Masyarakat Minangkabau adalah kelompok etnik nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Masyarakat ini memiliki keanekaragaman warisan budaya, mulai dari kebudayaan adat istiadat, lisan, dan tulisan.
Salah satu contoh dari warisan budaya yang paling terkenal itu antaranya Tabuik, Turun Mandi, Kaba, Randai, Pantun, Pepatah dan Petitih, dan Tambo.
Tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan tulis Minangkabau yang masih berperan hingga zaman sekarang.
Tambo ini sendiri merupakan karya sastra yang berisikan tentang kisah-kisah berupa sejarah suku bangsa, negeri, dan adat Minangkabau.
Tambo disampaikan secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat, fungsinya untuk memberikan pengajaran kepada kamanakan terkait dengan pembagian warisan harta, atau mengukuhkan kedudukan penghulu sebagai pemimpin dalam masyarakat.
Baca Juga: Pengaruh Bob Dylan pada Abad ke-20 terkait Penulisan Lagu serta Kesusastraan dalam Budaya Amerika
Tambo berasal dari bahasa sanskerta, yaitu tambay atau tambe yang memiliki arti “bermula”. Hal ini dikaitkan karena Tambo membahas sejarah awal bermulanya sesuatu.
Terkait dengan itu, Tambo memiliki dua pembagian jenis, yakni Tambo Adat dan Tambo Alam.
Tambo Adat mengisahkan tentang asal-usul nenek moyang serta bangunnya Kerajaan Minangkabau, sedangkan Tambo Adat lebih menjelaskan tentang adat atau sistem, serta aturan pemerintahan yang berlaku di Minangkabau pada masa terdahulu saat itu.
Tambo ini dituliskan menggunakan bahasa aksara Jawi (Arab–Melayu). Penyampaian kisah tambo ini hanya disesuaikan dengan keperluan dan keadaan, jadi tidak ada sistematika tertentu untuk menyampaikan kisah tambo.
Ada kalanya bahkan Tambo juga menceritakan tentang sejarah bangsa selain dari Minangkabau, contohnya seperti sejarah dari bangsa Melayu, sejarah dari Kerajaan Majapahit, bahkan juga sejarah Islam.
Secara umum, penulisan Kembali atau penyalinan Tambo dilakukan oleh orang-orang surau atau orang yang ahli di keagamaan, maka dari itu Islam dan Tambo memiliki keeratan yang signifikan, yang mana Islam ini sendiri memberikan pengaruh positif terhadap kebudayaan tulisan Minangkabau.
Baca Juga: Masa Depan Sastra Digital: Bagaimana Generasi Z Mengubah Wajah Sastra Indonesia?
Di Sumatera Barat, terdapat berbagai macam Tambo. Beberapa diantaranya yaitu, Tambo Loyang di Pariangan, Tambo Sawah Tangah, Tambo Pagaruyuang, Tambo di Lasi Canduang, Tambo di Simanggalang, dan Tambo di Aie Tabik.
Tambo Adat
Tambo Adat berisi tentang undang-undang, norma, dan peraturan yang berlaku di alam Minangkabau.
Tambo ini juga mengandung tentang syarat-syarat untuk berdirinya sebuah nagari, bentuk pimpinan dari nagari, dan tentang peraturan norma sosial, seperti petunjuk untuk bertutur kata dan bertingkah laku yang sesuai, dan cara bersikap sesuai dengan posisi di dalam hubungan sosial masyarakat.
Laras nan Dua
Di dalam Tambo, disebutkan bahwa di Minangkabau menganut dua sistem pemerintahan, yaitu Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kedua-duanya dipimpin oleh Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Dua sistem ini terpisah dikarenakan perbedaan latar belakang, hingga akhirnya kedua datuak pun setuju untuk membagi kedua sistem pemerintahan mereka masing-masing.
Raja Tiga Sila
Setelah periode zaman pemerintahan Datuak Katumangguangan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan Cati Bilang Pandai yang erat disebut sebagai “ninik nan batigo” (tiga serangkai), inti pemerintahan di Pagaruyuang memiliki struktur yang lain, yakni Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung, sekaligus berwenang sebagai kepala pemerintahan.
Raja Adat yang berkedudukan di Buo, sekaligus berwenang sebagai pengurus dalam urusan undang-undang dan hukum.
Dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus, yang berwenang di dalam urusan keagamaan. Ketiga Raja inilah yang disebut dengan “Rajo Tigo Selo” (Raja Tiga Sila).
Basa Empat Balai
Raja Alam, atau kepala pemerintahan di Pagaruyuang turut dibantu oleh suatu Lembaga yang bernamakan Basa Empat Balai (Pembesar Empat Balai).
Keempat pembesar tersebut memiliki pembagian tugasnya tersendiri, yaitu seperti berikut:
Bandaro di Sungai Tarab
Bandaro di Sungai Tarab, dijuluki sebagai Pamuncak Koto Piliang yang berkedudukan di Nagari Sungai Tarab.
Andomo di Saruaso
Andomo di Saruaso, yang dijuluki sebagai Puro Panuah Koto Piliang. Pembesar di bidang perbendaharaan yang berkedudukan di Nagari Saruaso.
Mangkudum di Sumanik
Mangkudum di Sumanik, dijuluki sebagai Aluang Bunian. Pembesar di bidang keamanan yang berkedudukan di Nagari Sumanik.
Tuan Kadi di Padang Ganting
Tuan Kadi di Padang Ganting, yang dijuluki sebagai Suluah Bendang di Koto Piliang. Pembesar di bidang keagamaan yang berkedudukan di Nagari Padang Ganting.
Tambo Alam
Tambo Alam memuat isi yang mengisahkan tentang asal-usul alam Minangkabau, beserta dengan asal penamaan Minangkabau itu sendiri. Selain itu, Tambo alam juga memuat tentang sejarah dari bangsa yang lain.
Asal Usul Alam Minangkabau
Asal usul Minangkabau dimulai dari tiga orang putra dari Sultan Iskandar Zulkarnain, seorang Raja Makedonia.
Yang tertua bernama Maharaja Alif, menjadi raja di benua Ruhun (Romawi Timur). Yang Tengah bernama Maharaja Dipang, menjadi raja di benua Cina. Dan terakhir, yang bungsu bernama Maharaja Diraja bepergian ke arah selatan dengan berlayar.
Dia mendarat ke suatu daratan yang bernama Lagunda nan Beselo (Legundi yang bersila), hingga seterusnya menuju ke Gunung Merapi yang nantinya diberi nama Pariangan dan Padang Panjang.
Baca Juga: Paradoks Matrilineal di Minangkabau
Asal Usul Nama Minangkabau
Nama Minangkabau berasal dari kata ‘Manang’ yang berarti menang, dan ‘Kabau’ yang berarti kerbau.
Menurut legenda, nama ini muncul dikarenakan pertikaian antara kerajaan Minangkabau dengan pihak kerajaan Jawa (Majapahit) yang menuntut pengakuan kekuasaan di Melayu.
Untuk itu, Kedua belah pihak lalu sepakat untuk mengadakan pertandingan adu kerbau yang pada akhirnya dimenangkan oleh kerajaan Minangkabau.
Pada saat itu, pasukan asing menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang masih menyusu lalu dikarantinakan serta dipuasakan beberapa hari sebelum pertempuran.
Dalam pertempuran, anak kerbau dipasangkan tanduk runcing besi, sehingga anak kerbau yang masih menyusui tersebut menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya.
Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Baca Juga: Angkatan 2000an Disebut Sebagai Sastra Indonesia Mutakhir, Mengapa?
Kesusastraan tulis Minangkabau merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Sebagai masyarakat yang mempunyai beraneka ragam peninggalan kesusastraan tulis,
Minangkabau memiliki beragam bentuk sastra tulis yang telah dilestarikan dari generasi ke generasi.
Meskipun kaya akan nilai-nilai, kesusastraan tulis Minangkabau menghadapi tantangan dalam pelestariannya.
Salah satunya antara lain, efek dari modernisasi, pengaruh budaya asing, dan kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari kesusastraan tulis ini.
Untuk itu, diperlukannya tindakan untuk meningkatkan awareness bagi generasi muda, agar kesusastraan yang sudah dilestarikan ini tidak memudar di masa kedepannya.
Penulis: Frisnadhea Gusvita
Mahasiswa Prodi Sastra Jepang, Universitas Andalas
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Grafiti Pers
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News