Politik identitas menjadi salah satu tren politik yang merajalela di Indonesia. Jenis politik ini menggunakan aspek-aspek identitas sosial, seperti agama, etnis, suku, atau gender, sebagai landasan untuk memajukan agenda politik tertentu.
Peran politik identitas bisa menjadi kekuatan besar dalam dunia politik, karena mampu menggerakkan massa dan mencapai kemenangan dalam kontes pemilihan umum. Dalam konteks Pilkada, konflik antar kelompok kerap muncul dan seringkali terkait dengan isu-isu seperti kelompok, suku, agama, ras, dan jenis kelamin dari pasangan calon Kepala Daerah.
Meskipun konflik dalam Pilkada bukan hal baru, kejadian yang paling mencolok dan menarik perhatian masyarakat Indonesia terjadi pada Pilkada DKI tahun 2017.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi salah satu pilkada paling panas di Indonesia. Dalam pilkada ini, terjadi persaingan sengit antara pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) dengan pasangan calon Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi).
Kemenangan Anies-Sandi dengan perolehan suara 57,95% menunjukkan bahwa politik identitas menjadi faktor utama dalam pilkada ini. Dimulai saat Basuki Cahaya Purnama, yang sering disebut Ahok, menjabat sebagai Gubernur DKI pada saat itu dan melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada tanggal 30 September 2016.
Pada kesempatan tersebut, Ahok menyampaikan pidato di depan warga yang menyertakan kutipan dari Surat Al Maidah ayat 51, yang memicu respons yang kontroversial dari masyarakat. Sebagian besar umat Islam merasa tersinggung karena mereka menganggap Ahok telah merendahkan Surat Al-Maidah dalam pidatonya.
Berdasarkan informasi dari Komisi Pemilihan Umum, Pasangan Calon Gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno berhasil memenangkan Pilkada DKI 2017 dengan meraih 3.240.332 suara atau 57,95% dari total suara sah.
Keberhasilan ini telah membuat beberapa pihak menyimpulkan bahwa strategi politik identitas berhasil digunakan sebagai sarana untuk memenangkan Pemilihan Umum, terutama ketika terdapat perbedaan signifikan dalam identitas antara pasangan calon. Pembentukan politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017 disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
- Terdapat salah satu pasangan calon yang berasal dari dua minoritas, yaitu Cina (Tionghoa) dan Kristen.
- Pidato Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang menyinggung Surat Al Maidah 51 yang memicu reaksi pro kontra dalam Masyarakat.
- Media sosial berperan sangat besar dalam proses pembentukan politik identitas masyarakat Muslim di Jakarta, terutama ketika Buni Yani mengunggah video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menjadi viral dan memancing kemarahan sebagian besar umat Muslim.
- Aksi bela Islam yang dimotori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), berhasil memobilisasi massa umat Islam yang merasa marah atas penghinaan Al-Quran oleh Ahok untuk menuntut agak segera diproses secara hukum.
Kasus ini telah menjadi pemicu yang menyatukan dan menginspirasi umat Islam di Jakarta dan di luar Jakarta untuk turut serta dalam sebuah gerakan mendukung Al-Quran dan Islam. Peristiwa aksi damai 212 di Monas dianggap sebagai bagian dari upaya politik identitas masyarakat Muslim DKI Jakarta.
Meskipun dianalisis secara mendalam, aksi damai 212 tidak hanya relevan bagi masyarakat Muslim DKI Jakarta, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar wilayah tersebut, bahkan termasuk masyarakat Muslim di negara lain. Gerakan ini bukan hanya fenomena sosial-keagamaan semata, melainkan juga menjadi peristiwa bersejarah yang sangat monumental, terutama bagi umat Islam di Indonesia.
Perhatian terhadap peristiwa ini tidak hanya terjadi di dalam negeri, melainkan juga menarik perhatian secara global, terutama di kalangan negara-negara Islam. Ini lebih diperkuat oleh partisipasi yang diperkirakan mencapai 7 juta orang dalam aksi super damai 212, yang diyakini memiliki dampak signifikan terkait dengan isu identitas keagamaan Islam.
Politik identitas sebenarnya dapat menjadi landasan bagi kekuatan politik Islam, di mana ukhuwah Islamiyah menjadi bagian integral dari proses politik identitas. Keberadaan ukhuwah Islamiyah memungkinkan penyatuan identitas agama dan identitas kemanusiaan dalam ikatan keyakinan, iman, atau kekuatan tauhid. Dengan kehadiran ukhuwah Islamiyah yang kokoh, kekuatan politik Islam dapat terbentuk dan berkembang secara alami.
Jika dianalisis dengan cermat, politik identitas di tengah masyarakat Muslim DKI Jakarta selama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dapat dijelaskan lebih dalam dalam konteks ideologis. Ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Muslim DKI Jakarta untuk memandang keyakinan agama Islam sebagai dasar dan landasan dalam sikap serta tindakan politik mereka saat menentukan pilihan politik.
Mereka lebih condong menolak kandidat pemimpin yang bukan beragama Islam dengan ungkapan seperti “Karena saya Muslim, maka saya pilih Anies,” seperti yang diungkapkan oleh sebagian warga DKI Jakarta.
Ungkapan lain seperti “Asal Jangan Ahok” mencerminkan kesadaran masyarakat DKI Jakarta yang beragama Islam terhadap pentingnya memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai mereka untuk memimpin selama lima tahun mendatang.
Hal ini sejalan dengan pandangan Ali Syariati bahwa ideologi adalah kesadaran diri khusus manusia yang membimbingnya untuk bersedia berperang, berkorban, dan tunduk.
Ada beberapa implikasi dari keberhasilan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Pertama, hasil tersebut mencerminkan bahwa politik identitas agama masih memiliki peran penting dalam dunia politik Indonesia. Dimensi politik identitas dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan dukungan massa dan meraih kemenangan dalam pemilihan.
Kedua, kemenangan tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mengalami polarisasi berdasarkan faktor agama. Perbedaan agama menjadi salah satu faktor penentu dalam keputusan politik masyarakat. Ketiga, hasil tersebut dapat memicu pertumbuhan lebih lanjut politik identitas di Indonesia, yang berpotensi mengancam demokrasi dan harmoni sosial di negara ini.
Oleh karena itu, perlu diupayakan agar politik identitas tidak mendominasi arena politik Indonesia. Upaya diperlukan untuk memperkuat toleransi dan saling pengertian antarumat beragama. Selain itu, perlu dibangun politik yang lebih inklusif dan tidak bergantung pada identitas tertentu.
Penulis: Muhammad Dzaky Riandi
Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News