Aksiologi Pendidikan Sekolah

Pendidikan Sekolah
Ilustrasi Pendidikan Sekolah (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Dalam kajian filsafat kita mengenal istilah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi berbicara tentang hakikat dari sesuatu yang ada, definisi, bahasan, dalam bentuk pertanyaannya seperti:

Apa itu? Siapa dia? Sedangkan epistemologi adalah teorinya, metodenya, sumbernya, bentuk pertanyaannya seperti bagaimana cara?

Aksiologi membahas tentang manfaatnya, kegunaannya, nilainya, bentuk pertanyaannya bagaimana implementasi teori? Untuk apa teori ini digunakan?

Bacaan Lainnya

Kita akan membahas sedikit mengenai aksiologi ini kaitannya dengan pendidikan.

Dalam filsafat pendidikan, aksiologi berarti nilai, kemanfaatan dari suatu ilmu yang diajarkan melalui pendidikan, bagaimana memahami lalu mengimplementasikannya, dan mengaktualisasikannya.

Pendidikan di kita umumnya identik dengan dunia sekolah, di sana diajarkan beberapa mata pelajaran yang sama bagi peserta didiknya, mau itu disukai, diminati, ada manfaatnya untuk peserta didik kelak  atau tidak.

Beberapa hari ke belakang penulis menghadapi seorang peserta didik sekolah menengah yang mogok belajar, orangtuanya mengeluh anaknya tidak mau lagi sekolah.

Karena ia membayangkan harus mengikuti beberapa mata pelajaran, mengerjakan tugas-tugasnya, menjawab soal-soal ujian semester dengan belasan mata pelajaran yang tidak diminati sama sekali.

Ia mengaku pusing, hari-harinya hanya berdiam diri di kamar, belakangan tidak bisa ditanya, hanya diam seribu bahasa, penulis pun melakukan home visit, anak itu tidak mau keluar kamar, penulis menghampiri dan mengajukan beberapa pertanyaan.

Akhirnya ia pun setuju akan kembali ke sekolah, beberapa hari kemudian ia memang berangkat ke sekolah di antar orangtuanya.

Namun ketika mendekati gerbang sekolah ia lari entah kemana dan tidak pernah sampai ke kelas, kejadian ini berulang hampir satu minggu.

Orangtuanya menyerah, mereka sudah berusaha dan kehabisan cara membujuk anaknya supaya sekolah, ada rasa sangat sedih, penulis menyarankan untuk mencari sekolah lain atau ikut kursus yang diminati, karena belajar di mana pun sama, dengan harapan minat dan bakatnya cepat ditemukan.

Orangtuanya berterimakasih menerima dukungan, dengan putus asa mereka meminta maaf karena tidak bisa mendidik anaknya menjadi “penurut”.

Sebenarnya bukan tidak bisa mendidik, karena memang ada beberapa anak yang kurang cocok dengan sistem pembelajaran model sekolah, sebenarnya tidak apa-apa, toh masih ada pendidikan dengan alternatif lain, daripada anaknya stress.

Orangtua yang terkadang memaksa anaknya harus tetap sekolah dengan berbagai kekhawatiran dan harus menerima stigma masyarakat bahwa wajib belajar adalah wajib sekolah, terkesan bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat untuk belajar.

Anak yang tidak sekolah dianggap tidak berkemampuan, tidak terdidik, terbelakang, level rendahan,

Di era globalisasi sekarang ini persaingan semakin ketat, untuk menjadi unggul idealnya harus mampu memunculkan potensi keunggulan, yang kelak bisa memberikan konstribusi dan mampu berkolaborasi.

Hal ini tentu saja tidak mudah dicapai melalui sekolah, meskipun kita tahu di sekolah hanya anak berbakat akademis dan segelintir anak saja yang mendapat penghargaan.

Sebagian potensi bakat dikembangkan lewat ekstrakulikuler, sisanya diabaikan, hilang dan terkubur bersama hilangnya kemampuan, potensi bakatnya.

Penulis selalu teringat analogi kisah sekolah binatang, dikisahkan bahwa setiap binatang memiliki bakat yang berbeda, tetapi diberi pendidikan, pengajaran, pelatihan yang disamaratakan.

Burung yang berbakat terbang disuruh berenang, angsa yang berbakat berenang disuruh berlatih memanjat, kera yang berbakat memanjat di suruh belajar terbang.

Para binatang mulai mempelajari pelajaran yang tidak diminati, tidak disukainya dan tidak mudah menguasainya. Mereka fokus untuk berhasil di semua mata pelajaran.

Burung perlahan mulai kehilangan kemampuan terbangnya, angsa tidak dapat lagi berenang dngan baik, kera lupa cara memanjat, akhirnya tidak ada yang benar-benar terasah keahlian alaminya.

Muncullah para siswa binatang yang putus asa, stress, malas, karena merasa dirinya tidak pandai apa pun dan setelah keluar dari sekolah mereka kehilangan kemampuan aslinya.

Binatang-binatang itu mulai mati kelaparan karena tidak bisa mencari makan dengan kemampuan alaminya.

Tentu ada maksud mengapa seorang anak lahir di tempat tertentu di muka bumi ini , anak-anak ditakdirkan bukan hanya untuk hidup di tanah kelahirannya saja,

Namun idealnya memakmurkannya, memberi manfaat dengan potensi bakat dirinya bersatu dengan potensi sumber daya alamnya.

Ada kisah sekolah di pesisir pantai yang membuat penulis termenung, anak yang sekolah tidak bisa melaut membantu orangtuanya, namun apa yang dipelajari di sekolah tidak menjadikan nelayan mampu hidup sebagai nelayan tangguh, padahal hakikatnya dengan melaut anak nelayan telah belajar sambil bekerja dan membantu orangtua.

Belajar dengan praktek langsung di lapangan dengan ahli yang berpengalaman dan teladan yang baik, banyak yang dapat dipelajari tentang kelautan.

Mulai dari cara menangkap ikan, membaca angin, membaca jejak ikan, ilmu perkapalan, ilmu konservasi pantai, ilmu perbintangan, navigasi kelautan, budidaya ikan, ilmu energi terbarukan, konservasi hutan mangrove, pengelolaan bencana laut , belajar pertahanan keamanan laut dan sebagainya.

Semua ilmu tersebut dapat dijadikan berbagai mata pelajaran yang sangat bermanfaat untuk anak-anak generasi nelayan yang disesuaikan dengan bakatnya.

Banyak bidang yang harus terintegrasi dalam praktik dan kenyataan di lapangan dalam proses selama pendidikan yang panjang.

Dapatkah sekolah mendidik anak-anak nelayan untuk mampu menghebatkan kelautan, perikanan, dan memandirikan juga menghebatkan desa nelayan?

Segala sesuatu yang tumbuh dengan potensi unggul keunikannya, akan banyak memberi hasil yang bermanfaat, yang paling penting dalam pendidikan adalah menemukan potensi lalu merawat, mengembangkannya dan menghindari segala hal yang menghalanginya untuk tumbuh merdeka.

Karena setiap individu berbeda, idealnya memang kurikulum pembelajaran setiap anak berbeda pula, kurikulum idealnya menyesuaikan dengan peserta didik, bukan peserta didik yang harus mengikuti kurikulum yang dirancang entah cocok untuk siapa dan zaman apa.

Pada kenyataannya tidak ada relevansinya apa yang dipelajari di sekolah dengan apa yang dialami dan dibutuhkan dalam keseharian.

Hanya segelintir anak saja yang berbakat, berpotensi dalam akademik yang diajarkan di sekolah, sebagian besar pendidikan di sekolah belum memberikan aksiologi yang berarti bagi sebagian besar peserta didik.

Penulis: Lia Amelia Z
Mahasiswa Pasca PAI, Sekolah Tinggi Agama Islam Al Azhary

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.