Islam Liberal merupakan mazhab baru dalam pemikiran Islam Indonesia. Perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya pemikiran Islam di negeri ini memang tidak pernah berhenti, oleh karena itu memang selalu menarik untuk diamati.
Tampaknya perkembangan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dilepas begitu saja dari perkembangan pemikiran keagamaan yang terjadi di Amerika, Eropa, maupun di Jazirah Arab.
Selain di kalangan Katolik-Kristen, di kalangan Islam sendiri terdapat beberapa pemikir yang turut memengaruhi perkembangan pemikiran Islam, diantaranya Fazlur Rahman, intelektual Pakistan yang terkenal dengan pemikiran Neomodernisme Islam, yang tertuang dalam karyanya Islam and Modernity Chicago (1980), Islam (1984), dan Pintu Ijtihad (1988).
Baca Juga: Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman
Perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia sebenarnya telah mulai sejak prakemerdekaan. Waktu itu berkembangan organisasi modern pertama di Indonesia yang bercorak keislaman, Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam berdiri di Solo, di mana tokohnya Hos. Cokroaminoto dan H. Agus Salim merupakan pemikir-pemikir Islam modernis, bisa dikatakan liberal.
H. Agus Salim telah merumuskan perlunya paham sosialisme Islam demikian juga Hos Cokroaminoto, merumuskan perlunya sosialisme Islam. Sekali pun organisasi ini lebih banyak terjun di wilayah politik, ketimbang pengembangan wacana keagamaan.
Dalam perkembangannya, SI lebih bercorak politik ketimbang perkembagan pemikiran Islam namun tetap berkontribusi dalam pengembangan atau paling kurang memberikan suntikan terjadinya pertumbuhan pemikiran Islam Indonesia.
Akibat wacana politik yang dominan, SI akhirnya terpecah menjadi SI merah pimpinan Soemaoen, dan belakangan dikenal dengan H. Misbah berbasis di semarang, dan SI Putih Pimpinan H. Agus Salim dan Hos. Cokroaminoto yang berbasis di solo. Pemikiran Kaum SI waktu itu sangat modern bahkan radikal.
Perkembangan pemikiran Islam liberal dapat dilacak dalam berbagai gerakan pembaruan dan modernisme Islam di Indonesia pada akhir abad ke-20. Kemunculannya di Indonesia boleh dikatakan lebih belakangan dibandingkan di negara-negara Islam lainnya, seperti Mesir dan Pakistan yang lebih dahulu mengenalkan pemikiran ini.
Baca Juga: Islam Puritan dan Pengaruhnya bagi Kehidupan Beragama
Wacana pemikiran Islam liberal muncul kali pertama di Indonesia oleh Greg Barton dalam bukunya yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Pemikiran neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, dan Abdurahman Wahid) pada 1999.
Semenjak itu, wacana pemikiran Islam liberal menjadi populer, yang kemudian diteruskan oleh Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam dan oleh Ulil Abshar Abdalla yang tergabung dalam organisasi JIL.
Sebagian tokoh liberal rata-rata mulai berkembang pada 1970-an, karena pada waktu itu, kaum intelektual Islam yang mendapatkan pengaruh pemikiran dari Timur Tengah dan Barat mulai muncul seperti Harun Nasution dan Abdurrahman Wahid.
Dalam konteks ini keduanya mendapatkan banyak pengaruh dari pemikir liberal Mesir, seperti Ali Abdul Raziq, Rifaat Al-Tahtawi, dan Thaha Husein. Harun Nasution dan Abdurrahman Wahid memiliki pengaruh paling mendalam dalam penyebaran pemikiran Islam liberal di Indonesia, terutama di IAIN dan Nahdhatul Ulama (NU).
Kemudian pada masa awal pemerintahan Orde Baru secara sistematis, para tokoh Masyumi dan membatasi ruang gerak tokoh Islam yang bergerak dalam bidang politik dengan cara menolak melakukan revitalisasi Partai Masyumi. Secara tidak langsung, Pemerintah Orde Baru membolehkan Islam.
Baca Juga: Westernisasi dan Dampak Negatifnya bagi Umat Islam
Pemikiran keagamaan Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, dan adanya perkembangan tersebut tidak hanya pada tatanan ideologis politik akan tetapi, juga dalam praktik politik, terutama pada masa reformasi 1998.
Perubahan pemikiran ini, justru dilakukan oleh kelompok yang pada awalnya termasuk dalam golongan tradisionalis, yaitu kelompok yang mulanya sangat akrab dengan tradisi-tradisi pesantren, kemudian memahami pemikiran Barat kontemporer, seperti: filsafat, sosiologi, politik, dan sastra.
Dapat dikatakan kelompok inilah yang menjadi tonggak awal pemikiran Islam Indonesia. Yaitu, mereka memberikan makna yang lebih dalam tentang Islam berhadapan dengan modernisasi dan demokratisasi. Pemahaman mereka, kemudian dikemas dalam tradisi yang sangat modern.
Dari kelompok di atas kemudian, muncul nama-nama seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Djohan Efendy, dan Ahmad Wahib. Dari mereka ini kemudian, mengadakan refleksi kritis terhadap pemikiran Islam Indonesia era tahun 1970-an sampai 1980-an.
Dari era Nurcholis Majid dkk ini, kemudian dikenal dengan “pembaruan pemikiran Islam Indonesia”. Para intelektual ini, sangat apresiatif terrhadap modernisme, demokrasi, pluralisme serta sekularisasi. Sehingga, dalam hal pemikiran mereka dapat digolongkan sebagai kelompok pemikir, yang dikenal dengan Neo Modernisme.
Baca Juga: Relevansi Pemikiran Islam Harun Nasution dalam Pendidikan Era Modern di Indonesia
Suatu pemikiran yang identik dengan Fazlurrahman sebagai pencetusnya. Neo Modernisme, merupakan pemikiran Islam yang timbul dari Modernisme, tetapi di sisi lain paham ini, juga tertarik terhadap pengetahuan tradisional.
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan suatu hal yang sangat mungkin, dalam membentuk pikiran seseorang. Termasuk para tokoh intelektual di atas.
Masuk dan berkembangnya paham Islam liberal akarnya bisa dilihat dari para tokoh yang dianggap sebagai tokoh pra Islam liberal, seperti Nurcholis Majid, yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri yaitu Chicago dan menyelesaikan program doktornya pada tahun 1984 dengan mengambil konsentrasi filsafat/ pemikiran Islam.
Hal yang sama juga terjadi pada Abdurrahman Wahid, pemikirannya bisa dikatakan dipengaruhi oleh intelektual Timur Tengah, karena Ia juga pernah menempuh pendidikannya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurun waktu dua setengah tahun.
Salah satu intelektual yang berpengaruh terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid adalah Muhammad Abduh, karena Ia pernah mengajar di Universitas Al-Azhar. Latar belakang pendidikan, memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemikiran seseorang.
Baca Juga: Devide et Impera; Islam Tersekat, Indonesia Darurat
Apalagi Nurcholis Majid yang pernah menempuh pendidikan Chicago, pada saat menyelesaikan program doktornya. Fazlurrahman pernah menjadi pengajar di sana. Melalui dua tokoh pemikir tersebut kemudian, pada pertengahan tahun 2001 melalui sponsor sebuah funding agency, yaitu The Asian Foundation (TAF).
Dalam hal ini, tampil kelompok anak-anak muda yang rata-rata berumur 35-45 tahun tergabung dalam Jaringan Islam Liberal, yang bermarkas di Utan Kayu Jakarta Selatan yaitu di Komunitas Utan Kayu. Pada awalnya tempat ini merupakan tempat yang banyak mendiskusikan masalah-masalah sastra, kebudayaan, dan sosial politik.
Secara kelembagaan awalnya JIL berdiri dibawah ISAI (institute Studi Arus Informasi). Yaitu, semacam bidang kajian atau diskusi Islam pada lembaga tersebut. Kantor ISAI juga berada di Utan Kayu. Kelahiran Jaringan Islam Liberal baik secara sosiologis maupun ideologis, pelopornya adalah para intelektual muda, baik dari kubu tradisionalis, maupun dari kubu modernis.
Akar liberalisme di kalangan tradisionalis terletak pada penghargaan terhadap tradisi/ budaya lokal, sedangkan adanya modernisme akarnya terbentuk melalui interaksi intensif dengan rasionalisme. Tokoh dari kalangan tradisionalis misalnya Ulil Abshar Abdalla dan Luthfie Assyaukani, dari kalangan modernis ada Syaiful Muzani dan Hamid Basyaib.
Organisasi ini didirikan untuk mengamodasikan kecenderungan Islam liberal yang berkembang di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Walaupun, kelahirannya baru pada 8 maret 2001, namun sejarah jaringan ini jauh sebelum tanggal tersebut.
Ada upaya panjang untuk membangun jaringan ini, termasuk adanya beberapa kelompok diskusi yang diselenggarakan oleh para intelektual muda Muslim di IAIN Jakarta dan Paramadina. Reputasi JIL makin meningkat terutama disebabkan program Islam dan masyarakat sipil yang diselenggarakan oleh komunitas Teater Utan Kayu (TUK), sebuah komunitas yang dipimpin oleh sastrawan terkenal Goenawan Mohammad.
Goenawan Mohammad yang dikenal sebagai pemimpin Majalah Tempo, tidak banyak terdengar dalam hal gagasannya tentang Islam. Majalah Tempo, waktu itu merupakan majalah mingguan terbesar di Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan komunitas ini, antara lain melakukan proyek riset, publikasi buku, stasiun radio, pertunjukkan seni, dan forum diskusi. Komunitas ini juga menerbitkan majalah dan jurnal. Program Islam dan masyarakat sipil adalah merupakan kerja sama antara TUK dan TAF yang dikelola Ulil Abshar Abdalla, yang kala itu merupakan direktur program di TUK.
Namun, dari TAF ini dana yang didapatkan hanya dalam kurun waktu 2001 hingga pertengahan 2005. Sejak pertengahan 2005, JIL tidak lagi mendapatkan kucuran dana tahun dari TAF. Sejak saat itu dana di JIL, diperoleh dari sumbangan sukarela.
Salah satunya dari pemilik Komunitas Utan Kayu, yaitu Goenawan Muhammad. Selain itu, dana juga diperoleh dari para simpatisan. Adanya komunitas ini, memberikan dukungan terhadap JIL. Sehingga hal ini, dimanfaatkan dengan baik oleh JIL.
Misalnya, dalam mempromosikan pemikiran mereka, salah satunya lewat radio. Hal tersebut tentu sangat menguntungkan bagi JIL, dalam menyebarkan pemikiran mereka terhadap publik.
Baca Juga: Muslim Cerdas Menyikapi Waktu di Zaman Teknologi Modern
Selain itu, nama besar dari Goenawan Mohammad juga menjadi hal yang penting bagi JIL. misalnya dalam membangun sindikasi media, tempat jaringan menerbitkan berbagai artikel di satu halaman penuh koran Jawa Pos.
Kelahiran sebuah gerakan pemikiran seperti halnya JIL ini tidak mungkin lahir begitu saja, tanpa ada alasan yang melatarinya. Dalam website resmi JIL yaitu www.islamlib.com menyebutkan bahwa kelahiran JIL dilatari karena banyaknya gerakan Islam yang bersifat militan dan Islam fundamentalis.
Kelahiran JIL disini bermaksud untuk menghambat dari adanya gerakan Islam militan maupun Islam fundamentalis. Jaringan Islam Liberal mewadahi pengembangan pemikirannya yang kritis, pluralis, dan membawa misi pembebasan.
Adanya jaringan ini seperti yang disebutkan sebelumnya, merupakan respon terhadap menguatnya ekstrimisme dan fundamentalisme agama. Jaringan ini memanfaatkan kemajuan multimedia untuk menyebarkan gagasannya. Misalnya, melalui koran, radio, dan internet.
Karena gagasan yang mengundang kontroversi maka selama menyebarkan gagasan-gagasannya, JIL banyak mengalami serta terlibat ketegangan dengan kalangan muslim literal. Kelahiran Islam liberal ini, dapat dikatakan sebagai respon terhadap berbagai gerakan yang bersifat fundamental dan radikal.
Mereka mengeluarkan pemikiran-pemikiran mereka, untuk menandingi pemikiran-pemikiran yang mereka anggap ortodok, kolot, dan tidak bisa menyesuaikan dengan realita sosial. Kalangan Islam liberal ini, seolah ingin menunjukkan pemikiran-pemikiran yang bagi mereka cocok dengan era modern.
Baca Juga: Implementasi Kalam Modern pada Pendidikan Islam Moderat di Era Globalisasi
Tidak hanya itu saja, mereka bahkan mengkritisi pemikiran para fundamentalis Islam, yang sudah dianggap kuno dan merugikan beberapa pihak, karena pemikiran mereka yang konservatif. Hal ini, memang sangat kontras dengan pemikiran di kalangan Islam liberal, yang mereka sebut toleran, modern, dan memandang segala sesuatu sesuai dengan konteks kekinian.
Jaringan Islam Liberal menjadi dikenal secara nasional, setelah Ulil Abshar Abdalla menulis sebuah artikel di koran harian Kompas pada 18 November 2002 yang sangat kontroversial, artikel tersebut berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.
Pemikiran Ulil Abshar, yang tertuang dalam sebuah artikel yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam tersebut secara frontal para pemikir yang berseberangan dengan pemikirannya memberikan tanggapan terhadap artikel tersebut.
Berbagai kecaman muncul terhadap artikel Ulil Abshar tersebut. Namun, di samping itu ada beberapa pihak yang menaruh simpati terhadap pemikiran Ulil ini, bahkan ada yang sepaham dengan pemikiran tersebut.
Berbagai pro dan kontra terhadap artikel ini, kemudian dikemas dalam satu buku, yang berisi wacana-wacana. Baik yang pro maupun kontra. Pemikiran Islam liberal secara umum ataupun JIL, lebih banyak berbicara tentang masalah muamalah, dari pada berbicara masalah ibadah.
Baca Juga: Pembaharuan Pemikiran Islam: Mengandeng Isu Lingkungan
Tema-tema yang diangkat oleh JIL bukan merupakan tema yang bersifat baru, akan tetapi, tema yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Seperti masalah formalisasi syariat Islam, kontekstualisasi jihad, pluralisme dan toleransi, historitas Al-Qur’an, emansipasi dan hak-hak wanita.
Namun, yang paling banyak mendapat sorotan sekaligus tanggapan adalah masalah syariat Islam. Tidak sedikit yang memandang bahwa aktivitas pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh JIL merupakan sebuah penyimpangan dalam Islam, maka menurut mereka yang kontra, pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh JIL tidak bisa disebut dengan pembaruan.
Karena, gagasan-gagasan yang digulirkan oleh JIL dianggap menyimpang dari norma-norma Islam. Akan tetapi, di samping banyak yang kontra terhadap gagasan yang JIL lontarkan ada pula kalangan-kalangan yang menunjukkan simpati terhadap pemikiran-pemikiran JIL.
Biodata Penulis:
Nama: Alfina Lailaturrahmah Damayanti
Mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Editor: Ika Ayuni Lestari