Di tengah derasnya arus pembangunan dan investasi, masyarakat hukum adat di Indonesia justru menghadapi ancaman serius: kehilangan hak atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun.
Tanah adat bukan sekadar lahan fisik, melainkan simbol warisan budaya, identitas komunitas, dan sumber kehidupan yang telah ada jauh sebelum negara terbentuk.
Namun, dalam kenyataannya, keberadaan mereka kerap tidak diakui secara sah oleh negara.
Alih-alih memberikan perlindungan, negara seringkali justru menjadi aktor yang melemahkan posisi masyarakat adat.
Pengakuan hukum terhadap komunitas adat masih bergantung pada persyaratan administratif yang rumit, seperti surat keputusan (SK) dari pemerintah daerah.
Tanpa dokumen ini, wilayah adat dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Baca Juga:Â Perjuangan Hak Masyarakat Adat Suku Awyu
Padahal, sistem sosial dan hukum adat berlandaskan pada nilai-nilai kolektif, warisan lisan, serta legitimasi komunitas—bukan pada dokumen formal semata.
Sistem hukum nasional yang berorientasi pada pembuktian tertulis kerap gagal memahami kekayaan dan kerumitan hukum adat yang bersifat non-dokumenter dan hidup dalam praktik keseharian masyarakat.
Ketika tanah adat tidak terdaftar atau tidak bersertifikat, negara kerap menganggapnya sebagai tanah negara atau bahkan tanah terlantar, yang kemudian dapat dikuasai oleh pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan legal.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2023 terjadi lebih dari 350 kasus konflik agraria, mayoritas melibatkan masyarakat adat dengan korporasi yang mendapat izin pemerintah di sektor perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan properti.
Kasus Masyarakat Adat Kinipan di Kalimantan Tengah Menjadi Contoh Nyata
Hutan adat mereka diambil alih untuk perluasan perkebunan sawit. Saat mereka menyuarakan penolakan, justru berujung pada penangkapan dan tuduhan melawan hukum.
Mereka terpaksa menempuh proses hukum yang panjang, mahal, dan kerap berakhir tanpa keadilan.
Baca Juga:Â Penyimpangan Hukum yang Terjadi pada Masyarakat Adat di Papua
Situasi ini menunjukkan bahwa hukum tidak lagi berdiri sebagai pelindung keadilan, tetapi menjadi alat legal yang digunakan untuk menindas kelompok rentan.
Kondisi ini diperparah oleh belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang telah dibahas lebih dari satu dekade.
Padahal, RUU ini diharapkan menjadi landasan hukum nasional untuk menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
Sayangnya, pembahasannya terus tertunda karena tarik-ulur politik, konflik antar lembaga negara, serta kekhawatiran bahwa regulasi tersebut akan menghambat iklim investasi.
Hal ini mencerminkan orientasi pembangunan nasional yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada keadilan sosial.
Selama regulasi ini belum disahkan, pengakuan terhadap masyarakat adat sepenuhnya bergantung pada kemauan politik masing-masing pemerintah daerah.
Baca Juga:Â Penolakan Masyarakat Adat Suku Awyu terhadap Ancaman Deforestasi Perusahaan Sawit
Di sejumlah wilayah, ada pengakuan dan perlindungan yang progresif. Namun, di banyak daerah lain, masyarakat adat masih mengalami diskriminasi, pengabaian, bahkan pengusiran dari tanah leluhur mereka.
Persoalan tidak hanya berhenti pada regulasi. Sistem peradilan pun belum berpihak kepada masyarakat adat.
Banyak hakim masih berpegang pada pendekatan legal-formal yang mengharuskan bukti tertulis dalam perkara sengketa tanah.
Padahal, dalam tradisi hukum adat, bukti kepemilikan bersifat kolektif dan diwariskan secara lisan melalui kesaksian leluhur, ritual adat, atau pengetahuan lokal.
Ketika sistem peradilan mengabaikan bentuk bukti ini, maka keadilan menjadi sulit dicapai oleh masyarakat adat.
Tak jarang, ketika masyarakat adat mempertahankan hak atas tanahnya dari klaim perusahaan atau proyek pemerintah, mereka justru dikriminalisasi.
Baca Juga:Â Nyongkolan: Arak-Arakan Sakral dalam Simfoni Budaya, Identitas, dan Psikologi Kolektif Masyarakat Sasak
Banyak yang ditangkap, dituntut, bahkan dijatuhi hukuman pidana.
Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum dapat digunakan untuk membungkam pihak-pihak yang membela haknya sendiri, seolah-olah kritik terhadap pembangunan adalah bentuk perlawanan terhadap negara.
Dari perspektif hak asasi manusia, kondisi ini mencerminkan pelanggaran terhadap berbagai hak dasar masyarakat adat: hak atas tanah, hak untuk tidak digusur secara paksa, hak untuk didengar, serta hak atas perlindungan hukum yang adil.
Hak-hak ini telah dijamin dalam berbagai instrumen internasional, termasuk United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), yang juga telah diadopsi oleh Indonesia.
Tanpa pengakuan hukum yang sah, posisi masyarakat adat dalam pembangunan nasional sangat lemah.
Mereka menjadi korban dari sistem yang menuntut legalitas atas hak yang seharusnya diakui secara moral dan historis.
Baca Juga: Tradisi Ma’Nene pada Masyarakat Suku Toraja
Oleh karena itu, langkah-langkah konkret dan segera sangat diperlukan untuk mengakhiri ketimpangan ini.
Sebagai negara yang dibangun atas dasar keberagaman, Indonesia semestinya menjadikan perlindungan masyarakat adat sebagai indikator kematangan demokrasi dan supremasi hukum.
Tanah adat tidak hanya soal ruang fisik, tetapi juga ruang hidup yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Mengabaikannya sama saja dengan memutus akar jati diri bangsa.
Jika negara terus menunda pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat, maka ketidakadilan akan terus dibiarkan tumbuh, dan keunikan bangsa ini perlahan akan tergerus oleh arus pembangunan yang tidak berkeadilan.
Penulis: Gracita Daffa Wasiilah
Mahasiswa Prodi Hukum, Universitas Tidar
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News