Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam Hukum Tata Negara, partisipasi publik melalui media sosial, dan tantangan terhadap privasi menjadi isu-isu baru yang harus diakomodasi dalam Hukum Tata Negara Modern.
Globalisasi juga mempengaruhi konsep kedaulatan negara. Dalam dunia yang saling terhubung, negara tidak lagi dapat bertindak secara independen tanpa mempertimbangkan dampak global. Sebagai contoh, perjanjian internasional tentang perubahan iklim dan perdagangan bebas menunjukan bagaimana hukum tata negara harus beradaptasi dengan tantangan global.
Ketika Undang-Undang Dasar 1945 disusun, belum terbayang dunia di mana informasi menyebar dalam hitungan detik oleh perkembangan teknologi, pemilu bisa dipengaruhi buzzer anonim, menggunakan AI (Artificial Intelligence) dan warga negara dapat menyuarakan pendapatnya dalam berbagai karakter. Disinilah tantangan besar muncul: mampukah desain konstitusi yang lahir di era analog menjawab realitas era digital?
Desain konstitusi yang lahir di era analog secara prinsip masih mampu menjawab sebagian realitas di era digital, terutama karena nilai-nilai dasar seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasaan bersifat universal dan tetap relevan.
Seperti jaminan atas kebebasan berpendapat dalam konstitusi masih dapat digunakan untuk melindungi ekspresi warga negara diruang digital seperti media sosial. Selain itu konstitusi merupakan dokumen hidup yang dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman melalui lembaga seperti mahkamah konstitusi.
Namun, tantangan-tantangan muncul karena konstitusi era analog tidak secara eksplisit mengatur isu-isu seperti perlindungan data pribadi, keamanan siber atau kecerdasan buatan (AI). Hal-hal tersebut diperparah oleh lambatnya proses legislasi dan adaptasi birokrasi terhadap kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, meskipun secara prinsipil masih relevan, konstitusi era analog membutuhkan penyesuaian berupa interpretasi progresif, legislasi turunan yang responsif, dan jika perlu, amandemen terbatas agar mampu menjawab tantangan zaman secara komprehensif.
Dalam konteks ini, penting pula untuk mempertanyakan bagaimana konstitusi memberi batas yang adil di tengah perkembangan teknologi yang cepat dan kompleks.
Konstitusi idealnya berfungsi sebagai penyeimbang antara kebebasan individu dan kepentingan umum, termasuk dalam dunia digital. Batas yang adil berarti memberikan ruang dan kebebasan berekspresi dan berinovasi, namun tetap menjamin perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran privasi, atau disinformasi.
Batasan ini harus bersifat adaptif dan proporsional, atau tidak mengekang kemajuan, tetapi juga tidak membiarkan kekacauan. Di sisi lain, batas itu juga harus mengatur tanggung jawab aktor digital seperti platform media sosial dan korporasi teknologi yang memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik.
Dengan demikian, keadilan konstitusional dalam dunia digital tidak cukup dengan jaminan lewat text, tetapi harus diwujudkan melalui tafsir, kebijakan, dan pengawasan yang responsif terhadap dinamika zaman.
Hal ini membawa kita pada tantangan serius yang dihadapi oleh Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan norma konstitusi di tengah dunia yang sangat teknologis dan cepat berubah.
Mahkamah Konstitusi berada di garda depan untuk menjaga agar konstitusi tetap hidup dan relevan, namun peran ini tidak mudah dijalankan, Mahkamah Konstitusi dituntut untuk memahami realitas digital yang sangat teknis dan berkembang pesat, seperti kecerdasan buatan dan enkripsi data, hingga ekosistem platform dunia digital global.
Baca juga:Â Putusan MK dan Etika Pancasila: Menegakkan Nilai Kemanusiaan Di Era Digital
Dilema muncul antara menjaga stabilitas hukum dan kebutuhan akan inovasi dalam putusan, sementara di saat yang sama Mahkamah Konstitusi juga menghadapi keterbatasan keahlian teknologi serta minimnya preseden.
Untuk itu, Mahkamah Konstitusi perlu memperkuat kapasitas melalui riset hukum digital, kolaborasi dengan ahli teknologi dan membentuk preseden yang adil bagi dunia digital. Tafsir konstitusi kini harus melampaui teks dan sejarah, dengan pemahaman menyeluruh atas konteks digital yang terus berkembang.
Tantangan hukum tata negara modern terletak pada kemampuan desain konstitusi negara untuk tetap menjamin keadilan, perlindungan hak, dan keseimbangan kekuasaan di tengah era digital yang terus berkembang.
Desain konstitusi di era digital bukan sekedar persoalan teknis perumusan norma, tetapi menyangkut komitmen terhadap nilai-nilai konstitusional yang hidup dan adaptif. Oleh karena itu, masa depan hukum tata negara sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga penafsirnya mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penjaga keadilan dan demokrasi.
Penulis:Â Gea Amalia Eka Putri Devina
Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News