Mei 1998 tidak sekadar menandai kejatuhan rezim Orde Baru, tetapi juga menorehkan tonggak awal kelahiran sebuah generasi yang tak mengenal Soeharto sebagai penguasa mutlak.
Generasi inilah yang kini kita kenal sebagai Generasi Z, anak-anak yang lahir dari rahim Reformasi.
Mereka tumbuh dalam atmosfer kebebasan berpendapat, namun ironisnya, juga dalam bayang-bayang kekecewaan politik.
Lebih dari dua dekade berlalu, dan generasi ini mulai bertanya: benarkah reformasi membawa transformasi yang berarti, atau sekadar mengganti wajah tanpa menyentuh akar persoalan bangsa?
Seorang mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Pamulang mengaku dirinya baru memahami Reformasi secara lebih dalam saat perkuliahan.
“Pada awalnya, saya mengira Reformasi hanya sebatas pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto,” ujarnya.
Namun, seiring waktu dan keterlibatan dalam diskusi kampus, saya mulai memahami bahwa esensinya jauh lebih kompleks, yakni menyangkut perjuangan atas demokrasi, penegakan hak asasi manusia, serta keadilan sosial. Sayangnya, idealisme itu terasa terhenti di tengah jalan,” tambahnya.
Mewarisi Kebebasan, Menyaksikan Kekecewaan
Generasi Z sering dianggap sebagai penggemar digital, berkepedulian singkat, dan memiliki keresahan eksistensial.
Namun, di balik stigma itu ada ironi yang sangat dalam lainnya yaitu mereka, meskipun dilahirkan dalam demokrasi, hidup dalam frustrasi.
Demokrasi yang seharusnya memperkuat suara rakyat, tetapi yang dilihat Generasi Z demokrasi hanyalah panggung elitis yang terlalu jauh dari rakyat dan terutama dari para generasi muda.
Ini dikarenakan mereka terlalu sering melihat banyaknya politik jual beli, korupsi berjemaah, dan janji-janji kosong yang selalu diulang lima tahunan.
Berdasarkan hasil survei Katadata Insight Center pada 2023, 59,8% anak muda menyukai politik.
Angka tersebut adalah potensi besar tentu saja, namun faktanya hanya 8,7% dari mereka yang mau masuk partai politik, dan justru lebih sedikit yang mau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (6,9%).
Jika dibandingkan, tentunya terdapat kesenjangan yang signifikan antara ketertarikan dengan keterlibatan langsung mereka dalam dunia politik.
Sebagian besar Generasi Z ini memilih untuk menyampaikan opini mereka melalui media sosial atau mengamati dari kejauhan.
Apatis atau Disengaged?
Sebenarnya, pelabelan Generasi Z sebagai apatis politik itu perlu dipertanyakan ulang.
Bukan berarti mereka tidak peduli, melainkan ini bentuk kekecewaan yang mendalam terhadap sistem yang mereka nilai tidak memberikan ruang partisipasi yang berarti.
Berdasarkan survei CSIS tahun 2022, hanya sekitar 6% anak muda yang berani menyuarakan pendapat politiknya secara langsung.
Sementara itu, mereka yang bersedia mendukung aktivitas politik secara finansial, seperti kampanye atau kegiatan komunitas, jumlahnya bahkan lebih kecil, hanya 2,4%.
Sebagian besar dari mereka memilih menggunakan media sosial untuk mengekspresikan opini politiknya.
Anehnya, ekspresi politik di ranah digital justru kerap diremehkan, bahkan kadang dijadikan dalih untuk pengawasan dari aparat.
Padahal, bagi generasi saat ini, ruang digital sudah menjadi medium utama untuk menyampaikan gagasan maupun kritik sosial.
Alih-alih mendorong partisipasi yang konstruktif, sistem yang ada saat ini justru menciptakan jarak dan rasa takut baru bagi mereka untuk berpartisipasi.
Demokrasi yang Terkikis, Represi yang Berulang
Bukannya mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas seperti yang diharapkan sebelumnya, generasi muda sekarang terus dihadapkan pada upaya paksaan yang semakin keras untuk diam oleh pihak berwenang.
Dalam kejadian kemarin lusa (Mei 2025), dilaporkan oleh Amnesty International terdapat penangkapan 93 mahasiswa Universitas Trisakti yang sedang melakukan aksi damai untuk memperingati 27 tahun Reformasi.
Sebagai catatan pada tahun sebelumnya, KontraS melaporkan bahwa setidaknya 254 mahasiswa mengalami luka-luka karena tindakan represif dari aparat dalam demonstrasi “darurat demokrasi.
Keadaan yang serupa juga terjadi saat penolakan revisi Undang-Undang TNI di tahun yang sama.
Kronologi peristiwa ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi seharusnya menjadi tempat yang aman bagi partisipasi masyarakat umum terutama bagi generasi muda, justru semakin menyempit akibat kebijakan dan pendekatan keamanan yang represif.
Pola kekerasan terhadap ekspresi kritis ini, secara nyata, justru menghidupkan kembali trauma masa lalu yang seharusnya telah berakhir bersama runtuhnya Orde Baru.
Fenomena seperti ini memperlihatkan kemunduran dalam hal kebebasan berpendapat, seolah-olah sejarah kelam tersebut terulang kembali di masa kini.
Menjaga Nyala Reformasi di Tengah Kepungan Realitas
Bagi saya sebagai penulis, reformasi bukan sekadar catatan sejarah yang diperingati setiap bulan Mei.
Lebih dari itu, reformasi adalah janji bersama tentang demokrasi, keadilan, dan keterbukaan yang semestinya terus dihidupkan dalam praktik sehari-hari bernegara.
Sayangnya, di tengah derasnya arus pragmatisme politik dan pola represi yang kian terselubung, semangat tersebut perlahan mulai luntur.
Sering kali, semangat itu hanya tampak dalam seremoni formal semata, tanpa makna yang betul-betul mendalam.
Generasi Z, meskipun tidak selalu tampil dalam bentuk demonstrasi di jalan, tetap bersuara melalui cara-cara yang lebih sesuai dengan zaman mereka.
Media sosial, ruang diskusi komunitas, dan berbagai platform digital menjadi tempat baru untuk menyampaikan kritik dan kegelisahan yang mereka punya.
Aktivisme mereka kini bergerak lebih tenang, lebih kreatif, tapi tetap tajam sebagai respons terhadap realitas sosial-politik yang seringkali tak memberi ruang bagi suara muda untuk berkembang secara terbuka.
Sayangnya, respons negara masih cenderung bersifat defensif. Partisipasi kritis kerap kali dibalas dengan pelabelan negatif hingga kriminalisasi.
Ketika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara menurun, negara justru cenderung membungkam alih-alih mendengar suara masyarakat.
Hal ini bukan sekadar pengabaian terhadap hak-hak warga, melainkan juga pengkhianatan terhadap semangat reformasi itu sendiri.
Sebenarnya, generasi muda tidaklah apatis. Mereka tengah mencari bentuk dan cara baru untuk menyampaikan aspirasi.
Yang dibutuhkan adalah pengakuan dan ruang dialog yang adil, bukan pembatasan partisipasi.
Sebab, jika ruang tersebut terus dipersempit, yang hilang bukan hanya suara generasi muda, melainkan masa depan demokrasi itu sendiri.
Dari Reformasi Menuju Reformulasi
Reformasi 1998 memang menjadi titik balik besar dalam perjalanan politik Indonesia, tapi kita semua tau bahwa ini tidak berjalan mulus begitu saja.
Prosesnya lebih menyerupai pembukaan pintu menuju ruang yang belum sepenuhnya terang, penuh tantangan dan ketidakpastian.
Generasi muda yang tumbuh setelah reformasi mewarisi sistem yang, secara jujur, masih memerlukan banyak perbaikan.
Generasi ini memiliki hak, bahkan tanggung jawab untuk meninjau ulang warisan politik yang mereka terima.
Bukan berarti menyampingkan sejarah, melainkan supaya masa depan negeri ini tidak dibangun lagi di atas janji-janji yang belum ditepati.
Melalui berbagai bentuk partisipasi, baik di ranah digital, komunitas, ataupun suara-suara yang mereka upayakan untuk terciptanya kebijakan yang lebih baik di negeri ini, mereka berupaya menemukan kembali apa itu makna demokrasi sesungguhnya di kehidupan mereka.
Demokrasi, kalau mau jujur, jelas tidak bisa hanya direduksi pada pelaksanaan pemilu berkala atau sekadar pidato-pidato yang penuh retorika.
Fondasi demokrasi seharusnya terletak pada keadilan sosial, transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan, dan keterlibatan yang setara dari seluruh elemen masyarakat.
Semangat reformasi pun idealnya tidak sekadar menjadi ritual tahunan, melainkan diinternalisasi dan diwujudkan sebagai pendorong perubahan nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang, kontribusi generasi muda ini mungkin seringkali luput dari catatan sejarah resmi.
Namun, suara, keberanian, dan komitmen mereka akan menjadi penentu ke arah mana perjalanan republik ini nantinya.
Pada akhirnya, demokrasi bukanlah sekadar warisan pasif, melainkan sebuah proyek kolektif yang harus senantiasa diperjuangkan dan disempurnakan bersama.
Penulis: Zidane Asasani
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Pamulang
Referensi
Amnesty International Indonesia. (2025, 1 Mei). Laporan HAM Amnesty International: 2024 Tahun Menguatnya Praktik Otoriter di Indonesia dan Dunia. Amnesty.id. https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/laporan-ham-amnesty-international-2024-tahun-menguatnya-praktik-otoriter-di-indonesia-dan-dunia/04/2025/
Amnesty International Indonesia. (2025, 21 Mei). Bebaskan mahasiswa Trisakti yang ditangkap saat peringatan 27 tahun Reformasi. Amnesty.id. https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/bebaskan-mahasiswa-trisakti-yang-ditangkap-saat-peringatan-27-tahun-reformasi/05/2025
Amnesty International Indonesia. (2025, 15 Maret). Demo tolak pengesahan Revisi UU TNI diwarnai teror dan kekerasan terhadap aktivis dan jurnalis. Amnesty.id. https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/demo-tolak-pengesahan-revisi-uu-tni-diwarnai-teror-kekerasan-dan-intimidasi-terhadap-aktivis-mahasiswa-dan-jurnalis/03/2025
Centre for Strategic and International Studies (CSIS). (2022, 26 September). Rilis Survei Nasional: Suara pemilih muda menjelang Pemilu 2024. https://s3-csis-web.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/doc/Final_Rilis_Survei_CSIS_26_September_2022.pdf
Indikator Politik Indonesia. (2025, 27 Januari). Rilis Survei Nasional: Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara. https://indikator.co.id/rilis-indikator-27-januari-2025/
Katadata Insight Center. (2023, 14 November). Politik di Mata Anak Muda: Temuan Survei Nasional Persepsi dan Kecenderungan Gen Z & Milenial terhadap Capres, Parpol & Kampanye Pemilu 2024. https://cdn1.katadata.co.id/media/files/2023/11/14/2023_11_14-09_29_57_b79a6291bfdc96ed7cbd51505b9ca4d8.pdf
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (2023). Laporan Tahunan Komnas HAM RI 2022. https://www.komnasham.go.id/files/20230605-laporan-tahunan-komnas-ham-ri–%24WMOQ2Q.pdf
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. (2023, Desember). Catatan Akhir Tahun 2023: Jalan Asa Demokrasi. https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2023/12/CATAHU-LBH-Jakarta-2023.pdf
Tempo.co. (2024, 19 Agustus). KontraS: 254 mahasiswa terluka saat demo “Darurat Demokrasi”. https://www.tempo.co/arsip/taud-sebut-ada-254-korban-brutalitas-aparat-di-demonstrasi-kawal-putusan-mk–7973
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News