tamparan bagi seluruh umat manusia yang berjiwa kemanusiaan tinggi. Karena sejatinya, dokter harus berjuang untuk kemanusiaan. Salah satu dokter yang kerap dijuluki sebagai “dokter gila” dokter Lie A. Dharmawan mendedikasikan dirinya untuk negeri. Ia kerap membuat gagasan baru demi pelayanan kesehatan masyarakat dan jasanya dalam menyelamatkan nyawa di pelosok negeri sudah tak dapat diragukan lagi.
Dari 8000 lulusan Kedokteran tersebut, mungkin dapat dihitung jari yang menyerupai sosok si “dokter gila” ini. Kebanyakan dari mahasiswa lulusan Kedokteran tidak dapat berpegang teguh pada sumpah mereka sebagai seorang dokter. Tanpa tekad dan keyakinan yang teguh tersebut, dalam situasi sulit dan kondisi yang buruk dapat mendorong seorang dokter keluar dari jalur pengabdian mereka kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Jika kita mengerucut kembali ke permasalahan yang kompleks yakni mahalnya biaya kesehatan, maka kita dapat menemukan banyak kecacatan. Berdasarkan Direktur regional WHO Asia Tenggara, sekitar 65 juta orang di Asia Tenggara berisiko jatuh kedalam jurang kemiskinan. Hal ini merupakan timbal balik dari mahalnya pelayanan kesehatan. Masyarakat harus menggali lebih dalam kantong mereka untuk membeli obat bahkan lebih dalam lagi untuk penyakit yang lebih serius.
Sistem pelayanan kedokteran harus segera dibenahi sehingga pelayanan kesehatan akan lebih terjangkau untuk masyarakat dengan tingkat sosial menengah kebawah. Jika dikaji lebih dalam, ada unsur-unsur keterlibatan pelaku-pelaku bisnis. Kondisi yang memberi ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan menuntun kepada komersialisasi nan megah. Komersialisasi di dunia kesehatan membuat biaya kesehatan semakin menggunung.
Jika diklasifikasikan, dunia kedokteran dibagi menjadi primer, sekunder dan tersier. Sudah selayaknya masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan berbasis primer terlebih dahulu untuk menekan biaya pelayanan kesehatan. Namun dengan ketidaktahuan masyarakat, kesempatan ini menjadi peluang bisnis untuk menjadikan pelayan kesehatan berbasis tersier menjadi kebutuhan dasar seperti dokter spesialis, yang tentunya harga sangat melambung tinggi dibandingkan pelayanan berbasis primer.
Sistem pelayanan seperti di atas harus segera dievaluasi dan diregulasikan mengingat sistem pelayanan primer mengacu kepada WHO, yang hingga saat ini belum dianut oleh negara kita. Sistem pelayanan yang berbasis kepada dokter spesialis berdampak langsung kepada profesi kedokteran itu sendiri atas ketimpangan antara dokter umum dan spesialis.
Demi mewujudkan dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang baik, telah banyak hal yang menjadi bahan evaluasi. Program-program yang digagas seperti BPJS menjadi fondasi niat baik pemerintah dalam membenahi pelayanan kesehatan masyarakat. Dari 8000 lulusan kedokteran pertahun, hanya sekitar 20 persen tertampung di Puskesmas untuk menjadi ujung tombak program kesehatan dari pemerintah.
Menurut Dr. Gatot Ketua Bidang Pengembangan Sistem Pelayanan Kedokteran Terpadu, “Jumlah dokter umum yang disebar di Indonesia baik di kota besar maupun dipelosok harusnya segera diindeks sehingga masalah pendistribusian dokter umum segera bisa diatasi. Berdasarkan indeks tersebut, tentu akan ada perbedaan nilai antara dokter yang ditempatkan di daerah pelosok atau di perkotaan untuk mengabdi kepada masyarakat”.
Muhammad Ganta
Mahasiswa Sampoerna University