Childfree dan Masa Depan Bangsa: Refleksi Nilai Pancasila sebagai Dasar Negara

Fenomena childfree atau pilihan sadar untuk tidak memiliki anak kian ramai diperbincangkan di media sosial dan ruang publik dalam beberapa tahun belakangan.

Di Indonesia, pilihan ini memicu pro-kontra, terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai sosial dan budaya bangsa. Dalam berita Kompas.com (2025), Dr. Yulina Eva Riany, Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University, mengungkapkan bahwa tren childfree dapat berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap struktur demografi Indonesia.

Menurunnya populasi usia produktif dan meningkatnya rasio ketergantungan lansia menjadi ancaman nyata apabila pilihan childfree ini semakin berkembang luas dan berkepanjangan tanpa adanya upaya regulasi dan edukasi yang memadai.

Tulisan ini bertujuan membahas fenomena childfree dari perspektif Pancasila, khususnya dalam hubungannya dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam lima sila.

Bacaan Lainnya

Namun lebih dari itu, tulisan ini juga ingin menyoroti peran Pancasila sebagai dasar negara yang tidak hanya menjadi panduan moral, tetapi juga landasan dalam menyusun kebijakan publik, menjaga tatanan sosial, dan memperkuat identitas kebangsaan.

Baca juga: Fenomena Childfree di Kalangan Milenial dan Gen Z: Antara Hak Reproduksi dan Tekanan Sosial

Fenomena Childfree dan Tantangan Sosial

Tren childfree muncul sebagai bentuk ekspresi kebebasan individu dan sebagai respons terhadap berbagai faktor, seperti kekhawatiran atas ketidakstabilan ekonomi, perubahan peran gender, serta beban psikologis dalam membesarkan anak.

Menurut Dr. Yulina Eva Riany (Kompas.com, 2025), keputusan untuk tidak memiliki anak sering kali dilatarbelakangi oleh tingginya biaya hidup, beban kerja perempuan, serta kurangnya dukungan sosial terhadap orang tua, khususnya ibu.

Namun, jika pilihan ini menjadi tren masif tanpa pemahaman mendalam, hal ini dapat berkontribusi terhadap potensi krisis demografi di masa depan.

Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan adanya peningkatan dalam prevalensi childfree di Indonesia.

Pada 2019, persentase perempuan usia 15–49 tahun yang pernah menikah, belum pernah melahirkan, dan tidak menggunakan alat kontrasepsi tercatat sebesar 7 %.

Angka ini naik menjadi 8,2 % pada 2022, setara dengan lebih dari 71.000 perempuan. Selain itu, data dari Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi oleh pasangan usia subur juga meningkat, dari 56,04 % pada 2020 menjadi 56,26 % pada 2024.

Angka ini menunjukkan adanya perubahan pola pikir terkait peran keluarga dan reproduksi, terutama di wilayah perkotaan  seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang mencatat persentase childfree tertinggi pada 2022.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang masih memegang nilai-nilai kekeluargaan dan komunal justru menilai pilihan childfree ini sebagai bentuk egoisme dan pelanggaran terhadap ketentuan kodrat.

Padahal, penting untuk membedakan antara hak individu dan tanggung jawab sosial sebagai warga negara.

Di sinilah peran Pancasila menjadi penting sebagai dasar etis dan filosofis dalam merespons perbedaan nilai yang berkembang di masyarakat.

Telaah Fenomena Childfree dalam Perspektif Pancasila

Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama menempatkan nilai spiritualitas dan keimanan sebagai fondasi kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, pilihan untuk memiliki atau tidak memiliki anak sering kali dikaitkan dengan agama yang dianut oleh individu.

Mayoritas agama di Indonesia, termasuk Islam, Kristen, dan Hindu, mendorong umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan sebagai bagian dari ibadah.

Oleh karena itu, fenomena childfree perlu dikaji secara mendalam agar tidak menyalahi prinsip spiritualitas dan nilai agama yang menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Baca juga: Pandangan Generasi Z terhadap Perilaku dan Pola Asuh Anak Usia Dini

Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Pilihan untuk childfree tidak boleh serta-merta disalahkan dan dicemooh.

Pancasila sangat menghormati nilai-nilai kemanusiaan, termasuk menghargai hak kebebasan individu dalam memilih jalan hidupnya.

Namun, pilihan itu harus dijalankan dengan rasa tanggung jawab sosial dan kesadaran akan dampaknya terhadap masyarakat luas, termasuk dampak demografis jangka panjang.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Diskursus tentang childfree seharusnya tidak menjadi konflik dan polarisasi antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra.

Dalam semangat persatuan, perlu ada ruang dialog yang terbuka dan saling menghormati perbedaan pendapat dan pandangan.

Pemerintah dan masyarakat dapat memfasilitasi edukasi publik mengenai isu ini agar tidak menjadi sumber disintegrasi sosial.

Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Dalam menghadapi fenomena childfree, pemerintah perlu melibatkan para ahli, tokoh masyarakat,  dan organisasi perempuan dalam diskusi kebijakan.

Pendekatan musyawarah dan kebijakan yang inklusif dapat membantu menghasilkan solusi yang bijak, misalnya dengan menyediakan fasilitas parenting yang lebih ramah dan pemberian dukungan terhadap pasangan muda.

Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Fenomena childfree juga mencerminkan adanya ketimpangan dalam akses terhadap kesejahteraan sosial, pendidikan parenting, dan layanan kesehatan reproduksi.

Pemerintah perlu memastikan bahwa pasangan yang memilih untuk memiliki anak tidak terbebani secara ekonomi dan psikologis.

Di sisi lain, pasangan yang memilih childfree juga harus dilindungi dari diskriminasi, asalkan keputusan mereka tidak menimbulkan dampak negatif bagi tatanan sosial.

Baca juga: Apakah Islam Memperbolehkan Childfree?

Fenomena childfree mencerminkan dinamika sosial dan perubahan nilai dalam masyarakat Indonesia. Meskipun pilihan ini merupakan hak individu, tetapi tetap perlu disikapi dengan arif dan bijaksana dalam bingkai Pancasila sebagai dasar negara.

Dengan menempatkan Pancasila sebagai landasan utama dalam kebijakan dan kehidupan sosial, bangsa Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab kolektif, serta antara keberagaman dan kesatuan.

Oleh karena itu, pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bersama-sama membangun ruang dialog, edukasi, dan kebijakan yang solutif agar fenomena ini tidak berkembang menjadi masalah struktural di masa depan.

 

Penulis: Bebi Naraya Azzahra Faisal

Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Brawijaya

References 

Badan Pusat Statistik. (2023, Maret 6). Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia. Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. (2024). Persentase wanita usia 15–49 tahun dan berstatus kawin yang sedang menggunakan alat kontrasepsi, 2024. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjE4IzI%3D/persentase-wanita-berumur-15-49-tahun-dan-berstatus-kawin-yang-sedang-menggunakan-memakai-alat-kb.html

Binus University. (2024, February 3). Childfree: The rise of anti-natalism in Indonesia [Blog post]. Binus University. https://english.binus.ac.id/2024/02/03/childfree-the-rise-of-anti-natalism-in-indonesia/

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Paradigma.

Kompas.com. (2025, May 26). Ahli soroti dampak jangka panjang childfree, picu masalah demografi. https://lestari.kompas.com/read/2025/05/26/153300986/ahli-soroti-dampak-jangka-panjang-childfree-picu-masalah-demografi

Liputan6.com. (2025, May 27). Pakar IPB sebut tren childfree picu krisis demografi. https://www.liputan6.com/health/read/5595127/pakar-ipb-sebut-tren-childfree-picu-krisis-demografi

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses